jpnn.com, JAKARTA - Kepala Departemen Saraf Jiwa Rehabilitasi Medis RSAL dr Ramelan Letkol Laut (K) dr I Ketut Tirka Nandaka SpKJ (K) mengatakan pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada perburuan produsen dan pengedar PCC.
Korban juga harus diberi pertolongan. Menurutnya, perawatan korban PCC haruslah melalui medis dan rehabilitasi jiwa.
BACA JUGA: PCC Masalah Serius, BPOM Bentuk Tim Aksi Nasional
"Terapi ini untuk yang kecanduan dan pemakaian dalam waktu lama," katanya.
Terapi medis yang dimaksud Tirka adalah mengeluarkan racun PCC yang sudah masuk ke tubuh dengan dikeluarkannya racun itu, efeknya diharapkan akan berkurang.
BACA JUGA: Duh, Banyak Banget Temuan Pil Gila PCC di Sulsel
Terutama soal ketergantungan. "Kalau rehabilitasi jiwa ini dibutuhkan karena biasanya mereka yang sengaja untuk memakai ada masalah psikologis," jelasnya.
Sehingga obat tersebut dijadikan seperti solusi untuk pelariannya. Terapi jiwa ini terdiri atas beberapa rangkaian.
BACA JUGA: PCC, Antara Motif Ekonomi dan Merusak Generasi Indonesia
Yakni, psikoterapi, konseling, terapi kelompok, terapi sosial, dan terapi spiritual.
Sementara itu, untuk mereka yang sampai overdosis, satu-satunya jalan adalah terapi intensif di rumah sakit.
Baru setelahnya mereka menjalani terapi jangka panjang.
Tirka menyarankan adanya pendekatan dengan keluarga. Tujuannya, keluarga dapat mengawasi dan memperlakukan si anak dengan tepat.
Sementara itu, sejauh ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum berencana memanggil apoteker untuk melakukan konsolidasi pengawasan obat jenis G atau obat keras tersebut.
"Kami terus melakukan pengawasan dengan kerja sama dengan seluruh pihak," ungkap Ketua BPOM Penny Lukito.
Ketua PP Ikatan Apoteker Indonesia Nurul Fallah menjelaskan, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Kapolri.
Hal itu terkait dengan adanya sweeping apotek di beberapa daerah di Indonesia. Sayang, saat ditanya kapan, dia belum bisa menjawab.
"Kami akan koordinasi lagi terkait hal ini," jelas Fallah.
Sementara itu, polisi membuka peluang adanya pengenaan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) kepada produsen atau bandar PCC.
Dengan pengenaan pasal tersebut, korban PCC bisa mendapatkan ganti rugi dari harta produsen atau pengedar PCC yang disita.
Direktur Dittipid Narkoba Bareskrim Brigjen Eko Daniyanto menuturkan, semua aset milik bos besar bandar PCC seperti lahan pabrik, rumah, hingga kendaraan yang diduga hasil dari penjualan PCC itu tentu harus disita.
"Sudah saya utarakan, jeratnya juga pakai TPPU," jelasnya.
Dengan begitu, harapannya, bos besar PCC tidak lagi mampu membuat PCC. Sebab, kemampuan finansialnya untuk memÂbuat obat itu sudah hilang.
"Semua mesin untuk produksi obat itu juga disita lho," ujarnya.
Langkah menerapkan TPPU tidak hanya menghentikan kemungkinan bos besar itu menghidupkan kembali bisnis haramnya, tapi juga bisa digunakan untuk memberikan ganti rugi kepada korban.
Jumlah korban PCC yang tercatat hingga saat ini 86 orang, walau diprediksi lebih banyak lagi. (idr/lyn/c10/ang/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BNN Waspadai Munculnya PCC di Surabaya
Redaktur & Reporter : Natalia