Lima hari sejak pasukan Rusia memasuki wilayah Ukraina, sekitar 80 Warga Negara Indonesia di ibu kota Ukraina, Kyiv, Senin (28/02) hari ini dilaporkan dievakuasi keluar dari negara itu.

"Maaf ya, baru sempat bicara sekarang. Kemarin saya agak capek karena kurang tidur, sudah dua hari ini capek naik-turun [berlindung] ke basement terus kalau ada ledakan yang terus-menerus dan [terdengar] dekat," ujar Vanda Sakina Damayanti di Kyiv, yang akhirnya berhasil dihubungi  ABC Indonesia  via telepon Senin pagi waktu Indonesia atau Minggu malam waktu Ukraina.

BACA JUGA: Warga Rusia Sudah Meminta Maaf kepada Ukraina, Presiden Putin Menyusul?

Vanda dan kedua anaknya pertama kali tiba di Kyiv tahun lalu, mengikuti sang suami yang bekerja di perusahaan minyak dan gas di sana.

Ia tidak pernah membayangkan harus melewati situasi perang seperti saat ini.

BACA JUGA: Ribuan Orang Ditangkap di Rusia karena Menolak Perang, Sanksi untuk Putin Mulai Berlaku

"Yang pasti rasanya takut, karena saya punya dua orang anak yang masih kecil."

"Apalagi, kemarin [suara] ledakannya dan tembak-tembakannya terus-terusan dan makin lama makin dekat, kan kerasa ya ... mungkin jaraknya hanya 200 atau 500 meter dari sini," tutur Vanda sambil menambahkan bahwa setelah pukul 6 sore waktu setempat hari Minggu (27/02) suara ledakan yang didengarnya sudah jauh berkurang."

BACA JUGA: Model Panas Ini Siap Tidur Bareng Tentara Rusia Penentang Putin

Bersiap dievakuasi ke Romania

Menurut Vanda, hari Senin (28/02) hari ini, ia sekeluarga akan dievakuasi keluar dari Ukraina.

"Rencananya berubah, sudah bukan ke Polandia lagi, tapi ke Moldova kemudian ke Romania," tutur Vanda.

"Alasannya setahu saya karena jalur yang tadinya akan kami lalui sudah tidak aman lagi, dan ada jalan dan jembatan yang sudah dibom, jadi kami sudah enggak bisa lewat situ."

Vanda mengaku mengikuti semua arahan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kyiv demi keselamatannya.

"Karena kalau saya mengikuti KBRI, setidaknya sampai perbatasan kan saya ada kekuatan diplomatik dibanding [evakuasi] mandiri ... saya percaya perlindungan yang diberikan KBRI, tapi juga yakin Rusia enggak akan gegabah  dan pihak Ukraina juga akan melindungi."

ABC Indonesia sudah berusaha meminta konfirmasi dari KBRI di Kyiv soal rencana evakuasi ini, tapi tidak mendapat jawaban.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, saat ini masih ada 79 orang di Kyiv.

"Yang sedang diupayakan saat ini adalah memindahkan mereka ke wilayah yang lebih aman," kata Teuku Faizasyah kepada ABC Indonesia melalui pesan singkat.

"Sudah berhasil dipindahkan 25 orang dari Odessa dan 6 WNI dari Lviv," tambahnya tanpa menyebut lebih rinci rencana evakuasi. Respon Indonesia: hati-hati atau ragu-ragu?

Saat serangan Rusia di Ukraina pertama kali pecah pekan lalu, Presiden Joko Widodo menulis cuitan tentang perang di akun Twitternya tanpa menyebut nama negara atau konteks perang tersebut.

Pernyataan tersebut menuai protes, salah satunya dari Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Riski Natakusumah.

"Ketika seluruh dunia, bahkan warga Rusia sendiri, mengecam invasi kepada Ukraina, sangat mengherankan Pemerintah Indonesia yang katanya cinta perdamaian malah tidak mengeluarkan statement tegas," kata Rizki Natakusumah kepada wartawan, Minggu (27/02).

"Padahal Indonesia sekarang memiliki momentum emas sebagai presiden G-20 yang pastinya dinantikan dunia. Jangan sampai momen berharga ini terlewatkan karena presiden tidak menjawab dinamika global," tambahnya.

Belum selesai kritik pada Jokowi, muncul kritik baru, saat akun resmi Misi PBB Norwegia di New York melansir daftar negara-negara yang mendukung draf resolusi mengakhiri agresi Rusia terhadap Ukraina.

Tidak ada nama Indonesia di dalamnya.

Namun, akademisi Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiyono, mengingatkan pentingnya memahami konteks besar di balik serangan Rusia ke Ukraina. 

"Ada missed opportunity, ruang diplomasi yang terlewatkan sebelum serangan ini, saat Rusia dengan jelas menyatakan tidak ingin Ukraina menjadi anggota NATO," kata Muhadi.

Menurutnya, permintaan ini esensial bagi Rusia dan pernah terjadi pada negara lain, misalnya saat Amerika Serikat pada tahun 60an tidak bisa menerima rencana Uni Soviet membangun pangkalan militer di Kuba.

Sehingga, menurut Muhadi, jika peristiwa yang terjadi saat ini hanya dilihat dalam konteks serangan semata-mata, maka Indonesia akan dihadapkan pada posisi hitam dan putih.

"Padahal, bagi Indonesia saat ini persoalannya adalah bagaimana perang itu dihentikan dulu dan masuk ke ruang negosiasi, [sehingga pernyataan dan sikap Indonesia] ini lebih frutiful dibanding condemning," ujar Muhadi.

"Posisi kita yang bebas aktif itu harus seperti itu. Bahwa kita tidak menjadi bagian dari mayoritas, itu bukan masalah, yang penting kita berpegang pada prinsip."

"Di saat kita tidak ada di posisi yang hitam-putih itu lah, ruang-ruang untuk perdamaian bisa dibangun," tambahnya.

Muhadi berharap, di belakang sikap dan respon Indonesia yang terlihat publik, ada proses negosiasi dan pendekatan yang sedang berjalan.

"Setidaknya Indonesia sebagai pemimpin G-20 bisa punya akses ke salah satu negara G-20, yakni Rusia ... dan kedekatan Indonesia dengan kedua belah pihak bisa menjadi modal bagi Indonesia untuk berperan lebih." Berharap bisa kembali ke Ukraina dan akan merindukan Kyiv

Vanda berharap, serangan Rusia ke Ukraina akan segera berakhir, sehingga ia bisa cepat kembali ke Kyiv.

Selama setahun terakhir bermukim di Kyiv, Vanda mengaku kerasan dan kagum pada budaya Ukraina yang menurutnya punya kekeluargaan dan kekerabatan yang erat. 

"Sedih banget dan kaget situasinya jadi begini, padahal Kyiv itu indah, orang-orang Ukraina juga ramah-ramah, ini yang bakal ngangenin," tutur Vanda.

Sementara itu, delegasi Ukraina dilaporkan telah tiba di perbatasan Ukraina dengan Belarus, Senin (28/02) waktu setempat untuk mengadakan pembicaraan dengan pejabat Rusia.

Dalam sebuah pernyataan di akun Telegram resmi Parlemen Ukraina, pemerintah mengatakan delegasi Ukraina termasuk Menteri Pertahanan Oleksiy Reznikov, Penasihat Kantor Kepresidenan Mykhailo Podoliak, dan Wakil Menteri Luar Negeri Mykola Tochytsky.

"Subjek utama negosiasi adalah gencatan senjata segera dan penarikan pasukan dari Ukraina," kata pernyataan itu.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sindir Twit Jokowi soal Perang, Ujang Komarudin Pakai Kata Ambyar

Berita Terkait