Kuasa Hukum Minta Jubir KPK Jangan Congkak dan Tak Perlu Ajari Kusnadi Soal Kejujuran

Rabu, 03 Juli 2024 – 16:23 WIB
Staf Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Kusnadi (dua dari kiri) didampingi Petrus Selestinus di kantor Komnas HAM di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (12/6). Aristo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Kuasa Hukum Kusnadi staf Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Petrus Selestinus SH, merespons pernyataan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tessa Mahardhika Sugiarto agar Kusnadi menyampaikan kebenaran jika mendapatkan ancaman dari penyidik KPK.

Permintaan tersebut, menurut Petrus, merupakan wujud sikap congkak yang berlebihan dari KPK. Seolah-olah "kebenaran" hanya milik dan menjadi monopoli penyidik KPK, lalu Kusnadi di pihak yang tidak jujur.

BACA JUGA: Seusai Jalani Pemeriksaan, Staf Sekjen PDIP Mengaku Ditanya soal Ponsel yang Dirampas KPK

"Karena itu, Tessa tidak perlu mengajari Kusnadi soal kejujuran dan soal ancaman yang dirasakan oleh Kusnadi. Sebagai Jubir KPK, Tessa sebaiknya introspeksi diri dan benahi KPK ke dalam," kata Petrus yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dalam keterangan resminya, Rabu (3/7/2024).

"Karena pada saat Tessa meminta Kusnadi berkata jujur, pada saat yang sama Tessa dan bahkan KPK berada dalam kepungan intervensi liar pihak eksternal, dan itu berarti sikap jujur dan taat asas dalam tugas dan wewenang KPK telah tiada," imbuhnya.

BACA JUGA: Pengacara Staf Sekjen PDIP Beber Perbuatan AKBP Rossa Cs yang Melawan Hukum

Buktinya, kata Petrus, dalam kasus Kusnadi, oknum penyidik KPK justru menunjukkan sikap tidak jujur atau berbohong tentang apa yang mereka lakukan terhadap Kusnadi dan apa yang dialami dan dirasakan Kusnadi, yaitu "ancaman" yang faktual dan "perlindungan" saksi sebagai suatu kebutuhan riil.

Kurang Baca Undang-undang

BACA JUGA: Penuhi Panggilan KPK, Staf Sekjen PDIP Masih Trauma

Menurut Petrus, sebagai Jubir KPK, Tessa harus banyak nembaca undang-undang (UU) lain terkait tugas dan wewenang KPK, di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, misalnya.

"Di situ diatur soal 'ancaman' sebagai perbuatan yang menimbulkan akibat yaitu rasa takut yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam proses peradilan pidana," jelasnya.

Begitu pula "perlindungan", kata Petrus, adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau "lembaga lainnya" sesuai dengan undang-undang tersebut.

Dengan demikian, lanjut Petrus, Kusnadi memiliki "legal standing" (posisi hukum) untuk meminta perlindungan sebagai saksi kepada LPSK, karena peristiwa yang dialami pada Senin (10/6/2024) di Lantai 2 Gedung KPK, sebagai peristiwa yang faktual yang merupakan bagian dari rekayasa untuk "memeras" pengakuan demi memenuhi pesanan pihak eksternal.

"Tindakan penyidik KPK inilah yang menimbulkan akibat berupa 'rasa takut" dan 'trauma' yang nyata bagi Kusnadi. Di sinilah terdapat 'ratio decidendi' antara ancaman yang menimbulkan rasa takut, dan rasa takut melahirkan permintaan 'perlindungan saksi' kepada LPSK," cetusnya.

Kusnadi Ditangkap

Oknum penyidik KPK, tutur Petrus lebih lanjut, diduga memanipulasi dokumen administrasi penggeledahan, penyitaan dan tanda terima barang sitaan dari Kusnadi, guna membungkus rapi tindakan yang melanggar hukum berupa "penangkapan" terhadap Kusnadi selama kurang lebih 3 jam di Lantai 2 Gedung KPK.

"Melalui penangkapan ini, penyidik leluasa melakukan perampasan kemerdekaan dan barang milik pribadi, penggeledahan badan dan penyitaan barang bukti, dengan memperlakukan Kusnadi seolah-olah tertangkap tangan. Ini jelas melanggar hukum," tegasnya.

Oleh karena itu, kata Petrus, Jubir KPK Tessa Mahardhika jangan pura-pura tidak tahu, atau berlagak pilon dan bertanya peristiwa apa yang terjadi dan dialami Kusnadi pada 10 Juni 2024 di Lantai 2 Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, karena fakta dan peristiwa ancaman itu faktual, bukan ilusi.

Langgar Hukum dan HAM

Peristiwa yang dialami Kusnadi, dinilai Petrus bukan saja sebuah pelanggaran prosedur semata, akan tetapi lebih dari itu Kusnadi mengalami peristiwa yang patut diduga sebagai peristiwa pidana dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dkk.

"Sikap dan perilaku oknum penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dkk di luar mekanisme UU dalam penyidikan kasus Harun Masiku. Terdapat benang merah dengan apa yang diminta oleh Alex Marwata, Wakil Ketua KPK agar penyidik kasus korupsi Harun Masiku tidak bekerja atas arahan eksternal," paparnya.

Pernyataan Alex Marwata itu, kata Petrus, dipertegas oleh Ketua KPK Nawawi Pomolango saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, Senin (1/7/2024) bahwa intervensi yang lebih besar dialami KPK justru kerap diterima penyidik-penyidik KPK di tingkat bawah.

"Padahal saat ini KPK memiliki 140 orang penyidik dari Polri dan 150 orang penyidik dan penuntut umum dari Kejaksaan Agung yang mayoritas menguasai jabatan strategis dalam penindakan. Namun karena KPK sering diintervensi, maka jatidiri KPK sekarang adalah jatidiri polisi, yang kehilangan independensi dan kedigdayaan sehingga sering 'offside' dalam bertindak," tandasnya.(ray/jpnn)


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler