Kursi Feodal Bertabur Puntung Rokok

Senin, 12 Desember 2011 – 08:28 WIB

GAJI dan fasilitas sudah tidak kalahKemampuan orang-orang BUMN juga sudah sama dengan swasta

BACA JUGA: Mengabdikah di BUMN? Lebih Sulitkah?

Memang iklim yang memengaruhinya masih berbeda, namun plus-minusnya juga seimbang
Apakah yang masih jauh berbeda? Tidak meragukan lagi, kulturlah yang masih jauh berbeda

BACA JUGA: Neraka dari Manajemen Musyrik

Di BUMN pembentukan kultur korporasi yang sehat masih sering terganggu


Terutama oleh kultur saling incar jabatan dengan cara yang curang: menggunakan backing

BACA JUGA: Langkah Pertama: Manufacturing Hope!

Baik backing dari dalam?maupun dari luarBacking dari dalam biasanya komisaris atau pejabat tinggi Kementerian BUMNTidak jarang juga ada yang menunggangi serikat pekerjaSedangkan, backing dari luar biasanya pejabat tinggi kementerian lain, politisi, tokoh nasional, termasuk di dalamnya tokoh agama.?
 
Saya masih harus belajar banyak memahami kultur yang sedang berkembang di semua BUMNItulah sebabnya sampai bulan kedua ini, saya masih terus-menerus mendatangi unit usaha dan berkeliling ke kantor-kantor BUMNSaya berusaha tidak memanggil direksi BUMN ke kementerian, melainkan sayalah yang mendatangi mereka

Sudah lebih 100 BUMN dan unit usahanya yang saya datangiSaya benar-benar ingin belajar memahami kultur manajemen yang berkembang di masing-masing BUMNSaya juga ingin menyelami keinginan, harapan, dan mimpi para pengelola BUMN kitaSaya ingin me-manufacturing hope.?
 
Dengan melihat langsung kantor mereka, ruang direksi mereka, ruang-ruang rapat mereka, dan raut wajah-wajah karyawan mereka, saya mencoba menerka kultur apa yang sedang berkembang di BUMN yang saya kunjungi ituKarena itu, kalau saya terbang dengan Citilink atau naik KRL dan kereta ekonomi, itu sama sekali bukan untuk sok sederhana, melainkan bagian dari keinginan saya untuk menyelami kultur yang lagi berkembang di semua unit usaha.?
 
Kunjungan-kunjungan itu tidak pernah saya beritahukan sebelumnyaItu sama sekali bukan dimaksudkan untuk sidak (inspeksi mendadak), melainkan untuk bisa melihat kultur asli yang berkembang di sebuah BUMNApalagi saya termasuk orang yang kurang percaya dengan efektivitas sidak

Karena itu, kadang saya bisa bertemu direksinya, kadang juga tidakItu tidak masalahToh, kalau tujuannya hanya ingin bertemu direksinya, saya bisa panggil saja mereka ke kementerianYang ingin saya lihat adalah kultur yang berkembang di kantor-kantor ituKultur manajemennya.
 
Dari tampilan ruang kerja dan ruang-ruang rapat di BUMN itu, saya sudah bisa menarik kesimpulan sementara: BUMN kita masih belum satu kulturKulturnya masih aneka riaMasing-masing BUMN berkembang dengan kulturnya sendiri-sendiriJelekkah itu" Atau justru baikkah itu" Saya akan merenungkannya: perlukah ada satu saja corporate culture BUMN" Ataukah dibiarkan seperti apa adanya" Atau, perlukah justru ada kultur baru sama sekali"
 
Presiden SBY benarAda beberapa kantor mereka yang sangat mewahBeberapa ruang direksi BUMN "beberapa saja" sangat-sangat mewahnyaTapi, banyak juga kemewahan itu yang sebenarnya peninggalan direksi sebelumnya.
 
Salahkah ruang direksi BUMN yang mewah" Belum tentuKalau kemewahan itu menghasilkan kinerja dan pelayanan kepada publik yang luar biasa hebatnya, orang masih bisa memaklumiTentu saja kemewahaan itu tetap salah: kurang peka terhadap perasaan publik yang secara tidak langsung adalah pemilik perusahaan BUMN

Kemewahan itu juga tidak berbahaya kalau saja tidak sampai membuat direksinya terbuai: keasyikan di kantor, merusak sikap kejiwaannya dan lupa melihat bentuk pelayanan yang harus diberikanNamun, sungguh sulit dipahami manakala kemewahan itu menenggelamkan direksinya ke keasyikan surgawi yang lantas melupakan kinerja pelayanannya.?
 
Di samping soal kemewahan itu, saya juga masih melihat satu-dua BUMN yang dari penampilan ruang-ruang kerja dan ruang-ruang rapatnya masih bernada feodalMisalnya, ada ruang rapat yang kursi pimpinan rapatnya berbeda dengan kursi-kursi lainnyaKursi pimpinan rapat itu lebih besar, lebih empuk, dan sandarannya lebih tinggi.
 
Ruang rapat seperti ini, untuk sebuah perusahaan, sangat tidak tepatSangat tidak korporasiMasih mencerminkan kultur feodalismeSaya tidak mempersoalkan kalau yang seperti itu terjadi di instansi-instansi pemerintahNamun, saya akan mempersoalkannya karena BUMN adalah korporasi.
 
Harus disadari bahwa korporasi sangat berbeda dengan instansiKultur menjadi korporasi inilah yang masih harus terus dikembangkan di BUMNSaya akan cerewet dan terus mempersoalkan hal-hal seperti itu meski barangkali akan ada yang mengkritik "menteri kok mengurusi hal-hal sepele"

Saya tidak peduliToh, saya sudah menyatakan secara terbuka bahwa saya tidak akan terlalu memfungsikan diri sebagai menteri, melainkan sebagai chairman/CEO Kementerian BUMN.
 
Efektif tidaknya sebuah rapat sama sekali tidak ditentukan oleh bentuk kursi pimpinan rapatnyaRapat korporasi bisa disebut produktif manakala banyak ide lahir di situ, banyak pemecahan persoalan ditemukan di situ, dan banyak langkah baru diputuskan di situSaya tidak yakin ruang rapat yang feodalistik bisa mewujudkan semua itu.
 
Saya paham: kursi pimpinan yang berbeda mungkin dimaksudkan agar pimpinan bisa terlihat lebih berwibawaPadahal, kewibawaan tidak memiliki hubungan dengan bentuk kursiSusunan kursi ruang rapat seperti itu justru mencerminkan bentuk awal sebuah terorismeTerorisme ruang rapat.
 
Ide-ide, jalan-jalan keluar, keterbukaan, dan transformasi kultur korporasi tidak akan lahir dari suasana rapat yang terteror"Terorisme ruang rapat" hanya akan melahirkan turunannya: ketakutan, kebekuan, kelesuan, dan keapatisanBahkan, "terorisme ruang rapat" itu akan menular dan menyebar ke jenjang yang lebih bawahBisa-bisa seseorang yang jabatannya baru kepala cabang sudah berani minta agar kursi di ruang rapatnya dibedakan!
 
Tentu saya tidak akan mengeluarkan peraturan menteri mengenai susunan kursi ruang rapatBiarlah masing-masing merenungkannyaSaat kunjungan pun, saat melihat ruang rapat seperti itu, saya tidak mengeluarkan komentar apa-apaJuga tidak menampakkan ekspresi apa-apaSaya memang kaget, tetapi di dalam hati.
 
Yang juga membuat saya kaget (di dalam hati) adalah ini: asbakAda asbak yang penuh puntung rokok di ruang direksi dan di ruang rapatRuang direksi yang begitu dingin oleh AC, yang begitu bagus dan enak, dipenuhi asap dan bau rokok

Saya lirik agak lama asbak ituPenuh dengan puntungMenandakan betapa serunya perokok di situSaya masih bisa menahan ekspresi wajah kecewa atau marahSaya ingin memahami dulu jalan pikiran apa yang kira-kira dianut oleh direksi seperti ituApakah dia merasa sebagai penguasa yang boleh melanggar peraturan? Apakah dia mengira anak buahnya tidak mengeluhkannya? Apakah dia mengira untuk hal-hal tertentu pimpinan tidak perlu memberi contoh?
 
Soal rokok ini pun, saya tidak akan mengaturnyaSewaktu di PLN saya memang sangat keras melawan puntung rokokTetapi, di BUMN saya serahkan saja soal begini ke masing-masing korporasiHanya, harus fairKalau direksinya boleh merokok di ruang kerjanya, dia juga harus mengizinkan semua karyawannya merokok di ruang kerja merekaDia juga harus mengizinkan semua tamunya merokok di situ.
 
"Kursi feodal" dan "puntung rokok" itu terserah saja mau diapakanSaya hanya khawatir jangan sampai "nila setitik merusak susu se-Malinda"Bisa menimbulkan citra feodal BUMN secara keseluruhanPadahal, itu hanya terjadi di satu-dua BUMNSelebihnya sudah banyak yang sangat korporasi.(*)


   Dahlan Iskan
  Menteri  BUMN

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pembukaan SEA Games dan Ayam Mati Itu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler