jpnn.com - KUPANG - Kasus perdagangan orang atau human trafficking dengan korban warga NTT kembali terjadi di Bali. Kali ini menimpa tujuh gadis dan seorang pria. Mereka berumur antara 15 tahun - 25 tahun.
Para korban trafficking ini adalah Agnes,15, asal Maumere, Regina, 20 (asal Manggarai Timur), Olandina Ramos, 20, dan Julieta,18 (asal Belu), Felinda Asna, 16, asal Labuan Bajo, Rifka, 20,asal Sumba Barat Daya, dan Andreas Feka, 25, asal TTU.
BACA JUGA: Minim Gaji, Dokter Puskesmas 24 Jam Mengundurkan Diri
Turut diamankan seorang korban sebelumnya, Agustina Rianti atau disapa Yanti, 18, asal Desa Nara Nara, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, yang sebelumnya dibuang majikannya di terminal Batubulan, Gianyar, Bali dengan hanya dibekali uang Rp 50 ribu supaya pulang ke Flores setelah menjadi pembantu rumah tangga (PRT) selama tiga tahun tanpa gaji.
Dengan demikian, saat ini delapan remaja asal NTT korban perdagangan orang sedang ditangani keluarga Flobamora Bali.
BACA JUGA: Bayi Perempuan Ditemukan Tergeletak di Rumah Kosong
Wakil Sekretaris Umum Flobamora Bali, Rahman Sabon Nama melalui rilisnya yang diterima Timor Express, Sabtu (8/3) menyebutkan, ketujuh orang baru tersebut sebelumnya dipekerjakan di pabrik Mangsi Kopi di Jl. Kertanegara, Ubung Kaja, Denpasar, milik Wayan Mar Hendra.
Karena tak tahan dengan pekerjaan dan tidak pernah mendapat gaji serta perlakuan kasar bosnya, tiga diantara mereka kompak kabur dari perusahaan lalu mengadu ke kantor LBH PETA.
BACA JUGA: Status Kualitas Udara di Riau Terus Memburuk
Menurut Yohanes B. Raharjo dan Lies Subario, staf LBH PETA yang mendampingi para korban, kasus ini sudah dilaporkan ke Polresta Denpasar tanggal 6 Maret 2014 dengan STLP No: 217/III/2014/Bali/Reska Dps.
Terlapor adalah Wayan Mar Hendra dengan sangkaan Pasal 2 UU No 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia dan Pasal 83 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Kemungkinan akan meningkat juga ke undang-undang tentang KDRT," kata Yohanes B. Raharjo dalam pertemuan dengan tim Flobamora, Sabtu (8/3). "Para korban juga sudah di BAP, jadi kita tunggu saja perkembangan selanjutnya dari kepolisian," sambung Lies Sabario.
Salah seorang korban, Julieta, 18, asal Atambua, Belu, mengisahkan, dia direkrut Arni yang juga asal Atambua, untuk kerja di Bali dengan iming-iming gaji tinggi.
Tak hanya Julieta tetapi juga ada Nofiana dan Agustina. Bertiga mereka naik pesawat dari Kupang. Tiba di Ngurah Rai, mereka dijemput supir PT Ibu Jero dan diantar ke kantor PT Ibu Jero di Jl Pidada, Ubung.
Seminggu di Ibu Jero, kemudian mereka dikirim ke Pabrik Kopi Mangsi, Jl Kertanegara, Ubung Kaja. Selama mereka bekerja di situ, tidak pernah mendapat gaji, cuma dikasih makan dan penampungan.
"Ternyata di situ ada pekerja dari Flores juga, tapi mereka tidak pernah cerita apa-apa," lanjut Julieta yang mulai bekerja sejak 22 April 2012 sampai 5 Maret 2014 tanpa gaji.
"Kalau saya direkrut ibu Silvia, janjinya juga begitu tapi ternyata kami tidak dapat gaji," terang Agnes yang masih dibawah umur, asal Maumere.
Kata Julieta, soal gaji, kata bosnya nanti dipotong tiga bulan. "Tapi kami tidak tahu berapa gaji per bulan. Kalau butuh uang untuk beli sabun, sampo atau softex pinjam di bos tapi nanti potong gaji. Ternyata setelah empat bulan dan seterusnya kami tidak dapat gaji," lanjut Julieta.
Meski ada yang bekerja lebih dari setahun dan tanpa gaji, para pekerja ini tidak bisa berbuat apa-apa. "Mau lari gak tau ke mana. Mau mengadu ke mana juga tidak tahu," ucapnya.
Puncaknya adalah pada tanggal 5 Maret 2014 pagi. Saat itu, seperti biasa sang bos menyuruh mereka bekerja menggoreng kopi. Ripka yang mendapat tugas itu rupanya membuat kesalahan fatal.
Kopinya hangus. Sang bos marah besar dan mengancam akan potong gajinya. "Padahal kami tidak pernah tahu berapa gaji sebulan," ketus Julieta.
Besoknya, tanggal 6 Maret 2014 Ripka kembali mendapat giliran menggoreng kopi. Ripka menolak karena takut dipotong gajinya.
Sang bos, Wayan Mar Hendra naik pitam. Dia marah besar lalu mengusir mereka dari pabriknya. Seperti mendapat "angin segar", mereka mulai ancang-ancang kabur.
Adalah Andreas Feka, 25 tahun, asal Desa Oelneke, Kecamatan Musi, TTU, yang punya ide megajak mereka kabur. Dia mengajak Julieta dan Regina mengadu ke kantor LBH PETA.
Dari sinilah kasus perdagangan orang ini mulai terkuak. John Korasa dan kawan-kawan langsung mendatangi pabrik Mangsi Kopi mengevakuasi para pekerja lainnya sehingga total ada tujuh pekerja.
Berbeda dengan enam pekerja wanita yang dikrekrut oleh jaringan PT Ibu Jero di daerah asal mereka, Andreas Feka justru datang sendiri melamar sebagai supir dan diterima bekerja sejak 17 Nopember 2013. "Dijanjikan dapat gaji tapi selama ini juga tidak dapat gaji," kata Andreas.
Menurut Ketua Umum IKB Flobamora, Yusdi Diaz, dengan kasus human trafficking terbaru yang sudah dilaporkan ke Polresta Denpasar dan Polda Bali, polisi harus proaktif meminta keterangan lembaga penyalur di Bali.
"Teman-teman dari LBH PETA sudah jelas menyebut PT Ibu Jero sebagai penyalur ke Mangsi Kopi, polisi harus segera minta keterangan Ibu Jero juga, jangan didiamkan, sedangakan bos Mangsi Kopi yang sudah dimintai keterangan harus terus didalami supaya jelas kasusnya," kata Yusdi Diaz saat membahas kasus ini bersama LBH PETA di sebuah yayasan yang sementara menampung para korban.
Kata Yusdi Diaz, pihak Flobamora Bali akan mengawal proses hukum kasus ini dan mengkoordinasikan dengan pemerintah daerah NTT.
"Kami minta Polda NTT menyelidiki jaringan trafficking ini. Kasus ini bukanlah pertama tetapi terus berulang. Jangan sampai ada kesan pembiaran karena korbannya rakyat kecil," pungkas Yusdi Diaz. (mg-11/aln)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Satu Calon Anggota DPD Sultra Ditangkap, Dua DPO
Redaktur : Tim Redaksi