jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, mengingatkan potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Firli juga mengatakan, tingginya biaya yang harus dikeluarkan para calon untuk mengikuti pilkada dapat menjadi pintu masuk timbulnya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah setelah terpilih.
BACA JUGA: KPK Lelang 11 Ponsel Hasil Rampasan Korupsi, Siapa Berminat?
Hal itu disampaikan Firli dalam Webinar Nasional Pilkada Berintegritas 2020, di Gedung Kementerian Dalam Negeri, Jakarta.
“Oleh karena itu, sejak awal pemilihan, pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah harus mengetahui bagaimana menghindari potensi munculnya benturan kepentingan,” ungkap Firli, dalam keterangan yang diterima jpnn.com, Selasa, (20/10).
BACA JUGA: Banjir Kritik, KPK Tinjau Ulang Soal Anggaran Pengadaan Mobil Dinas Baru Dewas-Pimpinan
Webinar bertema Mewujudkan Pimpinan Daerah Berkualitas melalui Pilkada Serentak yang Jujur Berintegritas tersebut hasil kerja sama KPK bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang ditujukan sebagai pembekalan bagi calon kepala daerah dan penyelenggara pemilu di 270 daerah peserta pilkada.
Berdasarkan hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK pada 2015, 2017, dan 2018, sebut Firli, ditemukan bahwa potensi adanya benturan kepentingan berkaitan erat dengan profil penyumbang atau donatur.
BACA JUGA: Bawaslu Temukan 15 Pelanggaran Dalam 10 Hari Kampanye Pilkada 2020 di Depok
Sumbangan tersebut, lanjut Firli, memiliki konsekuensi pada keinginan donatur untuk mendapatkan kemudahan perizinan dalam menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnis.
Temuan survei KPK pada 2018 memperlihatkan bahwa 83,8 persen calon berjanji akan memenuhi harapan donatur ketika calon memenangkan Pilkada.
“Hasil survei KPK menemukan bahwa sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Hadirnya donatur disebabkan karena adanya gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon, di mana harta pasangan calon tidak mencukupi untuk membiayai pilkada,” ujarnya.
Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp18,03 Miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp15,17 juta.
Padahal, berdasarkan wawancara mendalam dari survei KPK, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada, pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp5-10 Miliar, yang bila ingin menang idealnya musti mempunyai uang Rp65 Miliar.
Banyak kepala daerah yang tersangkut tindak pidana korupsi. Hingga Juli 2020, telah 21 Gubernur dan 122 bupati/walikota/wakil terjerat korupsi yang ditangani oleh KPK.
Sebab itu, KPK menyuarakan urgennya pilkada berintegritas, yakni pilkada yang menghasilkan kepala daerah yang bebas benturan kepentingan.
Ketua Bawaslu pusat Abhan, mengemukakan bahwa kualitas dan integritas pemilihan di tingkat daerah merupakan salah satu indikator kesuksesan demokrasi. Penyelenggaraan pilkada berintegritas merupakan syarat mutlak terwujudnya pilkada berkualitas.
Politik uang, katanya, merupakan pelecehan terhadap kecerdasan pemilih, yang merusak tatanan demokrasi dan meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.
“Dampak politik uang adalah mematikan kaderisasi politik, kepemimpinan tidak berkualitas, merusak proses demokrasi, pembodohan rakyat, biaya politik mahal yang memunculkan politik transaksional, dan korupsi dimana anggaran pembangunan dirampok untuk mengembalikan hutang ke para cukong,” ungkap Abhan.
Terakhir, pembekalan disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Mantan Kapolri itu mengatakan kesuksesan pilkada merupakan orkestrasi dari sejumlah elemen, baik pemerintah pusat dan daerah, penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, dan masyarakat.
Dari sisi anggaran, misalnya, jelas Tito, pemerintah pusat telah menganggarkan dana dari APBN, dan telah pula ditransfer ke daerah yang akan menyelenggarakan pilkada.
“Berdasarkan data per Oktober 2020, realisasi APBN 2020 untuk penyelenggaraan pilkada telah mencapai 98,04 persen. Anggaran APBN 2020 untuk pilkada adalah sebesar Rp15,19 Triliun, dengan realisasi serapan sebanyak Rp14,89 Triliun. Jadi, anggaran yang belum ditransfer adalah Rp297,87 Miliar,” pungkas mantan Kapolri itu.
Tito berharap jangan sampai pesta demokrasi pilkada menjadi pesta transaksional untuk kemenangan pasangan calon tertentu.
Lebih dari itu, sebut Tito, jangan sampai ada kampanye hitam yang menyebarkan informasi bohong atau hoax. Bila ini terjadi, tegasnya, dirinya tak akan segan-segan melaporkan ke Polisi untuk memidanakannya sebagai pidana kebohongan publik. (mcr3/jpnn)
Redaktur & Reporter : Fransiskus Adryanto Pratama