jpnn.com, JAKARTA - Dua operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni kasus Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, memberikan harapan bagi masyarakat.
Bahwa komisioner KPK yang baru ternyata tidak kendor semangatnya melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
BACA JUGA: Kasus Wahyu Setiawan, Ketum PBNU Berharap KPK Tidak Tebang Pilih
Sayangnya, menurut Pakar Hukum Pidana Prof Mudzakir, aksi tersebut justru mengecilkan lembaga KPK. KPK yang diberikan kewenangan khusus. Sebab, memilih menggarap kasus remeh-temeh yang nilainya kecil.
"Kenapa KPK yang merupakan lembaga kewenangan khusus masih mau menggarap kasus yang nilainya tidak seberapa? Terlalu mahal biaya yang harus dikeluarkan negara hanya untuk kasus OTT dengan nilai kerugian yang sangat kecil," kata guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) ini dalam diskusi polemik Trijaya di Jakarta, Sabtu (11/1).
BACA JUGA: Kader PDIP Akui Bu Mega Kumpulkan Pengurus Setelah OTT KPK
Dalam catatan Mudzakir, KPK menggunakan kewenangan khususnya berupa penyadapan hanya untuk menangkap tangan pelaku korupsi bernilai ecek-ecek seperti DPRD Kota Malang dengan nominal per anggota Rp 7,5 juta sampai Rp 15 juta. Kemudian OTT direktur Krakatau Steel Rp 20 juta, OTT ketum PPP Rp 50 juta.
Melihat nominal kerugiannya, lanjut Mudzakir, tidak sebanding dengan dana negara yang harus dikeluarkan. Padahal dalam UU KPK Pasal 11 menyebutkan, KPK hanya menangani kasus korupsi di atas Rp 1 miliar.
BACA JUGA: Diduga Terlibat Peredaran Narkoba, Kapolsek Payung Tanah Karo Ditangkap
Bagi Mudzakir, angka ini terlalu kecil mestinya ditingkatkan lagi karena adanya kewenangan khusus KPK. Kalau masih mau menangani kasus di level bawah (nominal kecil), dia menyarankan kewenangan khusus KPK dicabut sehingga tidak ada diskriminasi dengan penegak hukum lainnya.
"KPK mestinya menyerahkan kasus di bawah Rp 1miliar kepada Kepolisian dan Kejaksaan yang tidak punya kewenangan khusus. Tentu saja KPK bisa memantau kasus tersebut. Bila penegakan hukumnya tidak berjalan, KPK bisa mengambil alih kasusnya. Yang penting KPK taat azas dulu, jangan malah melakukan tindakan inkonstitusional seperti sekarang," bebernya.
Hal sama diungkapkan Praktisi Hukum Ade Irfan Pulungan. KPK harus lebih maksimal dalam pencegahan korupsi. Jangan hanya OTT terus. Komisioner KPK yang baru harus punya target menurunkan indeks korupsi di Indonesia.
"KPK jangan ambil kasus remeh-temeh karena kasusnya melibatkan publik figur sehingga lebih banyak dramanya. Kasusnya digoreng hingga terkesan pencitraan untuk menarik simpati masyarakat kepada KPK," tegasnya.
KPK, lanjutnya, sebaiknya fokus pada kasus korupsi besar dan bukan pilih-pilih kecil tapi melibatkan publik figur. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad