jpnn.com, SEMARANG - Guru Besar Hukum Pidana UI Prof Harkristuti Harkrisnowo mendukung sikap pemerintah Indonesia yang membuat KUHP baru dan menggantikan versi lama.
Dengan adanya KUHP baru, dia menyebut Indonesia segera memasuki era hukum pidana yang lebih sesuai dengan kepribadian dan jati diri bangsa.
BACA JUGA: USU dan MAHUPIKI Berkomitmen Untuk Optimalkan Sosialisasi KUHP
Harkristuti memaparkan perbedaan mencolok antara KUHP nasional dengan aturan peninggalan Belanda misalnya pada pidana perzinaan dan kohabitasi.
Dalam KUHP lama hal-hal semacam itu berlawanan dengan kultur dan budaya yang tertanam di masyarakat bangsa Indonesia.
BACA JUGA: MAHUPIKI Mengundang Sejumlah Guru Besar, Mereka Menjelaskan Urgensi KUHP Baru
"Pada pasal perzinahan dan kohabitasi, ada sebagian kalangan yang menganggap ini sebagai ranah privasi, sehingga seharusnya negara tidak ikut campur. Yang dilupakan bahwa kita bukan negara barat, di mana nilai-nilai semacam itu masih ada, hidup dan dipertahankan oleh masyarakat," ujar Harkristuti.
Hal itu dia sampaikan saat berbicara dalam Sosialisasi KUHP yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Hotel Patra, Semarang, Rabu (1/2).
BACA JUGA: DPC Peradi Jakbar Minta Peserta PKPA Segera Pahami KUHP Baru
Dia menyebut dalam KUHP baru yang tak kalah penting untuk disosialisasikan ke masyarakat adalah Pasal 218 tentang Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Pasal 240 Tentang Penghinaan Pemerintah atau Lembaga Negara.
Menurutnya, pasal tersebut dibuat bukan untuk membungkam masyarakat. Indonesia memang negara yang menganut asas demokrasi, namun bukan berarti diartikan sebagai demokrasi yang kebablasan.
Perbedaan antara kritik dan penghinaan pun ditekankan dalam pasal tersebut. Maka, tidak akan ada proses hukum tanpa adanya pengaduan yang sah dari pihak yang berhak mengadu, yaitu Presiden atau Wapres (Pasal 218 UU KUHP) dan Pimpinan Lembaga Negara (Pasal 240 UU KUHP).
"Penting dijelaskan bahwa pasal tentang penghinaan Presiden itu bukan untuk membungkam. Karena pidana ini memiliki persyaratan. Kritik tidak apa-apa, tetapi apabila penghinaan, pencemaran nama baik, itu yang dilarang," ujar Harkristuti.
Pembicara lain yakni Guru Besar Fakultas Hukum UI Prof Topo Santoso menjelaskan para perumus KUHP nasional berhasil memperbaiki tujuan pemidanaan, dari sekadar untuk menghukum atau membalas para pelaku pada KUHP lama.
"Dalam pemidanaan, pendekatan utama KUHP nasional bukan falsafah retributif, tetapi tujuannya ditegaskan untuk preventif, kemudian untuk menghindari konflik, untuk memulihkan keseimbangan. Itu hal-hal yang khas Indonesia dan tidak ada di KUHP lama," kata Topo.
KUHP nasional juga lebih komprehensif karena banyak memperbaiki kekurangan KUHP kolonial. Ini ditandai dengan lebih banyaknya pasal KUHP baru yang diundangkan sebagai UU No 1/ 2023 ini. Yaitu, terdiri dari 37 Bab, 624 Pasal dan 345 halaman; dan terbagi dalam dua bagian, yakni bagian pasal dan penjelasan.
"Intinya, perbedaan utama antara KUHP nasional dengan KUHP lama adalah prinsip dan sangat fundamental, baik mengenai tindak pidana, mengenai pertanggungjawaban pidana, mengenai pemidanaan dan tindakan," kata dia. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahupiki Sosialisasi KUHP, Sejumlah Guru Besar Terkenal jadi Narasumber, Begini Pendapat Mereka
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan