jpnn.com - Pemutaran Senyap, film dokumenter pemenang sejumlah penghargaan, di Kantor DPC PDIP Surabaya Jalan Kapuas pada Rabu malam lalu (10/12) terasa istimewa. Ada Kusuma Wijaya, dosen tamu National University of Singapore, yang mengalami kekerasan psikologi meski keluarganya tidak tahu apa-apa.
SENYUM tipis Kusuma Wijaya mengembang ketika banyak pemuda datang untuk nonton bareng (nobar) film Senyap. Film yang berjudul asli The Look of Silence tersebut memang sangat menyentuh hatinya. Untuk itulah, Kusuma bersedia menjadi penggagas acara pemutaran film besutan Joshua Oppenheimer tersebut.
Film itu cukup fenomenal. Menang di banyak festival. Antara lain, Grand Jury Prize pada Venice International Film Festival, Human Rights Nights Award, dan Busan Cinephile Award untuk film dokumenter terbaik. Film itu diperkenalkan kali pertama di Indonesia oleh Komnas HAM dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Banyak program nonton bareng di sejumlah kota. Salah satunya di Surabaya yang diprakarsai Kusuma bekerja sama dengan DPC PDIP Surabaya.
BACA JUGA: Christina Avanti, Peneliti Hormon Cinta yang Mendunia
Meski memenangkan banyak penghargaan, yang disuguhkan film itu tidak terlalu istimewa. Hampir sama dengan film Oppenheimer pertama yang berjudul Jagal. Yakni, bercerita tentang para eksekutor warga sipil yang membunuh orang-orang yang terindikasi PKI pada zaman rusuh itu. Nyaris identik dengan liputan investigatif majalah nasional tahun lalu.
Hanya bedanya, Senyap diambil dari perspektif berbeda. Film tersebut lebih mengarah pada gerak langkah Adi Rukun, adik Ramli, salah seorang korban yang dibunuh dengan kejam dalam peristiwa tersebut. Tokoh Adi dalam Senyap berusaha menemui pembunuh kakaknya. Termasuk, pamannya yang bertugas sebagai penjaga penjara pada malam Ramli dibunuh. Di dalam film itu, Oppenheimer berusaha mengontraskan kekesalan Adi dengan keriangan para penjagal saat menceritakan bagaimana mereka melakukan pembantaian.
BACA JUGA: Libatkan Seluruh Pegawai Pemkab Jadi Tenaga Marketing
Tetapi, bagi sebagian orang seperti Kusuma, film itu seakan memutar kenangan pahit dirinya. Dia mengatakan bahwa keluarganya menjadi korban konflik horizontal. Penyebabnya sepele. Kakeknya adalah anggota karawitan. Saat itu ada yang memfitnah bahwa semua anggota karawitan adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketua Lembaga Bhinneka Surabaya itu menceritakan, dulu kakeknya seorang kepala SD Gorang-gareng, Madiun. Berdasar cerita neneknya, kakeknya yang bernama Kasmadi diculik tentara saat berada di sekolah pada 1965. Keluarganya sudah berusaha mencari, namun tidak menemukannya. Sempat muncul kabar kakeknya telah dibunuh di Pabrik Gula Pagotan, Magetan.
Meski Kusuma tidak pernah bertemu dengan kakeknya, dia sering mendengar cerita tentang kebaikannya pada masa itu. Menurut dia, sang kakek adalah orang yang baik dan tidak pernah terlibat dalam gerakan PKI.
”Kakek saya adalah penabuh gendang di kelompok karawitan sejak PKI belum masuk Madiun. Saat itu semua anggota karawitan dianggap PKI,” ujar lelaki berusia 42 tahun itu.
Suami Sri Wulan tersebut mengakui bahwa peristiwa 1965 telah membuat seluruh keluarganya menderita. Akibat peristiwa itu, dia harus rela diusir dari tempat tinggal asalnya di Madiun.
”Setelah pergi dari Madiun, kami sekeluarga memilih hidup di Surabaya. Kami memulai kehidupan baru dan melupakan kenangan buruk. Tetapi, ada suatu kejadian yang membuat semua itu berubah,’’ tambah pria yang kini menjadi dosen Fakultas Sastra Inggris di Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya tersebut.
Kusuma mengatakan, ada tetangganya dari Madiun yang menyusul ke Surabaya. Dia memberi tahu bahwa warga lingkungan sekitarnya sudah mengecap keluarga Kusuma sebagai PKI. Akibatnya, keluarga Kusuma dikucilkan.
Sejak itu tak ada satu pun tetangga yang peduli pada keluarganya. Akibat peristiwa itu pula, ayah Kusuma berpesan untuk selalu menutupi identitas asli keluarganya.
Namun, ternyata hal tersebut tidak mudah bagi Kusuma. Sewaktu duduk di bangku SMP, dia pernah dipercaya sekolah untuk menjadi wakil dalam pemilihan siswa teladan tingkat kabupaten. Saat itu dia duduk di kelas dua SMP Negeri Prigon, Pasuruan. Ayah Hayang R. dan Widyaningrum Wulansari itu ingat bahwa dirinya telah berhasil di tingkat kecamatan dan lolos ke tingkat kabupaten.
Di kabupaten, Kusuma memperoleh nilai yang baik. Tetapi, dia tidak bisa menjadi siswa teladan. Panitia beralasan, Kusuma masih cucu anggota PKI dan tidak berhak memperoleh gelar siswa teladan. ”Saya sedih. Tapi, saya tahu itu bakal terjadi,” ucapnya.
Kusuma juga ingat, dulu dirinya sangat membenci pelajaran pendidikan moral Pancasila (PMP) dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB). Alasannya, di dalam dua pelajaran itu selalu dibahas pemberontakan PKI. Setiap pelajaran tersebut, pasti guru dan teman-temannya memandanginya tajam hingga dia selalu salah tingkah.
Hal yang juga membuat sedih Kusuma adalah pemutaran film G30S/PKI di sekolah. Dulu film dokumenter itu wajib ditonton di sekolah-sekolah. Setiap melihat film tersebut, lelaki yang lahir pada 22 Maret 1972 itu selalu merasa ketakutan. Tak jarang pula, teman-temannya mengejek dia sebagai cucu PKI selama nonton bareng film itu.
Untung, saat ini film tersebut sudah tidak ditayangkan lagi di televisi. Namun, kini perjuangan dan kesabaran keluarga Kusuma membuahkan hasil. Dia bersyukur bisa melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi.
Tetapi, tetap saja hidup Kusuma tidak mudah. Bahkan, ketika kuliah, stigma itu masih membuatnya kerepotan. Dia tidak menyerah. Kusuma pun berhasil di bidang pendidikan.
Selain di Unitomo, Kusuma kini menjadi dosen tamu dan mengajarkan sastra Inggris di National University of Singapore. Pada 2009 dia mendapat penghargaan The Best Translator and Interpreter dari Singapore Interpreter Association. Penghargaan itu diberikan karena prestasinya sebagai pengajar sekaligus juru bahasa terbaik di kampusnya.
”Saya berharap teman-teman yang punya nasib seperti saya terus semangat untuk berprestasi. Janganlah peristiwa masa lalu membuat kita semua minder,” katanya. (*/c7/ayi
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sepakbola Inggris, Magnet Wisata yang Menguras Kantong
Redaktur : Tim Redaksi