jpnn.com - Pengamat dan praktisi pendidikan Muhammad Nur Rizal menyoroti kurangnya pemerataan kualitas hasil belajar dan infrastruktur sekolah di tanah air. Meskipun ada kenaikan signifikan anggaran pendidikan sebanyak 25% di APBN 2019 dibandingkan 2015 tetapi secara keseluruhan pembiayaannya lebih rendah dibanding rata-rata Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD.
"Permasalahan ini juga dilihat dari timpangnya hasil PISA di antara 34 provinsi di Indonesia," ujar Rizal dalam pesan tertulisnya, Selasa (23/3).
BACA JUGA: Satgas TMMD Boven Digoel Dorong Peningkatan Mutu Pendidikan
Dia menyebutkan hanya Yogyakarta dan Jakarta yang memiliki skor literasi matematika dan sains setara Malaysia dan Brunei Darusaalam. Sedangkan, 32 provinsi lain jauh di bawah mereka.
Laporan OECD juga menggambarkan, ketimpangan hasil belajar antara siswa dari keluarga menengah atas meningkat menjadi dua tahun dibandingkan siswa dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah di tahun 2019. Padahal sebelumnya hanya selisih satu tahun.
BACA JUGA: Ikhtiar Samsung dan IDE Meningkatkan Ekosistem Pendidikan Berbasis Digital
Rizal mengutip laporan OECD lainnya bahwa Indonesia membutuhkan peran sektor swasta yang lebih besar untuk meningkatkan proses dan kualitas hasil belajar siswa.
"Dalam peta jalan pendidikan untuk vokasi pemerintah mengharapkan komitmen sektor swasta menampung lulusan pendidikan vokasi," kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) ini.
BACA JUGA: Kemendikbud Klarifikasi soal Hilangnya Agama dan Pancasila Dalam Peta Jalan Pendidikan
Selain itu sektor swasta diminta pemerntah berperan menjadi pemimpin perubahan kurikulum yang lebih adaptif dengan dunia kerja agar lulusannya bisa diserap tinggi di berbagai sektor kerja baru.
"Pembiayaan sektor swasta di Indonesia sebesar 11,7% dari total anggaran. Sedangkan sektor swasta di negara-negara OECD sebesar 18%," ujarnya.
Data tersebut menunjukkan pemerintah tidak kuasa memperkecil gap pendidikan ini sendiri sehingga butuh pihak swasta. GSM, lanjut Rizal, memandang peran swasta bisa menjadi filantropi pendidikan di mana mereka mengeluarkan dana untuk membantu pemerataan proses infrastruktur dan kualitas hasil belajar antardaerah di Indonesia.
Sektor swasta bisa menggandeng kerja sama dengan kekuatan akar rumput yang sudah bergerak di bidang pendidikan. Kerja sama ini diharapkan bisa memantik Pemda untuk menjadi katalisator percepatan perubahan tersebut
Dia menegaskan, link and match tidak sekadar menyiapkan kompetensi tenaga kerja sesuai kebutuhan industri.
"Jadi kesadaran swasta untuk berperan lebih di dalam menyiapkan generasi masa depan harus ditingkatkan," pungkasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad