Korupsi Politik Masuk Revisi UU Tipikor

Jumat, 27 Mei 2011 – 16:16 WIB
DISKUSI - Busyro Muqoddas dan pembicara lain dalam acara FDG soal Revisi UU Tipikor di KPK, Jumat (27/5). Foto: Arundono/JPNN.
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (27/05), menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang bertajuk "Pencegahan Korupsi Melalui Pengaturan Korupsi Politik dalam Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)", di Gedung KPK, JakartaMenurut Juru Bicara KPK Johan Budi, FGD tersebut dilakukan karena melihat belum adanya instrumen yang dapat mencegah korupsi politik, yang menjadi salah satu hambatan terbesar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Sejak berlakunya UU Tipikor maupun UU KPK, korupsi politik belum secara tegas diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi

BACA JUGA: Tahanan Narkoba Kabur, JAM Was Nilai Ada Kelalaian

Hal ini menyebabkan partai politik dan pengurusnya cenderung tidak tersentuh oleh peraturan perundang-undangan Tipikor," ujar Johan.

Ketua KPK Busyro Muqoddas yang membuka kegiatan FGD ini, memaparkan sejumlah latar belakang pentingnya korupsi politik dimasukkan dalam draft Revisi UU Tipikor
Menurutnya, ada 8 (delapan) temuan kelemahan peraturan perundang-undangan dalam kajian KPK tentang pendanaan parpol

BACA JUGA: Kontrak Koalisi Jadi Acuan, Bubarkan DPR

Di antaranya, adanya multitafsir batas maksimum sumbangan yang dikeluarkan oleh perseorangan atau perusahaan pada parpol, tidak adanya batasan sumbangan yang berasal dari anggota dan calon yang diusung oleh parpol, serta tidak jelasnya batasan pengertian perusahaan yang dapat memberikan sumbangan kepada parpol dan atau calon.

Hal lain menurut Busyro, adalah lemahnya sanksi atas kelalaian atau ketidakpatuhan terhadap kewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban dana yang berasal dari APBN/APBD, serta lemahnya sanksi atas kewajiban membuat pembukuan, memelihara data penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, dan terbuka pada masyarakat
Temuan lain yakni menyangkut tidak diaturnya sanksi atas ketidakpatuhan peserta pemilu yang tidak terpilih atas kewajiban menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, tidak adanya peraturan pelaksanaan mengenai mekanisme penyampaian laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan parpol di luar dana kampanye dan bantuan APBN/APBD, serta tidak adanya batasan maksimal pengeluaran dana oleh parpol dan atau calon.

Kegiatan FGD ini sendiri dihadiri oleh enam nara sumber

BACA JUGA: Nazaruddin ke Singapura Seizin Ketua Fraksi Demokrat

Masing-masing yakni Romli Atmasasmita (pakar hukum pidana internasional dan guru besar Unpad), Bambang Eka Cahya Widodo (Ketua Bawaslu), Emerson Yuntho (ICW), Kuskrido Ambardi (Direktur Eksekutif LSI), Sebastian Salang (Ketua Formappi), serta Aviliani yang adalah peneliti UINDEF dan berasal dari Universitas Paramadina(gel/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jero Wacik: PD tak Atur Skenario


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler