KPK Ungkap Suap Caleg PDIP buat Wahyu Setiawan KPU, Begini Kronologinya

Kamis, 09 Januari 2020 – 22:27 WIB
Ketua KPU Arief Budiman dan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (9/1) tentang OTT terhadap Wahyu Setiawan. Foto: Ricardo/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar membeberkan kronologi operasi tangkap tangan (OTT) terhadap anggota KPU Wahyu Setiawan. Operasi senyap itu berawal dari informasi tentang adanya patgulipat untuk menetapkan calon anggota legislatif (caleg) DPR 2019-2024 terpilih dari PDI Perjuangan.

Lili mengungkapkan, OTT itu berlangsung selama dua hari sejak Rabu (8/1). "KPK menerima informasi adanya transaksi dugaan permintaan uang oleh WSE (Wahyu Setiawan, red) kemarin," kata Lili dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis malam (9/1).

BACA JUGA: Hasil OTT KPK: Wahyu Setiawan KPU dan Caleg PDIP Jadi Tersangka

Menurut Lili, KPK menangkap Wahyu dan asistennya yang bernama Rahmat Tonidaya di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (8/1) sekitar pukul 12.55 WIB. Selanjutnya, KPK bergerak ke rumah mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelia di Depok, Jawa Barat.

Agustiani disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Wahyu. KPK menemukan uang dalam bentuk dolar Singapura (SGD) setara Rp 400 juta dari tangan Agustiani.

BACA JUGA: Sebegini Uang Barbuk OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan

Lili menambahkan, tim KPK lantas menjemput Saeful, seorang pengacara bernama Doni dan Ilham (sopir) di sebuah restoran di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Terakhir, KPK mengamankan dua kerabat Wahyu di Banyumas, yakni Ika Indayani dan Wahyu Budiyanti.

"Delapan orang tersebut dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut," kata Lili.

Lebih lanjut Lili memaparkan konstruksi kasus suap itu. Awalnya pada Juli 2019 ketika salah satu pengurus DPP PDI Perjuangan memerintahkan Doni selaku advokat mengajukan gugatan uji materi atas Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA).

Uji materi itu terkait meninggalnya Nazarudin Kiemas selaku caleg PDIP untuk Pemilu 2019 pada Maret tahun lalu. Nazarudin merupakan caleg terpilih hasil Pemilu 2019 di daerah pemilihan I Sumatera Selatan.

MA mengabulkan gugatan tersebut pada 19 Juli 2019. Merujuk putusan MA maka PDIP menjadi penentu suara caleg dan pengganti antar-waktu.

"Penetapan MA ini kemudian menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan HAR (Harun Masiku) sebagai pengganti caleg yang meninggal tersebut," kata Lili.

Hanya saja, terang Lili, KPU tidak mengindahkan keputusan MA itu. Sebab, lembaga penyelenggara pemilu itu melalui pleno KPU pada 31 Agustus 2019 menetapkan Riezky Aprilia sebagai caleg terpilih pengganti Nazarudin.

Pada 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan ke MA untuk meminta fatwa. “Pada 23 September (DPP PDIP) mengirimkan surat berisi penetapan caleg," jelas dia.

Saeful lalu menghubungi Agustina untuk melobi Wahyu. Tujuannya adalah agar KPU menetapkan Harun sebagai anggota DPR RI melalui PAW.

Agustina juga mengirimkan dokumen dan fatwa MA kepada Wahyu. Selanjutnya, Wahyu merespons permintaan itu. “Siap mainkan,” ujar Lili menirukan pesan dari Wahyu.

Namun, Wahyu meminta dana operasional Rp 900 juta untuk membantu meloloskan Harun menjadi anggota DPR melalui mekanisme PAW. “Untuk merealisasikan hal tersebut dilakukan dua kali proses pemberian," jelas dia.

Pemberian pertama dilakukan pada pertengahan Desember 2019. Namun, Wahyu baru menerima Rp 200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.

Pada akhir Desember 2019, Harun memberikan uang kepada Saeful sebesar Rp 850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP. Saeful lantas memberikan uang Rp 150 juta kepada Doni.

Sisanya Rp 700 juta yang masih di Saeful dibagi menjadi Rp 450 juta untuk Agustina, sedangkan Rp 250 juta untuk operasional. Dari Rp 450 juta yang diterima Agustina, sejumlah Rp 400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk Wahyu.

Lili menambahkan, uang untuk Wahyu itu masih disimpan Agustina. Hanya saja, KPU tak mau mengusulkan Harun sebagai caleg terpilih.

"Pada Selasa, 7 Januari 2020, berdasarkan hasil rapat pleno, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan HAR (Harun) sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal," kata dia.

Karena merasa gagal, Wahyu lantas menghubungi Doni dan berjanji akan kembali mengupayakan Harun bisa menjadi anggota DPR RI melalui PAW. Pada Rabu (8/1), Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola Agustina.

Saat itulah KPK melakukan OTT. "Tim menemukan dan mengamankan barang bukti uang RP400 juta yang berada di tangan ATF (Agustina) dalam bentuk dolar Singapura," jelas dia.

Oleh karena itu KPK menetapkan Wahyu dan Agustiani Tio sebagai tersangka penerima suap. Sangkaannya adalah Pasal 12 Ayat (1) huruf a atau Pasal 12 Ayat (1) huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

KPK juga menetapkan Harun dan Saeful sebagai tersangka pemberi suap. Jeratnya adalah Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Namun, sampai saat ini KPK belum menangkap Harun. "KPK meminta tersangka HAR segera menyerahkan diri," pungkas Lili.(tan/jpnn)


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler