Di tengah fokus menghadapi pandemi serta kembalinya Taliban di Afghanistan, Angkatan Laut dari berbagai negara telah berkumpul di wilayah perairan Laut China Selatan.

Sejumlah kesepakatan diplomatik telah dicapai untuk memastikan Tiongkok tidak menguasai Laut China Selatan melalui kekuatan militer atau dengan intimidasi.

BACA JUGA: Kasus COVID Kembali Meningkat di Singapura Meski Vaksinasi Penuh Mencapai 80 Persen

"Kita semua adalah negara yang berpikiran sama, mendukung gagasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka," kata mantan Komandan Pasukan Amerika Serikat di Indo-Pasifik, Laksamana (purn.) Harry Harris kepada ABC.

"Kita semua harus khawatir dengan tindakan agresif Tiongkok, tidak hanya di Laut China Selatan, tetapi juga di tempat lain," tambahnya.

BACA JUGA: Dampak Serangan 11 September Dirasakan Warga Indonesia di Luar Negeri

Tiongkok umumkan aturan baru

Mulai 1 September, media pemerintah Tiongkok melaporkan penjaga pantai  di negaranya sudah diberi kewenangan untuk menuntut kapal asing melaporkan isi kargonya saat melewati Laut China Selatan yang mereka klaim.

Harian Global Times melaporkan Angkatan Laut atau Penjaga Pantai Tiongkok kini "berwenang untuk menghalau atau menolak masuknya kapal jika ditemukan akan menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional Tiongkok".

BACA JUGA: Sepertinya Saya Bergabung dengan Sebuah Sekte

Langkah ini tampaknya tidak berbahaya karena untuk kepentingan keamanan.

Tapi hal ini ditafsirkan sebagai ancaman terhadap pelayaran bebas di kawasan yang menurut PBB merupakan perairan internasional.

Seperti halnya Tiongkok yang melakukan tekanan ekonomi ke Australia, di laut lepas sebuah kapal Tiongkok dapat menargetkan kapal negara tertentu sebagai sinyal bagi yang lain.

Menteri Pertahanan Filipin, Delfin Lorenzana kepada CNN menyatakan prihatin dengan aturan baru itu karena dapat menyebabkan salah perhitungan di lapangan.

Mantan wakil kepala Organisasi Intelijen Pertahanan Australia, Michael Shoebridge, menyebut aturan baru itu sebagai "intimidasi dan paksaan berlebihan dari Tiongkok".

"Masalah sebenarnya yaitu komandan kapal dan pesawat Tiongkok di lapangan bisa berpikir bahwa mereka hanya melakukan apa yang diinginkan Xi Jinping, dengan menciptakan konfrontasi dan eskalasi," kata Shoebridge.

"Lantas akan ada masalah kebanggaan nasional, menyelamatkan muka, nasionalisme, bila sebuah peristiwa terjadi, para pemimpin merasa sulit untuk mundur," katanya. Tekanan internasional meningkat

Laut China Selatan adalah jalur perairan strategis yang dilalui oleh sepertiga pelayaran dunia, senilai lebih dari $4 triliun dalam perdagangan.

Tiongkok telah memperkuat dirinya di lebih dari 20 pulau di wilayah tersebut melalui pangkalan Angkatan Laut dan Angkatan Udara atau melalui patroli berkelanjutan.

Terlepas dari keputusan PBB lima tahun lalu, Tiongkok terus mengklaim apa yang disebut sebagai "Sembilan Garis Terputus" di perairan lepas pantai negara-negara ASEAN: Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam.

Penjaga Pantai Tiongkok telah mengancam dan melecehkan nelayan dari negara ASEAN ini sambil mendukung tindakan milisi armada penangkap ikannya sendiri.

Sekarang Amerika Serikat, Eropa, negara-negara ASEAN dan Australia melakukan aksi balasan.

Inggris telah mengirim armada perang Kapal Induk ke wilayah tersebut, dipimpin oleh kapal induk HMS Elizabeth dengan kapal perang Belanda di sampingnya.

Jet tempur AS telah melakukan latihan untuk menguji interoperabilitas jika terjadi krisis.

Awal tahun ini, Prancis melakukan hal serupa dan akhir tahun ini Jerman direncakanan mengirim kapal perangnya ke sana.

"Kita akan melihat peningkatan kehadiran Angkatan Laut dan pengawasan udara dari negara-negara kuat, terutama Eropa di Indo Pasifik,” kata Shoebridge.

"Ini reaksi terhadap tumbuhnya kekuatan Tiongkok, tetapi juga cara Tiongkok menggunakan kekuatan itu. Mereka pastinya mendapatkan penolakan karena bagian dunia itu bukan milik mereka," tambahnya. Mencapai kesepakatan diplomatik

Amerika Serikat berhasil meyakinkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte untuk berkomitmen kembali untuk menempatkan tentara dan pelaut Amerika di wilayahnya.

Yang lebih menghebohkan adalah langkah Indonesia, yang merupakan pelopor Gerakan Nonblok (mengirimkan perwiranya ke Tiongkok dan AS serta Australia untuk pelatihan).

Belum lama ini Indonesia telah menandatangani kesepakatan dengan AS untuk membangun pangkalan Pasukan Penjaga Pantai di Pulau Batam, lokasi strategis ke Laut China Selatan.

"Ini adalah langkah signifikan bahwa Pusat Pelatihan di Batam melibatkan Amerika Serikat secara langsung," kata Dewi Fortuna Anwar, seorang pengamat di Jakarta.

"Semakin terlihat bahwa Penjaga Pantai berada di tengah ancaman keamanan non-tradisional di Laut China Selatan, yang melibatkan elemen sipil seperti kapal penangkap ikan," jelasnya.

"Saya kira sulit dihindari untuk mengatakan bahwa ini bagian dari upaya mengimbangi Tiongkok secara lunak," kata Dewi Fortuna.

Bulan lalu, Wakil Presiden AS Kamala Harris mengunjungi Singapura dan Vietnam, memperingatkan Tiongkok: "Kami menyambut persaingan ketat - kami tidak mencari konflik."

"Kami akan angkat bicara bila ada tindakan Beijing yang mengancam tatanan internasional berbasis hukum," ujarnya. Penempatan pasukan Amerika

Pekan lalu, Australia menandatangani kesepakatan dengan Indonesiatentang apa yang digambarkan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai yang pertama dalam sejarah.

Kesepakatan itu mencakup kemungkinan pelatihan militer bersama di Australia dan prajurit Indonesia ikut dalam akademi militer di Australia.

Bukan hanya Indonesia. Menhan dan Menlu Australia juga akan bertemu dengan mitranya dari India dan Korea Selatan sebelum menuju ke Washington menghadiri pertemuan AUSMIN akhir pekan ini.

Australia dapat melihat kehadiran militer Amerika yang lebih besar di Darwin dan daerah Stirling di Australia Barat.

Peningkatan kapasitas lapangan di utara Australia dan bahkan di Kepulauan Cocos Keeling, bisa menjadi pangkalan bagi pengawasan udara regional.

"Cocos Keeling berada di jantung Indo Pasifik. Cukup kredibel untuk menganggapnya sebagai tempat di mana pesawat patroli maritim empat negara dapat beroperasi," jelas Shoebridge.

"Sangat penting mengupayakan semaksimal mungkin untuk mencegah eskalasi dan perang terbuka dengan RRC [Republik Rakyat Tiongkok]," kata Laksamana Harris.

"Tidak ada yang menginginkan hal itu. Kami tak menginginkannya. Tiongkok tidak menginginkannya. Tapi kita harus waspada terhadap perilaku agresif Tiongkok, baik di militer maupun di bidang ekonomi," katanya.

"RRC, perilaku buruknya sendiri, yang menunjukkan kepada negara lain betapa buruknya hal itu. Jadi, musuh terburuk mereka adalah dirinya sendiri," ucapnya.

Kedutaan Besar Tiongkok di Canberra menolak permintaan wawancara dengan ABC dengan alasan lockdown dan situasi COVID-19.

Tahun lalu, juru bicara Kemenlu Tiongkok menyatakan pihaknya "tidak pernah berusaha membangun kekuatan maritim di Laut China Selatan."

"Kami selalu memperlakukan tetangga di Laut China Selatan secara setara dan menahan diri semaksimal mungkin saat menjaga kedaulatan, hak, dan kepentingan kami," katanya.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pembayaran Gaji Rendah Terus Berlangsung di Australia

Berita Terkait