KPU Perlu Wajibkan 30 Persen Durasi Iklan Kampanye untuk Perempuan

Senin, 17 Januari 2022 – 21:25 WIB
Wakil Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Pusat Partai Buruh Indri Yulihartati. Foto: Dok. Partai Buruh

jpnn.com, JAKARTA - Negara memang tidak bisa memaksa rakyat untuk memilih calon perempuan. Hal itu bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Namun, jika kebijakan affirmative action diterapkan secara total, bukan mustahil 30 persen kursi parlemen bisa diduduki politikus perempuan.

BACA JUGA: Presiden Partai Buruh Said Iqbal Sentil Kinerja Parpol di Parlemen

“Untuk mewujudkan hal itu KPU bisa menetapkan aturan agar 30 persen durasi iklan kampanye wajib menampilkan figur caleg perempuan,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif/Executive Committee (EXCO) Pusat Partai Buruh Indri Yulihartati di Jakarta, Senin (17/1/2022).

Menurut Indri, kebijakan affirmative action yang ditetapkan dalam sistem politik masih belum memadai. Walaupun pengurus partai politik di tingkat pusat dan calon anggota legislatif yang diusulkan parpol sudah diwajibkan untuk menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen perempuan, tetapi hasilnya politikus perempuan di DPR RI jumlahnya belum menyentuh angka 30 persen.

BACA JUGA: Partai Buruh akan Ambil Langkah Terkait UU Cipta Kerja

“Permasalahan ini tentu harus dicarikan solusinya. Agar patriarki atau perilaku pemilih yang cenderung mengutamakan laki-laki daripada perempuan bisa diubah, maka perlu ada campur tangan dari negara. Dalam konteks Pemilu, saya kira peran itu bisa diambil oleh KPU,” ujar Indri.   

Indri menjelaskan salah satu tahapan yang menentukan keterpilihan calon itu kan tahap kampanya. Selama ini, kata dia, partai-partai politik belum memberikan kesempatan yang proporsional kepada caleg perempuannya untuk ditampilkan di hadapan publik. Misalnya dalam iklan kampanye yang ditampilkan di media arus utama.

BACA JUGA: Penuhi Keterwakilan Perempuan, Guspardi Gaus Apresiasi Kinerja Timsel KPU-Bawaslu

Kondisi itu tentu saja memberi pengaruh terhadap tingkat pengenalan calon perempuan di mata pemilih. Akibatnya, popularitas caleg perempuan selalu kalah dari caleg laki-laki.

Menurut dia, dampak lanjutannya adalah tingkat penerimaan (aksebtabilitas) dan keterpilihan (elektabilitas) calon perempuan juga otomatis menciut.

Oleh sebab itu, agar calon-calon perempuan dapat lebih dikenal, disukai, dipilih, dan kemudian bisa mengisi lebih banyak kursi di parlemen, maka negara perlu menunjukan totalitasnya dalam menerapkan kebijakan ‘affirmative action’ ini dengan cara membuat aturan yang berorientasi pada keadilan dan kesetaraan gender.

Mengingat kewenangan untuk mengatur teknis kampanye ada di lembaga KPU, maka sangat tepat jika dalam peraturan KPU nanti diatur agar setiap iklan kampanye yang ditayangkan parpol di media cetak, media elektronik, media sosial, dan lembaga penyiaran lainnya.

“Jadi, wajib menampilkan wajah caleg perempuan dengan porsi minimal 30 persen dari total durasi iklan,” ujar Indri.

Kalau di Partai Buruh, menurut Indri, dirinya tidak khawatir karena punya komitmen yang tinggi dan konkret dalam memperjuangkan kaum perempuan.

“Seluruh pengurus kami dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan semuanya diwajibkan menyertakan minimal 30 persen perempuan. Begitu pun dalam perkara pencaleg-kan dan iklan kampanye. Beres itu,” ujar Indri.

Lebih lanjut, Indri mengatakan kalau tidak dipaksa lewat aturan, perhatian mereka kepada kaum perempuan sangat minimalis.

Sebab keberpihakan kepada kelompok perempuan semestinya menjadi tanggung jawab dari seluruh partai politik, tidak hanya kewajiban Partai Buruh.

“Di sinilah kehadiran negara lewat pembentukan regulasi menjadi sangat penting,” ujar Indri.(fri/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler