Para pemimpin dunia berkumpul dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali minggu ini untuk mendiskusikan masalah yang dihadapi dunia.
Pemerintah Indonesia tidak hanya berharap momen tersebut dapat mengedepankan posisi diplomatis negara, namun juga memulihkan perekonomian akibat pandemi.
Untuk memastikan agar acara ini berjalan "sukses", Gubernur Bali Wayan Koster memberlakukan PPKM di wilayah sekitar Nusa Dua, tempat konferensi digelar.
Meski ketidaknyamanan yang ditimbulkan masih bisa ditoleransi oleh beberapa warga, sisanya merasa terganggu.
BACA JUGA: G20 Bukan Pertemuan Politik, tetapi Perang Rusia-Ukraina Harus Dihentikan
'Masih bisa diatasi'Selama KTT G20 yang berlangsung, pekerja diminta untuk kembali bekerja dari rumah dan para siswa belajar daring.
Ini berarti Eka Jayanthi, ibu dari dua orang anak ini, akan bertambah sibuk karena harus membantu mereka mengulang materi sebelum kelas.
BACA JUGA: Siapa Pawang Hujan G20 di Bali? Simak Ini Saja, ya
"Mungkin tantangannya harus sambil beres-beres rumah dan mengawasi anak-anak Zoom meeting aja sih," katanya.
"Tapi selebihnya masih bisa diatasi."
Dengan adanya penutupan jalur menuju lokasi G20, Eka juga terpaksa tidak bisa menghadiri upacara keagamaan di kampungnya.
Namun, ia mengaku tidak keberatan karena acara ini hanya akan berlangsung seminggu.
"Ini kan event yang bikin kita cukup bangga sebagai orang Indonesia, terutama karena di Bali diadakan acaranya," kata Eka.
"Kita benar-benar support sekali untuk event ini."
Kepala sekolah dan pemilik Lentera Hati School, Wahyu Prasetyaning Tyas mengatakan beberapa orangtua sempat merasa kritis terhadap keputusan belajar online saat pandemi.
Tapi tidak kali ini.
"Kami edukasi [anak-anak] bahwa kita harus bangga bahwa kita berada di Jimbaran. Saya jelaskan apa itu G20 dan kemudian dengan luar biasa mereka mengatakan 'Miss, berarti kita ikut serta'," katanya.
Pemerintah bukannya tidak tahu ada hal yang harus dikorbankan warga Bali.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Bindsar Pandjaitan memohon maaf atas aturan yang diterapkan di masa G20.
"Kami tidak bermaksud membuat teman-teman sulit, tapi kadang tidak bisa dihindari," kata Luhut dalam konferensi pers Sabtu (12/11).
"Bukan berarti tidak boleh keluar rumah, tapi kami mendorong kegiatan bisa dilakukan di rumah. Pengalaman dengan COVID-19 kemarin semua bisa dilakukan."Ada yang diuntungkan dan dirugikan
Yoga Iswara, ketua 'Indonesian Hotel General Manager Association' (IHGMA) di Bali meyakini bahwa KTT G20 dapat memperkuat pemulihan ekonomi Bali.
"Contohnya sejak bulan Agustus hingga September 2022 telah digelar 15 kali pertemuan tingkat menteri," katanya.
"Jika dibandingkan dengan pertemuan tahunan organisasi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pada 2018, dampak G20 bisa dua kali lipatnya."
Menurut Yoga, pembatasan jumlah penerbangan ke Bali karena KTT G20 juga "tidak mempengaruhi secara signifikan tingkat hunian di Bali."
"Bahkan di beberapa area seperti Nusa dua, Jimbaran, dan Seminyak, tingkat hunian meningkat akibat kegiatan G20," katanya.
"Terdapat juga limpahan wisatawan ke beberapa area seperti Sanur, Ubud dan Petitenget."
Tapi meski sektor pariwisata diuntungkan, tidak demikian dengan nelayan seperti I Nyoman Dana yang tidak bisa bekerja.
Akhir pekan lalu, polisi memintanya dan nelayan lain di pantai Mentasari Sanur untuk "mendukung" G20 dengan tidak memancing di dekat area Nusa Dua.
Dana yang telah menjadi nelayan setidaknya 30 tahun di Bali memperkirakan ia kehilangan pendapatan setidaknya tiga juta rupiah untuk seminggu.
"[Padahal] ini lumayan, bagi kami masyarakat nelayan, itu jumlah uang yang cukup besar," kata Dana.
"Sekarang kalau istilah protes, tidak bisa juga karena ini kebijakan pemerintah."
"Tetap saja kami merasa terganggu tapi tidak akan bisa melakukan protes secara terbuka karena ini kan perhelatan, tetap kami mendukung walaupun kami merasa rugi."'Tidak berdampak' pada kelompok marginal
Koordinator kelompok masyarakat sipil Prodem Bali, I Nyoman Mardika mengatakan warga kelas menengah ke bawah Bali juga tidak akan terdampak hasil dari KTT G20.
"Dampaknya tidak ada secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat lokal yang termaginalkan di Bali, pada khususnya," katanya.
"Karena pemahaman kami event internasional yang diselenggarakan di Bali hanya dinikmati oleh pemodal besar dan juga kelompok yang bergerak di sektor jasa pariwisata dan itu sifatnya masih elitis, dan sebagainya."
Ia juga mengatakan minggu lalu, kelompok masyarakat sipil dilarang berdiskusi tentang konferensi tersebut, meski Mardika ingin memberikan informasi tentang agenda G20.
Sementara itu, aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dilaporkan dikepung saat mengadakan pertemuan di sebuah villa di Bali, 12 sampai 13 November 2022.
Diketahui pihak yang mengepung mengaku sebagai petugas desa dan meminta menggeldeah laptop dan ponsel anggota YLBHI.
Pesepeda Greenpeace yang melakukan kampanye tentang dampak iklim di Indonesia ke Bali dalam momentum G20 juga harus kembali ke Jakarta karena kekhawatiran tentang ancaman represi di lapangan.
Sementara itu, aktivis lingkungan Gendo Suardana mengatakan terdapat wacana represi di balik G20, dengan adanya pembatasan pergerakan dan warga yang berkumpul.
"Rakyatnya dibatasi, PPKM dengan semena-mena tanpa kedaruratan, seperti menjadi pandemi G20," katanya.
"Ini buruk buat rakyat ... kesadaran rakyat dibangun atas kesadaran palsu seolah-olah untuk kegiatan dengan model G20 ini otoritas bisa memberlakukan PPKM."
Meski iklim menjadi salah satu topik pembahasan konferensi tersebut, lingkungan adalah topik yang menurut Gendo masih jauh dari pembicaraan.
"Hari ini Bali gagal mengajarkan soal demokrasi. Jadi jangan bicara soal lingkungan hiduplah, lingkungan hidup basisnya dari demokrasi kok," katanya.
"Apa manfaat [konferensi ini] untuk masyarakat yang termaginalkan, yang gagal dalam praktik demokrasi kacau?"
BACA ARTIKEL LAINNYA... Delegasi G20 Pakai Pesawat Pribadi Didatangi Petugas Imigrasi