Langkah Anggota DPR Usir Dirut MIND ID Tak Patut Dicontoh

Kamis, 02 Juli 2020 – 22:39 WIB
Rapat Kerja Komisi VII dengan KLHK. Foto: Humas KLHK

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman menilai perilaku anggota Komisi VII DPR yang mengusir Direktur Utama BUMN Holding Pertambangan atau Mine Industry Indonesia (MIND ID) Orias Petrus Moedak, tak patut dicontoh.

Video pengusiran Orias sebelumnya viral, setelah terlibat debat kusir dengan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat M. Nasir. Keduanya berdebat soal penerbitan obligasi global dan potensi gagal bayar. Peristiwa itu terjadi pada rapat dengar pendapat Komisi VII dengan MIND ID, Selasa (30/6).

BACA JUGA: Gebrak Meja dan Membentak, Nasir Demokrat Usir Dirut Inalum dari Rapat DPR

"Kami kira kemarahannya menjadi tidak masuk akal. Dirut Mind Id sudah menjelaskan langkah-langkah pembayaran utang obligasi itu. Ada yang tiga tahun, lima tahun dan 10 tahun. Jadi, pembayaran utang tak serampak, tetapi langkah demi langkah. Itu sangat lazim dalam korporasi dan perjanjian bisnis," ujar Ferdy di Jakarta, Kamis (2/7).

Menurut Ferdy, setelah diberi penjelasan, anggota Komisi VII dimaksud masih belum menerima.

BACA JUGA: Inilah Bukti RUU Cipta Kerja Memudahkan Pelaku UMKM

“Kami kira, sulit membayangkan melihat aksi korporasi pembelian Freeport Indonesia yang sangat kompleks itu dari kaca mata politik, apalagi jika disusupi kepentingan di baliknya. Pembelian Freeport Indonesia oleh negara adalah bagian dari upaya menjalankan amanat UUD’45," ucapnya.

Ferdy menjelaskan, tambang tembaga dan emas Grasberg adalah tambang paling profitable di dunia. Indonesia menyesal jika pemerintah tak menggunakan momentum yang ada untuk merebut kembali kedaulatan tambang di Grasberg, Papua.

BACA JUGA: Pakar Hukum Tata Negara Bicara soal Pelaksanaan Pilkada

Tambang Freeport Indonesia ini memiliki beberapa operasi, yaitu, tambang open pit dan underground. Tambang open-pit sudah mencapai titik puncak produksi tahun 2019.

Cadangan tambang open-pit hanya 7 persen dari keseluruhan tambang Freeport di Grasberg. Mulai tahun 2021, Freeport Indonesia mulai menambang di Undergrond (tambang bawah tanah) dengan investasi di atas US$8 miliar.

Cadangan tambang underground adalah 93 persen dari total cadangan Freeport di Indonesia.

"Jadi, Indonesia rugi jika tak mengambil-alih tambang Freeport Indonesia. Dana US$ 5 miliar untuk membeli Freeport Indonesia itu kecil dibanding keuntungan yang diperoleh dari proses penambangan sampai 2041 nanti," katanya.

Ferdy juga mengatakan, di masa pandemi virus Corona COVID-19 saja, Freeport Indonesia masih memproduksi 120.000 matrik ton tembaga per hari. Ini adalah masa transisi dari open-pit ke underground, tetapi Freeport masih menikmati untung.

Pada masa transisi ini, Mind memang sedikit mendapat dividen dari Freeport di angka US$ 250 juta mulai 2020-2022. Dana itu sudah cukup untuk membayar utang jatuh tempo per tahun untuk membeli saham Freeport.

"Mulai tahun 2021, tambang underground akan beroperasi normal dan kapasitas produksinya kembali normal seperti tahun-tahun sebelumnya, ketika menikmati untung dari penambangan open pit," ucapnya.

Selain itu, tambang underground juga akan mulai beroperasi 2022, dimana akan memproduksi tembaga sekitar 170.000-200.000 ton per hari.

"Dalam perhitungan dengan produksi yang kembali normal, Mind Id mendapat dividen sebesar US$1 miliar mulai 2023. Jadi, bisa saja membayar utang obligasi US$ 5 miliar dalam lima tahun jika dia mau. Karena itu, utang pembelian saham Freeport Indonesia tak perlu dipersoalkan. Karena memang kita untung," ucapnya.

Lebih lanjut Ferdy mengatakan, pemerintahan yang berani mengambil-alih saham Freeport Indonesia adalah pemerintah yang bertanggung jawab terhadap kemandirian ekonomi dan kemandirian tambang.

“Kita tak boleh terus bergantung pada pihak asing melakukan eksplorasi tambang. Kita perlu membesarkan BUMN agar mampu belajar, transfer knowledge, transfer technology dan transfer of experience dari perusahaan tambang besar, agar Indonesia bisa menambang secara mandiri ke depan," katanya.

Ferdy menilai, sangat sulit melihat aksi korporasi Freeport Indonesia dari kaca mata politik. Serangan lawan politik terhadap rezim yang mengambil-alih Freeport Indonesia akan selalu terjadi.

“Sisi paling sensitif, seperti utang obligasi US$ 5 miliar, akan selalu dieksploitasi. Utang selama ini kerap menjadi komoditas politik. Padahal, dalam dunia korporasi utang itu sesuatu yang wajar, normal, sejauh asetnya sehat, cashflownya juga masih terjaga," pungkas Ferdy.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR: Industri Lokal Mesti Menjadi Tuan di Negeri Sendiri


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
DPR   dirut BUMN   M Nasir  

Terpopuler