Kritik Petrus Selestinus soal Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres di MK, Kalimatnya Menohok

Sabtu, 14 Oktober 2023 – 20:32 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). ilustrasi: Foto: Natalia Laurens/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Polemik batas usia capres dan cawapres di Mahkamah Konstitusi (MK) masih terus bergulir. Sidang pembacaan putusan gugatan perkara tersebut baru akan digelar pada Senin (16/10) mendatang.

Terkait hal tersebut, perwakilan dari Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara, Petrus Selestinus menduga adanya hubungan antara para pemohon uji materiil pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dengan bakal calon wakil presiden yang disebut-sebut akan mengusung Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka berpasangan dengan salah satu Bacapres.

BACA JUGA: Jelang Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, Partai Garuda Sentil Pihak yang Menyerang MK, Jleb!

"Makin menegaskan bahwa permohonan uji materiil dimaksudkan untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres," tegas Petrus dalam diskusi virtual dengan tema "Senin Keramat Palu MK: Marwah Kontitusi Di Ujung Tanduk?", Sabtu (14/10).

Dengan demikian, lanjut Petrus, Anwar Usman, selalu Ketua Mahkamah Konstutusi sekaligus Hakim Konstitusi harus mendeclare mundur dari persidangan perkara a'quo, karena terdapat benturan kepentingan  antara Anwar Usman dengan Keluarga Presiden Joko Widodo yang diketuai ada hubungan keluarga.

BACA JUGA: Seluruh Hakim MK Didesak Mundur dari Sidang Batas Usia Capres-Cawapres

"Dalam perkara uji materiil dimaksud terlebih-lebih dengan masuknya Kaesang Pangarep, menjadi Ketua Umum PSI dan Gibran Rakabuming Raka yang berkeinginan jadi Cawapres tapi menunggu putusan Perkara Uji Materiil dimaksud, maka faktor adanya kepentingan dalam Uji Materiil pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, telah mengakibatkan 9 Hakim Konstitusi di MK harus memutuskan mengundurkan diri dan putusan mundur itu seharusnya dibacakan dalam persidangan besok tanggal 16 Oktober 2023 nanti," jelasnya.

Karena, kata Petrus, berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 3 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi, seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat atau panitera.

BACA JUGA: Menjelang MK Putuskan Soal Batas Usia Capres-Cawapres, Begini Harapan Kamhar Demokrat

"Ayat 4, Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan kelaurga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat," katanya.

Sementara ayat 5, lanjut Petrus, seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Oleh karena ketentuan pasal 17 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dimaksud, maka Hakim Konstitusi dan Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan Uji Materiil pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, karena dua alasan utama.

"Yaitu: Ada kebutuhan sembilan Hakim Konstitusi untuk mengubah batas usia minimum dan usia pensiun Hakim Konstitusi dan adanya hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, khusus mengenai posisi Saudara Anwar Usman, Ketua MK dengan Presiden Jokowi dan putranya Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka jadi Cawapres, sehinga di sinilah letak kepentingan yang diharamkan oleh UU Kekuasaan Kehakiman," papar Petrus.

Maka, sambung Petrus, harus disadari bahwa ketentuan pasal 17 ayat 6 UU No. 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman mengancam secara serius terkait persoalan tersebut.

"Dengan menyatakan bahwa dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 5 putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi Administratif atau dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," tegas Petrus.

Sementara itu, Ridwan Darmawan yang merupakan Praktisi Hukum dan Aktivis 98 mengatakan Mahkamah Konstitusi harus konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya yang telah memutuskan bahwa terkait batas usia untuk persyaratan pejabat publik adalah kebijakan terbuka pembuat UU.

"Makanya hari Senin nanti MK harus berada dalam posisi itu, jika tidak, maka ini akan menjadi penasbihan julukan nitizen bahwa MK adalah Mahkamah keluarga," kata Ridwan.

Terkait behind design uji materi ini, kata Ridwan, yakni dorongan Gibran untuk dicapreskan, dari segi etika politik akan menjadi preseden buruk bagi demokasi kita.

"Keadaban publik para politisi telah berada di titik terendah. Disamping Gibran masih kader PDI Perjuangan, juga anak seorang presiden yang juga kader PDI Perjuangan, kok mau dibajak begitu saja. Ini memalukan, jika Jokowi mengiyakan design tersebut, lebih menggelikan," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) sekaligus pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 apabila mengubah batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) melalui putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Oce menjelaskan MK telah menegaskan bahwa isu konstitusionalitas persyaratan usia minimum bagi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pada berbagai putusan MK terdahulu.

Menurut Oce, itu artinya penentuan syarat usia minimum bagi pejabat publik merupakan kewenangan sepenuhnya pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah, bukan kewenangan MK.(ray/jpnn)


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler