jpnn.com, JAKARTA - Rupiah sempat diperdagangkan di harga Rp 13.810 per USD dalam pasar spot, Kamis (1/3).
Pengamat Ekonomi INDEF Bhima Yudhistira menuturkan, pelemahan kurs rupiah ini akan berisiko menurunkan daya saing produk Indonesia baik domestik maupun ekspor.
BACA JUGA: 1997, Rupiah Melemah juga Usai Petinggi IMF Datang, Ada Apa?
Sebab, beberapa sektor industri bergantung oleh impor bahan baku dan barang modal. Jika dolarnya mahal, biaya produksi pasti naik ujungnya harga barang jadi lebih mahal.
Sementara konsumsi domestik masih stagnan, maka hal tersebut akan berpengaruh pada profit pengusaha juga.
BACA JUGA: Kurs Rupiah di Titik Terendah, Apa Pemicunya?
“Risiko berikutnya karena pelemahan rupiah beban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah maupun korporasi makin besar. Resiko gagal bayar apalagi utang swasta yang belum di lindung nilai (hedging) akan naik,” jelasnya pada Jawa Pos, kamis (1/3).
Bhima melanjutkan, risiko berikutnya adalah sebagai negara net importir minyak mentah, maka posisi Indonesia akan sangat sensitif terhadap pergerakan dolar.
BACA JUGA: Penguatan Rupiah Masih Bisa Terhambat
Jika dolar menguat terhadap rupiah, harga BBM akan tertekan baik yang subsidi maupun non subsidi.
Efeknya penyesuaian harga BBM berbagai jebis diprediksi akan terus dilakukan. Tercatat impor minyak Indonesia sebanyak 350-500 ribu barel per hari karena produksi dalam negeri tak mencukupi konsumsi BBM.
“Yang harus dilakukan BI adalah menjaga rupiah dilevel psikologis. BI bisa gunakan cadangan devisa (cadev) yang nilainya 132 miliar dolar untuk stabilisasi rupiah di pasar. Tapi konsekuensinya cadev akan terkuras. Sementara pemerintah perlu memperkuat fundamental perekonomian dan cadangan devisa melalui peningkatan ekspor non migas dan devisa pariwisata. Semakin kokoh cadangan devisa rupiah semakin terkendali,” imbuhnya. (rin/jun/vir/ken/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rupiah Diprediksi Melorot ke Rp 13.700
Redaktur & Reporter : Soetomo