Kurang Semriwing, Didi Kempot Tak Bisa Nyanyikan Stasiun Balapan

Minggu, 09 Februari 2014 – 07:15 WIB
Pruduction Manager PT IMC Duta Record Hadi Pranoto di ruang kerjanya. Foto: Dody Bayu Prasetyo/Jawa Pos

jpnn.com - Meredupnya musik dengan lirik berbahasa Jawa setelah era campursari dan keroncong dangdut membuat penggiat musik tradisional ini kelabakan. Musik paling populer di Brasil, bossa nova, lantas dipilih untuk diramu dengan lirik Jawa. Lewat genre jazz nonindustri tersebut, lagu berlirik bahasa Jawa berhasil mendekati kalangan menengah, yang merasa keren bila mendengarkan jazz.

DODY BAYU PRASETYO, Semarang

BACA JUGA: Selamatkan 100 Bayi Prematur di Rumah-rumah

SUARA lirih Dian Kusuma mendayu menimpali petikan gitar klasik, bas akustik, saksofon alto, dan piano dengan ritme yang seolah berjingkat. Seolah toleran dengan suara Dian yang hanya  seperti bisikan, ketukan drum hanya didominasi suara simbal dan tom-tom serta sesekali ditimpali snare drum. Itulah bossa nova, tren baru, gaya musik ciptaan Joao Gilberto pada 1958.

Di telinga Hadi Pranoto dan Wandy Gaotama, keduanya produser dari Indo Music Record, bossa nova adalah alat untuk mengenalkan musik berlirik Jawa bagi kalangan kelas menengah yang menggemari jazz. Kebetulan, Indo Music Record adalah rumah bagi musik berlirik bahasa Jawa. Indo Music Record pula yang melambungkan Didi Prasetyo alias Didi Kempot di puncak era campursari.

BACA JUGA: Tidur tak Nyenyak, Mandi pun Harus Ngebut

”Kami ada ide buat lagu Jawa pakai bossas (singkatan bossa nova). Tapi, saya sendiri ragu, apa laku?” kata Hadi Pranoto saat ditemui di studio IMC, Jalan Jeruk Raya 12, Sompok, Peterongan, Semarang, Rabu lalu (5/2).

Bossa nova memang kental dengan irama Latin. Bahkan, dalam musik aslinya, lirik lagunya menggunakan bahasa Latin. Namun, rupanya musik yang mirip lagu pengantar tidur itu klop dengan lirik lagu-lagu yang sebelumnya dinyanyikan dalam irama campursari yang riang atau keroncong dangdut yang ingar-bingar. Hanya butuh waktu kurang dari sebulan, sepuluh lagu campursari berhasil digubah dan direkam dalam album Bossanova Jawa I pada 2003.

BACA JUGA: Nalini seperti Ibu Sendiri, Bersyukur Bertemu Dokter-Dokter Baik Hati

Meski lagu-lagu yang dinyanyikan sama seperti lagu-lagu yang dipopulerkan Didi Kempot, penyanyi kondang asal Solo itu tak dilibatkan dalam proyek album Bossanova. Suara Didi dinilai terlalu tinggi sehingga tidak cocok untuk menyanyi bossa nova yang mensyaratkan suara lirih, bening, namun tidak terlalu rendah.

”Didi Kempot belum pernah saya minta nyanyi bossas, suaranya terlalu tinggi. Yang diminta suaranya soft. Tapi kalau suaranya terlalu rendah juga tidak bagus,” terang pria kelahiran 1957 itu. Akhirnya, sejumlah penyanyi yang kurang populer dipilih untuk menyanyikan lagu-lagu tenar, seperti Layang Kangen, Mawar Biru, dan Gambang Semarang.

Album tersebut diedarkan dalam bentuk kaset. Hasilnya, gagal total. Nongkrong di rak album pop-jazz di toko-toko kaset, bukan di rak album tradisional seperti kaset Didi Kempot, album Bossanova Jawa I sama sekali tidak laku di pasar. ”Dulu isi pitanya sampai saya hapus dan saya isi suara (kicauan) burung, lantas saya jual lagi. Sama sekali gak laku,” cetus Hadi.

Meski demikian, mereka tak kapok. Selain pasar yang tidak siap menerima lagu berbahasa Jawa dinyanyikan dengan musik yang kurang easy listening, IMC menilai album pertama yang sepenuhnya direkam secara terprogram itu kurang cocok karena tidak betul-betul menerapkan pakem bossas.

Karena itu, pada album Bossanova Jawa II, mereka memasukkan permainan alat musik yang direkam dalam permainan live. Maka, aspek improvisasi yang khas dalam permainan jazz lebih terasa kental. Selain itu, aspek permainan alat musik menjadi perhatian utama. Misalnya, petikan gitar bersenar nilon benar-benar dilakukan dengan jari, bukan dengan plectrum (segi tiga plastik yang berfungsi menggantikan fungsi kuku saat memetik dawai gitar).

Karena ketika itu alat pemutar musik digital mulai marak, IMC juga tidak lagi merekam album menggunakan media cassette recorder, melainkan compact disk (CD). Mereka juga mulai mengontrak Dian Kusuma untuk mengisi vokal. Suara alto Dian yang soft cocok untuk menyanyikan lagu Jawa yang diiringi musik jazz. Meski demikian, Hadi mengaku masih kerap meminta Dian menurunkan intonasi suaranya setengah nada agar timbul suara desahan. ”Orang kalau dengar desahannya jadi semriwing,” ujarnya.

Selain kecocokan jenis suara, penyanyi album Bossanova Jawa dituntut untuk dapat menyanyikan lagu Jawa dengan bahasa Jawa yang medok seperti alunan langgam aslinya. Hasilnya, sukses! Seribu keping CD berhasil dijual ketika itu. Itu berarti hampir seluruh jumlah CD yang digandakan dan diedarkan. ”Kesuksesan album kedua membuat banyak orang memburu album jilid satu dan album-album berikutnya,” ungkap Hadi.

Untuk menghasilkan satu lagu bossas campur Jawa, Hadi menyatakan bahwa rumah produksinya hanya cukup membutuhkan waktu satu hari. Namun, untuk dapat menciptakan satu buah album bossas yang berisi sepuluh buah lagu, dia mengatakan butuh waktu tiga bulan untuk menyelesaikannya. ”Tidak bisa sepuluh hari. Karena tes suara untuk penyanyinya saja sekitar dua minggu, belum lagi tes gitaris, saksofon, dan aransemen suaranya,” paparnya.

Meskipun diproduksi di Semarang, Hadi mengatakan, album-album bossas justru laku keras di Jakarta. ”Peminatnya banyak dari Jakarta, lalu sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kalau di Semarang sendiri malah tidak begitu laku,” kata Hadi.

Hal tersebut, menurut analisisnya, disebabkan warga ibu kota, terutama kalangan menengah atas, memiliki selera yang tinggi terhadap musik jazz. Selain itu, apresiasi warga Jakarta terhadap CD album orisinal masih tinggi.

”Kalau warga di sini (Semarang) masih menganggap CD orisinal masih terlalu mahal. Tapi, kalau di Jakarta dan penikmat musik yang bener, berapa pun harganya pasti lebih memilih yang orisinal,” ungkapnya.

Sejak memperkenalkan album Bossanova Jawa I pada 2003, hingga kini PT IMC Duta Record telah mengeluarkan delapan album Bossanova Jawa. Total lagu yang telah digubah ke bossas sekitar 80 buah. Di antaranya Alun-Alun Nganjuk ciptaan Daru Antariksa, Yen Ing Tawang gubahan Anjarany, Cucak Rowo (anonim), Ojo Sujono ciptaan Didi Kempot, hingga Nagih Janji. Lagu Nunut Ngiyup diubahnya menjadi mirip Mosaic-nya Art Blakey, sementara lagu Cucak Rowo kini memiliki rasa Snide Remarks milik Bill Stewart.

Bukan hanya bahasa Jawa yang diubah Hadi ke bossas. Lagu berbahasa Indonesia pun pernah dia garap menjadi bossa nova. Antara lain Jembatan Merah ciptaan Gesang, Hitam Manis karya Ismail Marzuki, dan Kota Solo gubahan Samsidi. Hadi juga mengatakan tidak menentukan jazz aliran mana yang digunakan untuk mengiringi gending-gending Jawanya. ”Pokoknya, kalau didengar bisa pas dan enak, yo wes,” ucapnya.

Sebagai seniman, Hadi sangat sedih tatkala isi rekaman hasil buah karya timnya dibajak pihak yang tidak bertanggung jawab. Akibat pembajakan tersebut, dia mengaku hanya memperoleh keuntungan bersih sebesar 30 persen dari tiap keping CD Bossanova Jawa seharga Rp 35 hingga 40 ribu. ”Sisanya diambil pembajak,” katanya.    

Gara-gara pembajakan itulah, Hadi mengakui, pihaknya tidak berani mencetak banyak album. Maksimal seribu keping. Tujuannya, album tersebut tidak dibajak karena dianggap tidak akan laku. Padahal, IMC menganut falsafah Jawa alon-alon asal kelakon. ”Kalau seribu habis ya cetak lagi. Itu lebih baik daripada dimakan pembajak,” tutur Hadi.

Hadi berharap pemerintah memperhatikan karya seniman dan lebih memperketat pengawasan terhadap tindak pidana pembajakan. ”Saya kadang bertanya, buat apa kita membayar pajak untuk karya kita" Apakah nanti karya kita dilindungi?” ujarnya masygul. (*/c9/noe)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Kepala Daerah yang Sukses Menjinakkan Bencana


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler