jpnn.com - JAWA pernah menjadi pengekspor garam terbesar se-Nusantara. Monopoli pemerintah kolonial terhadap produksi dan distribusi garam, mengubah peran Jawa dari semula pengekspor menjadi mengimpor garam.
Wenri Wanhar & Yudi Anugrah N
BACA JUGA: Pokoknya, Tak Boleh Impor Garam
Dahulu kala, garam Jawa dengan mutu baik dibawa dari Jaratan, Gresik, Pati, Juwana, dan tempat-tempat di sekitarnya.
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) melirik. Bagi mereka, garam tak cuma asin. Namun gurih bagi kehambaran keuangan VOC.
BACA JUGA: Hidup Bertahun-tahun, Baru Sekarang Masalah Garam Betul-betul Hancur
Dalam sebuah perencanaan matang, para juru runding Kompeni berhasil menjalin kontrak dengan penguasa lokal.
Sejurus waktu, VOC pun menetapkan sistem kontingenten atau serah wajib petani garam.
BACA JUGA: Giliran Produsen Garam Yang Keluhkan Isu Bahan Baku
Mereka memberi keleluasaan pada orang “Cina Conjock” pemilik zoutpannen atau kuali-kuali garam di sebelah barat Batavia.
Alhasil, kaum Cina Conjock, “mendapat izin mengekspor garam secara bebas bea, asalkan dapat memenuhi keperluan Kompeni dan kaum “burgher” dengan harga 8 rial sekali muat,” sebagaimana tersua dalam Plakaatboek tahun 1648, peraturan perdana mengenai garam.
“Peraturan itu kemudian dibatalkan pada tahun 1654, karena kualitas garam yang dipasok pada masa itu menurun,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya.
Krisis Garam
Akibat ulah Kompeni ini, kapal-kapal pembawa bergantang-gantang garam di pelabuhan utara Jawa Timur, tak lagi melepas sauh.
Muatan kapal kosong. Garam tak lagi bisa dipasok menuju Sumatera dan Maluku. Ekspor garam Jawa merosot. Pembuatan garam lesu. Harga pun meninggi.
“Mahalnya harga garam di Jawa sebagai akibat dari pelaksanaan monopoli pemerintah,” tulis Sutejo Kuwat Widodo dalam Dinamika Kebijakan Terhadap Nelayan--Tinjauan Historis pada Nelayan Pantai Utara Jawa 1900-2000.
“Pembeli lantas membayar seharga 150.000 perak untuk 800 gantang garam (1 gantang sekira 3,1 kg), lalu menjual kembali di Banten seharga 1.000 tiap 3 gantang,” tulis Pieter Willemsz dalam Atchins Dachregister Gehouden bij de Oppercoopman 1642, dikutip Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680.
Kemudian hari, peraturan semakin diperketat. VOC melarang para penggarap membuka tambak garam baru tanpa izin.
Monopoli garam VOC tak cuma menghasilkan beragam peraturan, tapi “juga melahirkan kelas sosial baru, yaitu pachter,” tulis Yety Rochwulaningsih dalam Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang, Jawa Tengah, termuat dalam Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik, Vol.20, No. 3, tahun 2007.
Pachter (pemborong atau penyewa--red) memiliki otoritas penuh terhadap pengelolaan garam.
Pengadaan dan penjualan garam di Jawa hanya boleh dilakukan oleh pachter. Dia pula memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap kaum bumiputera bila melakukan praktik ilegal.
Sistem kontingenten dan sewa tambak garam kepada pachter terus berlanjut hingga VOC bangkrut dan kuasa beralih kepada Pemerintah Belanda.
Zaman Raffles
Pada 1811-1816, masa interregnum Inggris, Raffles menghapus kewengan berlebih pachter dan sistem kontingenten. Raffles menginisiasi sitem pengelolaan garam sebagai perusahaan negara.
Sementara, pengawasan terhadap pengelolaan garam di daerah berada pada residen. Meski pemerintah Belanda kembali berkuasa namun penghapusan pachter tetap berjalan.
Pergantian peraturan monopoli garam ternyata tak mampu menolong Jawa dari krisis garam pada 1859.
Pemerintah mencoba mendongkrak penjualan harga garam dari 3, 50 menjadi 10 gulden, namun justru berdampak buruk akibat over produksi.
Pemerintah lantas menelurkan peraturan tegas mengenai monopoli produksi dan distribusi garam di Hindia Belanda, Berpalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie, melalui Indische Staatblad No.73 1883, berupa pelarangan pembuatan tambak garam di seluruh wilayah kekuasaan dan impor garam harus sesuai izin pemerintah.
Monopoli garam pemerintah kolonial ternyata mengubah alur produksi garam di Jawa, dari semula berperan sebagai pengekspor berubah menjadi pengimpor.
Dan kini, media massa kembali ramai memberitakan: Indonesia krisis garam. (wow/*/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Melambung Tinggi, Limbah Garam Sudah Membatu Diolah Lagi
Redaktur & Reporter : Wenri