Mengabdikah di BUMN? Lebih Sulitkah?

Senin, 05 Desember 2011 – 08:33 WIB

Benarkah menjadi eksekutif di BUMN itu lebih sulit dibanding di swasta? Benarkah menjadi direksi di perusahaan negara itu lebih makan hati? Lebih tersiksa? Lebih terkungkung birokrasi? Lebih terbelit peraturan? Lebih tidak ada hope? Jawabnya: entahlah.

Belum ada penelitian ilmiahnyaYang ada barulah rumor

BACA JUGA: Neraka dari Manajemen Musyrik

Persepsi
Anggapan

BACA JUGA: Langkah Pertama: Manufacturing Hope!



Bagaimana kalau dibalik: tidak mungkinkah anggapan itu hanya cermin dari pepatah "rumput di halaman tetangga lebih hijau"
Atau bahkan lebih negatif lagi: sebagai kambing hitam? Yakni, sebuah kambing hitam untuk pembenaran dari kegagalan? Atau sebuah kambing hitam untuk sebuah ketidakmampuan?

Agar lebih fair, sebaiknya didengar juga suara-suara dari kalangan eksekutif swasta

BACA JUGA: Pembukaan SEA Games dan Ayam Mati Itu



Mereka tentu bisa banyak berceritaMisalnya, cerita betapa stresnya mengejar target dari sang pemilik perusahaanDi sisi ini jelas menjadi eksekutif di swasta jauh lebih sulitBagi seorang eksekutif swasta yang tidak bisa mencapai target, hukumannya langsung di depan mata: diberhentikanBahkan, kalau lagi sial, yakni menghadapi pemilik perusahaan yang mulutnya kotor, seorang eksekutif swasta tidak ubahnya penghuni kebun binatang

Di BUMN konsekuensi tidak mencapai target tidak adaMenteri yang mewakili pemilik BUMN setidaknya tidak akan pernah mencaci maki eksekutifnya di depan umum

Bagaimana dengan citra campur tangan yang tinggi di BUMN? Ini pun kelihatannya juga hanya kambing hitamDi swasta campur tangan pemilik jauh lebih dalam.

Katakanlah direksi BUMN mengeluh seringnya dipanggil DPR sebagai salah satu bentuk campur tanganTapi, saya lihat, pemanggilan oleh DPR itu tidak sampai memiliki konsekuensi seberat pemanggilan oleh pemilik perusahaan swastaApalagi, Komisi VI DPR yang membawahkan BUMN sangat proporsionalTidak banyak yang aneh-anehBahkan, salah satu anggota DPR di situ, Mumtaz Amin Rais, sudah seperti anggota parlemen dari InggrisKalau bertanya sangat singkat, padat, dan langsung pada pokok persoalanTidak sampai satu menitAnggota yang lain juga tidak ada yang sampai menghujat tanpa alasan yang kuatJelaslah, campur tangan pemilik perusahaan swasta jauh lebih mendalam.

Di swasta juga sering ditemukan kenyataan ini: banyak pemilik perusahaan swasta yang maunya aneh-anehKediktatoran mereka juga luar biasa! Sangat biasa pemilik perusahaan swasta memaksakan kehendaknyaDengan demikian, cerita soal campur tangan pemilik, soal pemaksaan kehendak, dan soal kediktatoran pemilik di swasta jauh lebih besar daripada di BUMN.

Bagaimana dengan iklim korporasinya? Sebenarnya juga sama sajaHanya berbeda nuansanyaBukankah di swasta Anda juga sering terjepit oleh besarnya dominasi keluarga pemilik? Apalagi kalau si pemilik akhirnya sudah punya anak dan anak itu tumbuh dewasa dan menghasilkan menantu-menantu? Dengan demikian, tidak cukup kuat juga alasan bahwa menjadi eksekutif di BUMN itu lebih sulit karena iklim korporasinya kurang mendukung.

Bagaimana soal campur tangan politik? Memang ada anggapan campur tangan politik sangat menonjol di BUMNUntuk soal ini pun saya meragukannyaSaya melihat campur tangan itu lebih banyak lantaran justru diundang oleh eksekutif itu sendiriDi swasta pun kini akan tertular penyakit ituDengan banyaknya pemilik perusahaan swasta yang terjun ke politik, bisa jadi kerepotan eksekutif di swasta juga bertambah-tambahTidakkah Anda pusing menjadi eksekutif swasta yang pemiliknya berambisi terjun ke politik?

Maka, saya curiga orang-orang yang sering mengembuskan wacana bahwa menjadi eksekutif di BUMN itu sulit adalah orang-orang yang pada dasarnya memang tidak bisa bekerjaDi dunia ini alasan, dalih, kambing hitam, dan sebangsanya terlalu mudah dicariOrang yang sering diberi nasihat atasannya, tapi gagal dalam melaksanakan pekerjaannya, dia akan cenderung beralasan "terlalu banyak dicampuri sih!"Sebaliknya, orang yang diberi kepercayaan penuh, tapi juga gagal, dia akan bilang, "Tidak pernah ditengok sih!".

Maka, pada akhirnya sebenarnya kembali ke who is he! Kalau dibilang menjadi direksi di BUMN itu sulit dan bekerja di swasta ternyata juga sulit, lalu di mana dong bekerja yang enak? Yang tidak sulit? Yang tidak repot? Yang tidak stres? Yang gajinya besar? Yang fasilitasnya baik? Yang bisa bermewah-mewah? Yang bisa semaunya?

Saya tidak bisa menjawab ituYang paling tepat menjawabnya adalah orang yang tingkatan hidupnya lebih tinggi dari sayaBukan Rhenald Kasali atau Tanri Abeng atau Hermawan KartajayaBukan Peter Drucker, bukan pula Jack Welch

Yang paling tepat menjawab pertanyaan itu adalah seseorang yang lagi menikmati tidurnya yang pulas pada hari Senin pukul 10 pagi di bawah jembatan kereta api Manggarai dengan hanya beralaskan kartonDialah seenak-enaknya orangSebebas-bebasnya manusiaTidak mikir utang, tidak mikir target, tidak mikir tanggung jawabOrang seperti dialah yang barangkali justru heran melihat orang-orang yang sibuk!

Maksud saya: maka berhentilah mengeluh!
Maksud saya: tetapkanlah tekad! Mau jadi direksi BUMN atau mau di swastaAtau mau, he he, memilih hidup yang paling nikmat itu!
Maksud saya: kalau pilihan sudah dijatuhkan, tinggallah kita fokus di pilihan ituSepenuh hatiTidak ada pikiran lain kecuali bekerja, bekerja, bekerja!

Daripada mengeluh terus, berhentilah bekerjaMasih banyak orang lain yang mau bekerjaMasih banyak orang lain yang tanpa mengeluh bisa menunjukkan kemajuan!

Lihatlah direksi bank-bank BUMN ituMereka begitu majunyaSama sekali tidak kalah dengan direksi bank swastaPadahal, direksi bank BUMN itu terjepit antara peraturan birokrasi BUMN dan peraturan yang ketat dari bank sentralMana ada direksi yang dikontrol begitu ketat dari dua jurusan sekaligus melebihi direksi bank BUMN" Buktinya, bank-bank BUMN kita luar biasa.

Lihatlah pemilihan Marketeers of The Year yang sudah lima tahun dilaksanakan Marks Plus-nya Hermawan KartajayaEmpat tahun berturut-turut Marketeers of The Year-nya adalah direksi BUMN! Swasta baru menang satu kali! Para Marketeers of The Year dari BUMN itu adalah tipe orang-orang yang tidak pandai mengeluh! Mereka adalah tipe orang yang bekerja, bekerja, bekerja!

Lihatlah tiga CEO BUMN yang minggu lalu terpilih sebagai CEO BUMN of The Year: R.JLino (Dirut Pelindo 2), Tommy Soetomo (Dirut Angkasapura 1), dan Ignasius Jonan (Dirut Kereta Api Indonesia)Mereka adalah orang-orang yang sambil mengeluh terus bekerja kerasMereka terus menghasilkan prestasi dari sela-sela jepitan birokrasi dan peraturanBahkan, salah satu dari tiga orang itu terus bekerja keras sambil menahan sakitnya yang berat.

Lihat pulalah para direksi BUMN yang malam itu memenangi berbagai kategori inovasi di BUMNMereka adalah orang-orang andal yang mau mengabdi di BUMN

Maaf, mungkin inilah untuk kali terakhir saya menggunakan kata "mengabdi di BUMN"Setelah ini saya ingin menghapus istilah "mengabdi" ituIstilah "mengabdi di BUMN" tidak lebih dari sebuah kemunafikan

Selalu ada udang di balik batu di balik istilah "mengabdi di BUMN" ituSetiap ada pihak yang mengucapkan kata "mengabdi di BUMN", pasti ada mau yang ingin dia sampaikanBanyak sekali mantan pejabat BUMN yang ingin terus memiliki rumah jabatan dengan alasan sudah puluhan tahun mengabdi di BUMNTerlalu banyak orang BUMN yang memanfaatkan istilah mengabdi untuk tujuan-tujuan tersembunyiBarangkali memang sudah waktunya BUMN bukan lagi tempat mengabdi, dalam pengertian seperti ituKecuali mereka benar-benar mau bekerja keras di BUMN tanpa digaji! Sudah waktunya BUMN hanya sebagai tempat membuat prestasi(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Inikah Kisah Kasih Tak Sampai?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler