jpnn.com - JAKARTA - Sudah ada sejumlah hakim yang tertangkap karena terlibat praktek mafia hukum, namun kenyataannya praktek tersebut masih marak di dunia peradilan Indonesia. Komisi Yudisial (KY) yang merupakan satu-satunya lembaga pengawas perilaku hakim mengakui pihaknya punya banyak kendala dalam memberantas hakim yang berperilaku curang tersebut.
Komisioner KY Bidang Rekruitmen Hakim Taufiqurrahman Syahuri dapat memaklumi jika ada masyarakat yang beranggapan pengawasan perilaku hakim oleh KY dan Mahkamah Agung (MA) masih lemah. Dia menjelaskan bahwa pihaknya bersama MA tidak dapat berbuat banyak untuk memberantas hakim yang terlibat mafia peradilan, jika tanpa ada laporan dari masyarakat.
BACA JUGA: Kemensos Terima 70 PNS Penyandang Disabilitas
"Jadi pengawasan KY melibatkan masyarakat. Kalau ada masyarakat atau LSM yang tahu silakan datang ke KY karen akami juga butuh laporan masyarakat," kata pria yang akrab disapa Taufiq tersebut saat dihubungi Jawa Pos (induk JPNN) di Jakarta, kemarin (16/8).
Kendala lainnya adalah sulitnya mencari barang bukti dari praktek tersebut. Menurutnya, praktek mafia hukum yang ada di teras pengadilan Indonesia bersifat mirip gerakan bawah tanah. Sulit untuk dideteksi.
BACA JUGA: Penyandang Disabilitas Dapat Jatah CPNS
"Karena yang namanya mafia, mereka itu seperti hantu. Itu sebabnya praktek tersebut sulit dibuktikan," ujar Taufiq.
Dia juga membeberkan bahwa pihak yang terlibat dalam praktek kotor tersebut tidak hanya hakim, namun juga pihak pengacara yang berperkara di persidangan. Dia menilai bahwa hal tersebut sudah menjadi rahasia umum di masyarakat.
BACA JUGA: Tim Transisi Cari Terobosan untuk Siasati RAPBN 2015
"Semua sebenarnya sudah tahu siapa yang mengurus kasus-kasus di pengadilan," tandasnya.
Terkait hal tersebut, Taufiq mengkritik pihak Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang tidak tegas mengawasi perilaku dan kode etik pengacara yang menjadi anggotanya.
"Jarang kita dengar ada pengacara yang diberi sanksi karena yang menangani hal itu hanya PERADI sendiri. Seharusnya pengawasan perilaku pengacara ditangani lembaga lain yang independen," terangnya.
Selain itu, dia juga menambahkan bahwa menangkap seorang hakim yang terlibat praktik mafia hukum tidak serta-merta menghentikan praktek tersebut. Alasannya, hakim tidak selalu menjadi otak pelaku dari mafia hukum di sebuah lembaga peradilan. Oleh karena itu dia menekankan perlunya pengusutan kasus tersebut hingga ke akar-akarnya.
"Saya bermimpi KY menjadi lembaga yang mengawasi perilaku penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan advokat. Jadi semisal Komponas dan Komjak dilebur ke KY. Semua langsung ditangani oleh KY," harapnya.
Dihubungi terpisah, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan bahwa peta penyebaran praktek mafia hukum terjadi merata di seluruh pengadilan di Indonesia.
"Menurutku merata dari pengadilan tingkat bawah hingga tertinggi. Puncaknya ada di tingkat kasasi, tapi pengadilan di tingkat pertama juga tinggi," papar Emerson yang biasa disapa Eson tersebut.
Dia menerangkan bahwa masih maraknya praktek mafia hukum tersebut akibat lemahnya pengawasan hakim oleh lembaga yang berwenang dan kurang ketatnya sistem seleksi hakim. Tidak hanya itu, lemahnya kepemimpinan dari MA terhadap hakim-hakim di bawahnya juga menjadi penyebab tingginya angka praktek mafia hukum di negeri ini.
"Ganti semua ketua muda di MA dan MA harus membentuk komitmen yang kuat. Tanpa itu susah untuk menghapus mafia hukum," tegasnya. (dod)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polri Siapkan Mutasi Besar-Besaran
Redaktur : Tim Redaksi