Kupas Tuntas Arti Penting Merek di KAGAMA Inkubasi Bisnis

Senin, 27 Januari 2020 – 02:19 WIB
KAGAMA Inkubasi Bisnis (KIB) dengan tema Smart Branding: Kiat Mengelola Brand untuk Tingkatkan Profit di Jakarta, Sabtu (25/1). Foto: Dok Pri

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif PP KAGAMA Hasannudin M. Kholil mengatakan, merek memiliki kekuatan dan nilainya mahal.

“Di forum KIB ini, bersama Mas Silih, kami bahas bersama,” kata Hasannudin dalam KAGAMA Inkubasi Bisnis (KIB) dengan tema Smart Branding: Kiat Mengelola Brand untuk Tingkatkan Profit di Jakarta, Sabtu (25/1).

BACA JUGA: Munas ke-13 KAGAMA Lahirkan 13 Rekomendasi Strategis

Dia menambahkan, KAGAMA Inkubasi Bisnis merupakan program rutin PP KAGAMA yang bertujuan meningkatkan kompetensi alumni UGM, khususnya dalam aspek pengetahuan dan keterampilan bisnis.

“Kegiatan ini ditujukan untuk alumni UGM yang berminat memulai bisnis maupun yang sudah memiliki usaha dan  ingin memperbesar usahanya,” imbuh dia.

BACA JUGA: Budi Karya Berharap Anggota Kagama Tetap Migunani

Sementara itu, Silih Agung Wasesa selaku salah satu pembicara mengatakan bahwa pemilik bisnis harus aware terhadap tanda-tanda kuat atau lemahnya  merek. 

Sebab, brand vital sign akan menjadi pijakan dasar setiap saat atas kerja keras membangun usaha.

“Brand vital sign dibentuk  dari aspek kepatuhan (compliance) dan kontribusi (contribution),” ujar Silih.

Dia menambahkan, aspek kepatuhan adalah tidak melakukan hal yang keliru menyangkut integritas, kejujuran, hubungan personal, transparansi, keterbukaan, dan trust. 

Sementara itu, aspek kontribusi adalah melakukan hal yang benar menyangkut tujuan bisnis, perlakuan pada pegawai, saluran distribusi, dan inovasi produk.

Dalam kesempatan itu Silih juga menyampaikan tentang  skema brand vital sign. 

Pertama adalah character, yakni menyinergikan antara brand, finansial, dan profit dalam pengambilan keputusan.

Kedua adalah convergence, yakni melakukan konvergensi antara karyawan, supplier, dan jaringan distribusi. Ketiga adalah experience, yakni membangun pola pengalaman konsumen.

Keempat adalah engineering, yakni menerjemahkan corporate brand value dan product brand value menjadi pesan kunci dan model penyampaian pesan.

Kelima adalah key performance indicator meliputi output (volume penjualan, jumlah produk, jumlah outlet) dan outcome (peningkatan profit dan cash-in-hand).

Silih juga mencontohkan aspek experience. Menurut dia, kalau baru buka warung, pemilik usaha bersedia menjadi kasir dan melayani pelanggan.

“Namun, ketika sudah punya tiga warung umumnya malas melayani pelanggan secara langsung. Padahal pelanggan itu senang ketika bertemu langsung dengan pemilik warung,” kata Silih. (jos/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler