Tidur tak Nyenyak, Mandi pun Harus Ngebut

Jumat, 07 Februari 2014 – 16:48 WIB
Serda Sudiyono (kiri) dan Serda Musa Arsi (kanan) penjaga zona merah di Desa Gurukinayan, Kecamatan Payung, Karo. Foto: AMINOER RASYID/SUMUT POS/JPNN

SEJAK Oktober 2013 lalu, Serda Musa Arsi dan Serda Sudiyono ditugaskan menjaga pintu perbatasan zona merah atau daerah radius rawan yang berada di Desa Payung Simpang Gurki, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo. Seperti apa kisah mereka?
------------
Parlindungan Harahap, Karo
-----------

Hanya didukung portal terbuat dari bambu dan spanduk bertuliskan larangan masuk, kedua personel TNI dari Kodim 0205 itu berupaya mensterilkan daerah yang menghubungkan langsung ke mulut kawah Sinabung itu. Mencegah warga nyelonong ke area bahaya.

BACA JUGA: Nalini seperti Ibu Sendiri, Bersyukur Bertemu Dokter-Dokter Baik Hati

Repot memang, karena ada beberapa jalan tembusan (jalan tikus) untuk sampai ke daerah yang terdapat 3 desa di dalamnya itu, yaitu Desa Sukameriah, Simacem, dan Bekerah sehingga menuntut untuk siaga ekstra.

“Untuk tidur, biasanya kita tidur di warung kopi di depan jalan masuk zona merah yang kita jaga. Terkadang, kita tidur di teras rumah warga dengan beralas tikar. Selain tempat, tanggung jawab atas tugas yang kita emban juga membuat kita tidak nyenyak tidur,” ungkap Serda Sudiyono ketika berbincang dengan Sumut Pos (grup JPNN),di Simpang Desa Guru Kinayan, beberapa hari lalu.

BACA JUGA: Kisah Kepala Daerah yang Sukses Menjinakkan Bencana

Begitu juga untuk mandi, bapak dua anak itu mengaku melakukannya di kamar mandi sebuah Sekolah Dasar Negeri yang ada di Desa Payung Kecamatan Payung. Namun, diakui anggota TNI yang tinggal di Desa Samura, Kecamatan Kabanjahe itu, kalau kenyamanan selayaknya mandi untuk membersihkan badan, tidak didapatinya selama berjaga.

Pasalnya, saat mandi pun tak bisa sewajarnya, harus ngebut byar-byur karena dirinya dituntut terus terus siaga dan bergerak cepat.

BACA JUGA: Berjuluk James Bond Melayu, Kepalanya Dihargai USD 50 Ribu

“Pada dasarnya, kita merasa puas dapat berbuat untuk masyarakat. Oleh karena itu, kita tetap bertahan, untuk melaksanakan tugas pengabdian kita dengan ikhlas. Namun tidak dipungkiri, kita juga rindu untuk dapat kembali berkumpul dengan keluarga dan beraktivitas seperti biasanya, “ ujar Sudiyono menambahkan.

Meski seorang tentara, namun sebagai manusia biasa Serda Sudiyono juga mengaku merasa lebih khawatir menjaga pintu berbatasan zona merah Sinabung, bila dibanding saat dirinya bertugas di daerah konflik seperti di Aceh beberapa tahun lalu.

Ini karena bahaya erupsi yang dihadapi, yang bisa tiba-tiba tanpa terprediksi. Ketika berada di daerah konflik, hal terbesar dihadapi adalah serangan musuh yang pada dasarnya dapat diprediksi.

Namun, untuk tugas menjaga pintu perbatasan zona merah, bahaya yang dihadapi adalah alam yang sulit dideteksi pergerakannya, meski dengan alat pendeteksi.

“Seperti hal paling tidak terlupakan oleh saya yaitu saat gunung itu pernah bererupsi besar. Saat itu saya berada di perbatasan Desa Gurukinayan dan Desa Sukameriah. Saat itu, saya bersama masyarakat, sama-sama lari untuk menyelamatkan diri,” ujarnya.

Senada dengan Serda Sudiyono, Serda Musa Asri juga mengaku belum pernah merasakan tidur yang nyenyak, selama ditugaskan di pintu perbatasan zona merah Sinabung. Namun, dia tidak mengeluh. Pasalnya, hal itu sudah menjadi konsekwensi baginya sebagai seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia. Begitu juga dengan kerinduannya pada keluarga, diakuinya terobati dengan cara berkomunikasi via telepon.

Dikatakan bapak 4 anak itu, setiap mendengar kabar kondisi keluarga baik-baik saja, itu sudah cukup menjadikannya semakin kuat untuk bertahan melaksanakan tugas pengabdiannya itu.

"Perlu diketahui kalau keluarga tentara, harus siap dengan konsekwensi seperti ini, “ ungkap Anggota TNI yang tinggal di Jalan Turi Kecamatan Medan Kota itu singkat.

Saat disinggung adanya masyarakat masuk ke daerah larangan hingga memakan korban jiwa beberapa waktu lalu, Sudiyono dan Musa mengaku kalau mereka yang masuk sudah diperingatkan sebelumnya. Bahkan, keduanya meyakini kalau mereka yang masuk ke daerah berbahaya itu melalui jalan tikus.

“Kalau untuk pintu perbatasan zona merah yang ada di Kecamatan Payung ini, ada empat pintu perbatasan yaitu Simpang Gurki, Simpang Perbaji, Simpang Temberun, dan Simpang Mardinding. Namun, pintu perbatasan di Simpang Gurki ini yang menjadi jalur terdekat dan langsung menuju mulut kawas gunung,” pungkasnya. (rbb/smg)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingin Pelajar Bangga Pakai Sepatu Merek Indonesia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler