jpnn.com, JAKARTA - Pengurusan perizinan riset untuk orang atau lembaga asing dikepras dari selama ini rata-rata 20 hari menjadi hanya sembilan hari.
Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan (Risbang) Kemenristekdikti Muhammad Dimyati mengatakan selama ini banyak meja instansi yang harus dilalui dalam pengurusan izin penelitian bagi orang asing.
BACA JUGA: Menristekdikti: Penelitian Harus Berbasis Output
Sebab prosesnya harus melalui Tim Koordinasi Pemberian Izin Penelitian Asing (TKPIPA). Bahkan bisa sampai harus melalui 20 meja instansi. Jika masing-masing instansi itu butuh waktu sehari, maka proses perizinannya bisa 20 hari atau bahkan sebulan.
’’Karena sistemnya bertingkat. Izin yang ini harus keluar dulu, baru izin satunya keluar,’’ jelas Dimyati. Nah untuk perbaikan birokrasi perizinan penelitian untuk asing itu, dia mengatakan sudah menggunakan aplikasi berbasis online. Aplikasi tersebut diberi nama Aplikasi Virtual Meeting TKPIPA (Sivita).
BACA JUGA: Kucurkan Rp 103,8 Miliar untuk 65 Lembaga Litbang
Melalui aplikasi itu proses review terhadap sebuah proposal penelitian dari luar negeri dilakukan secara online. Sehingga bisa mengurangi durasi pengajuan yang selama ini bisa memakan waktu hingga 20 hari kerja, menjadi sembilan hari kerja saja.
’’Prosesnya harus dipercepat, karena setiap tahun Kemenristekdikti menerima lebih dari 750 aplikasi riset asing,’’ tuturnya.
BACA JUGA: 31 Peneliti Indonesia dan Singapura Eksplorasi Laut Jawa
Lebih lanjut Dimyati mengatakan dengan semakin cepatnya proses pengajuan permit untuk penelitian asing itu, diharapkan tidak ada lagi penelitian asing gelap di Indonesia. Dia menjelaskan banyak celah yang bisa menjadi pintu masuk penelitian asing yang tidak berizin Kemenristekdikti.
Misalnya penelitian yang langsung dilakukan kerjasama dengan pemerintah daerah. Kemudian ada juga penelitian oleh LSM atau NGO asing yang berkantor di Indonesia. Bahkan ada juga penelitian dilakukan di bawah korporasi yang menanamkan modal di Indonesia.
Selain terkait dengan izin penelitian, rapat koordinasi juga menghasilkan rekomendasi tentang benefit sharing. Kebijakan ini tidak sekedar urusan uang saja. Tetapi juga hak paten serta siapa yang menjadi pemimpin dalam sebuah riset kolaborasi antara orang Indonesia dengan peneliti asing.
Dimyati mengatakan kecenderungan selama ini peneliti Indonesia malu-malu dalam membuat kontrak. Tetapi ketika penelitian sudah selesai, sering ribut terkait persoalan paten dan siapa yang menjadi nama peneliti utamanya.
Untuk mengatasinya, perjanjian atau kontrak penelitian kolaborasi dengan asing mulai saat ini dibuat lebih detail. Kontrak ini juga ditetapkan sebelum penelitian dilakukan. Sehingga setelah penelitian selesai, tidak ada lagi urusan ribut-ribut hak paten dan sejenisnya. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Skema Baru Program Insentif Riset
Redaktur & Reporter : Soetomo