jpnn.com, NEW DELHI - Angkatan bersenjata India menjanjikan bantuan medis mendesak untuk menangani lonjakan infeksi COVID-19, saat jumlah kasus baru masih berada di atas 300.000 selama enam hari berturut-turut.
Selama 24 jam terakhir, India mencatat 323.144 kasus COVID-19 baru dan 2.771 kematian. Rumah sakit banyak menolak pasien karena kekurangan tempat tidur dan persediaan oksigen.
BACA JUGA: PPKM Mikro dan Larangan Mudik Untuk Tekan Penularan Covid-19 Saat Libur Lebaran
India telah meminta angkatan bersenjatanya untuk membantu mengatasi krisis yang menghancurkan itu.
Kepala Staf Pertahanan Jenderal Bipin Rawat mengatakan pada Senin malam (26/4) bahwa oksigen akan dialokasikan dari cadangan angkatan bersenjata dan bahwa pensiunan personel medis akan bergabung membantu para petugas di fasilitas kesehatan yang berjuang di bawah tekanan kasus.
BACA JUGA: Ketua DPD RI Minta Satgas Covid-19 Antisipasi Kepulangan PMI Saat Momen Idulfitri
Sejumlah negara, termasuk Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat telah menjanjikan bantuan medis yang mendesak.
Sementara itu, warga India-Amerika di Kongres AS dan sektor teknologi juga telah bergabung untuk meningkatkan bantuan.
BACA JUGA: Jurus Pemerintah Memberdayakan Ekonomi Pesantren Pascapandemi Covid-19
AS mengatakan akan membagikan 60 juta dosis vaksin COVID-19 AstraZeneca dengan negara-negara lain.
"Pendekatan besar-besaran sedang dilakukan pada saat ini untuk mengamankan sebanyak mungkin vaksin bagi India," kata seorang pejabat senior India. Ia merujuk pada negosiasi yang sedang berlangsung antara AS dan India.
Ia juga menambahkan bahwa Perdana Menteri Narendra Modi telah diyakinkan bahwa India akan diberi prioritas vaksin.
Sementara itu, beberapa negara, termasuk Thailand, Singapura, Bangladesh, dan Inggris, telah mengambil langkah-langkah untuk membatasi perjalanan dari India guna mencegah varian virus yang lebih ganas memasuki perbatasan mereka.
Australia akan mempertimbangkan proposal untuk menangguhkan penerbangan dari India di kemudian hari.
Situasi di negara terpadat kedua di dunia itu "sangat memilukan", menurut kepala Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil