jpnn.com, JAKARTA - Pertemuan KTT G20 diharapkan membawa hasil yang konkret bagi masyarakat dunia. Terlebih di tengah berbagai tantangan, mulai dari konflik geopolitik maupun isu kerawanan pangan.
Ekonom INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan dalam working group pertanian G20, sudah dibahas beberapa hal krusial tentang pangan dunia.
BACA JUGA: Menjelang KTT G20, Ratusan Personel Disiagakan di Labuan Bajo
“Memang mereka sudah berkomitmen untuk bersama-sama setidaknya punya urgensi terkait krisis pangan. Salah satu persoalan krisis pangan, yaitu nutrisi dan kemiskinan,” ungkap Andri, Kamis (10/11/2022).
Dari pertemuan tersebut, Agriculture Working Group G20 sepakat untuk mempromosikan terciptanya sistem pangan yang berkelanjutan dan tangguh.
BACA JUGA: Jenderal Andika: Kami Menyiapkan yang Terbaik untuk Menyukseskan KTT G20
“Jadi, ketika ada krisis baru, bisa setidaknya bertahan. Ketangguhan pertanian dan sistem pangan menjadi hal penting,” ujar Andri.
Beberapa inisiatif global telah diluncurkan oleh organisasi regional, internasional, dan bahkan secara mandiri oleh beberapa negara untuk menghadapi permasalahan ketahanan pangan, seperti the UN Global Crisis Response Group (GCRG), the G7 Global Alliance for Food Security (GAFS), the Global Agriculture and Food Security Program (GAFSP), International Finance Institutions Action Plan, dan Global Development Initiative.
BACA JUGA: Menko Airlangga Hartarto: Indonesia akan Jadi Perhatian Dunia di KTT G20
“Agriculture ministerial negara G20 pengen adanya praktek perdagangan pangan yang setidaknya bisa terbuka, transparan tidak mendiskriminasi dan bisa menciptakan komoditas pangan yang tersedia dan bisa dijangkau oleh seluruh negara,” sebut Andri.
Lebih lanjut, dia mendorong organisasi internasional terkait untuk memonitor implementasi hasil-hasil kesepakatan tersebut.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan Indonesia akan menjadi perhatian dunia dalam penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Nusa Dua, Bali, pada 15-16 November ini.
Hal itu tidak terlepas dari performa perekonomian Indonesia dalam kondisi yang baik untuk memimpin G20.
"Dari segi recognition, Indonesia akan menjadi perhatian dunia," kata Menko Airlangga.
Ketum Golkar itu menjelaskan ekonomi Indonesia tumbuh impresif sebesar 5,72 persen (yoy) pada Kuartal III-2022 pada saat G20 Indonesia berlangsung.
Pemerintah juga berhasil menekan tingkat inflasi menjadi 5,7 persen. Selain itu, Indonesia juga akan memegang keketuaan ASEAN.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan capaian Indonesia itu membuktikan ekonomi lebih resilien dibanding negara maju atau negara besar lain.
Meski demikian, Faisal menekankan untuk lebih mewaspadai masa selanjutnya.
“Ini menunjukkan sebenarnya ekonomi Indonesia itu relatif lebih resilien. Dibandingkan dengan negara-negara yang ada di luar, terutama negara-negara maju, negara-negara yang lebih besar. Namun, ini tidak berhenti di Kuartal III saja. Yang perlu kita waspadai adalah ke depannya di Kuartal IV dan 2023,” terangnya.
Menjaga Daya Beli
Menurut Faisal, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak didorong oleh kalangan menengah atas yang mempunyai daya beli relatif lebih tahan pada inflasi dibandingkan kalangan bawah.
Meski demikian, Faisal juga tetap menekankan pentingnya untuk menjaga daya beli kedua kalangan, khususnya kalangan bawah.
“Sebetulnya ekonomi itu digerakkan oleh kalangan menengah-atas yang tidak terlalu banyak terpengaruh oleh inflasi, namun inflasi yang lebih tinggi itu mengena pada daya beli terutama pada kalangan bawah. Ini yang perlu dilihat,” tandasnya.
Faisal mengungkapkan pentingnya konsumsi rumah tangga dengan menjaga daya beli masyarakat.
Hal itu untuk menepis kekhawatiran pertumbuhan ekonomi lebih tinggi disertai kesenjangan lebih lebar antara kalangan menengah-atas dan kalangan bawah.
Kalangan masyarakat bawah tidak mendapat multiplier effect (efek ganda) yang cukup dari pertumbuhan ekonomi, mereka bahkan justru mendapat tekanan baru karena adanya kenaikan biaya hidup sebab inflasi.
“Jadi, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan kalangan menengah ke bawah, kebijakan-kebijakan insentif yang diberikan itu jangan sampai kontra-produktif terhadap menjaga daya beli kalangan menengah ke bawahnya,” tegasnya.
Selain program bantuan sosial (Bansos) dalam menjaga daya beli, pemerintah juga perlu untuk menciptakan lapangan kerja yang cocok dengan kapasitas dan kemampuan kalangan menengah ke bawah.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu untuk mengamankan sisi produksi dengan memberikan insentif untuk UMKM.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari