Geoffrey Ostling pertama kali memutuskan untuk tinggal di panti jompo ketika warga Australia sedang memberikan suara tentang pernikahan sesama jenis.

Tinggal sendiri di sebuah rumah dengan banyak tangga sungguh menyulitkan bagi pria gay berusia 73 tahun tersebut. Ia pun harus mencari alternatif baru.

BACA JUGA: Amerika Serikat Kembali Bersiap Hadapi Gelombang Baru COVID-19, Ini yang Keempat

Ketika itu, Geoffrey sudah mengunjungi 10 rumah perawatan lansia, namun tidak menemukan yang tepat untuknya.

"Semuanya buruk, dan menyedihkan sekali karena ketika masuk ke dalam, memang banyak perabotan yang masih bagus, termasuk foto di dinding, namun semua orang hanya duduk menonton televisi dari ujung ruangan," katanya.

BACA JUGA: Eropa Bersedia Lanjutkan Vaksinasi AstraZeneca, Asal Dua Hal Ini Terpenuhi

Lalu, Geoffrey mengunjungi 'Elizabeth Lodge', panti jompo yang menurutnya "mengadakan banyak kegiatan termasuk kelas kesenian dan lain-lain".

Panti tersebut namun dimiliki oleh sebuah Gereja Anglikan di Australia, yang baru saja menyumbangkan uang A$1 juta (Rp11 M) sebagai bentuk penolakan terhadap kampanye pernikahan sesama jenis.

BACA JUGA: Nenek 102 Tahun Kehilangan Rp 4 M Akibat Penipuan, Keluarganya Takut Memberitahu

Geoffrey Ostling memutuskan untuk tinggal di rumah perawatan lansia bernama Elizabeth Lodge di Sydney karena rangkaian kegiatan di sana.

ABC News: Brendan Esposito

"Awalnya saya sangat khawatir," kata Geoffrey.

"Saya membayangkan bagaimana kira-kira tinggal di sana, sampai akhirnya saya ditawarkan untuk tinggal selama dua minggu untuk mencoba dan menilai."

Geoffrey adalah satu dari 236.000 warga Australia yang tinggal secara tetap di panti jompo.

Tidak diketahui berapa banyak dari keseluruhan angka tersebut yang merupakan bagian dari komunitas LGBTQ atau berapa di antaranya yang bernasib baik dalam sistem yang tidak mendukung.

"Masalahnya, kami benar-benar tidak tahu. Tidak ada data [pendukung] dan kami juga tidak mengumpulkan data soal kekerasan dalam komunitas LGBTQ," ungkap Claire Allen, manager program nasional organisasi kesehatan LGBTQ+, ACON.

Claire mengatakan paling tidak 40 persen dari jumlah keseluruhan komunitas lansia mengalami kekerasan.

"Di samping itu, ada juga kekerasan spesifik terhadap LGBTQ ... tidak menghormati preferensi gender dan kata ganti, tidak mendengarkan perspektif LGBTQ atau menyertakan mereka dalam proses pengambilan keputusan dan lebih menyudutkan mereka pada keluarga biologis daripada yang dipilih, semua ini adalah bentuk kekerasan terhadap LGBTQ," katanya lagi. Semakin menyembunyikan identitas dengan bertambahnya usia

Komisi Khusus Perawatan Lansia telah menerima bukti dari anggota komunitas dan penyedia layanan yang khusus menangani lansia di pengadilan, namun komunitas tersebut tidak dilibatkan dalam keputusan akhirnya.

"Walau keputusan dari laporan akhir komisi khusus satu langkah lebih maju dan kami memerlukan pelatihan tambahan serta pengumpulan data dan perbaikan sistem secara keseluruhan, tidak disebutkan secara spesifik 148 rekomendasi terhadap warga LGBTQ, dan ini adalah kesempatan yang disia-siakan," ujar Claire. Kamar Geoffrey Ostling di rumah perawatan lansia berhiaskan foto dirinya sendiri, termasuk salah satunya ketika ia sedang memeluk pria lain.

ABC News: Brendan Esposito

Ia mengatakan banyak anggota LGBTQ yang sempat hidup bebas sebagai 'queer' namun harus kembali menyembunyikan identitas mereka dengan semakin bertambahnya usia.

"Selalu ada risiko ketika mereka terbuka, [yaitu] akan diperlakukan dengan tidak hormat atau mengalami kekerasan," katanya.

"Ini terutama dirasakan oleh anggota LGBTQ yang lebih tua karena mereka sudah bertahun-tahun mengalami diskriminasi yang sah secara hukum, bahkan, bisa dijatuhkan sanksi."

"Memasuki masa perawatan, banyak lansia bergantung pada keluarga biologis mereka untuk membayar biayanya, tinggal lebih dekat dengan mereka, yang berarti mereka juga menjauh dari keluarga LGBTQ mereka," kata Claire.

Menurut Claire, usia perawatan adalah masa yang rentan, dan "merupakan waktu di mana tidak ada orang yang mau menempatkan dirinya pada posisi yang bahkan lebih rentan dengan mengungkapkan [orientasi seksual]." Walau Geoffrey memiliki pengalaman positif di rumah perawatan lansia, banyak lansia Australia lain yang takut untuk tinggal di fasilitas tersebut.

ABC News: Brendan Esposito

Claire melihat orang seperti Geoffrey enggan tinggal di panti jompo yang milik kelompok keagamaan.

Kategori tersebut menempati hampir seperempat tempat perawatan lansia di Australia.

"Banyaknya jumlah penyedia panti jompo dengan latar belakang keagamaan menambah rasa takut, tanpa peduli seberapa inklusifnya, karena menurut sejarah, agama dan lembaga keagamaan adalah bagian dari masalah," kata Claire.

Masa percobaan dua minggu di 'Elizabeth Lodge' bagi Geoffrey telah meyakinkannya untuk tinggal selama bertahun-tahun di tempat tersebut hingga hari ini.

"Saya tidak khawatir sama sekali karena orang-orangnya baik. Mereka juga murah hati dan juga adalah manusia biasa," katanya.

Namun ia yakin masih ada pria gay lainnya yang tidak berani terbuka soal orientasi seksual mereka di panti jompo itu.

"Ada yang ketakutan ... tidak mau berbicara pada saya karena mungkin saya bisa membuka identitas mereka. Saya tahu beberapa orang yang seperti ini," katanya. 'Harus terus menerus melela'

Di Melbourne, Toni Paynter yang berusia 78 tahun tinggal sendiri di rumahnya. Ia menerima bantuan dari paket layanan rumah yang disediakan negara.

Toni yang berhenti menjalani kehidupan sebagai pria sejak 15 tahun yang lalu merasa sangat bebas, terutama karena ia sudah makmur secara keuangan.

"Rasanya seperti keluar dari penjara, saya tidak tertekan karena harus mengikuti ekspektasi orang terhadap saya," katanya.

Toni mengatakan kini kehidupannya "menggembirakan", juga merasa bahwa dirinya "dapat melakukan apapun yang diinginkan". Toni Paynter sering mengunjungi kafe dekat rumahnya bersama pengunjung dari program 'Out and About' organisasi 'Switchboard'.

ABC News: Loretta Florance

"Dalam waktu semalam saya berubah dari yang tadinya sangat pendiam, introvert dan hanya sibuk bekerja menjadi seseorang yang menjangkau komunitas LGBTI sepenuhnya," kata Toni.

Namun dengan bertambahnya usia, pikiran bahwa hubungan di dalam komunitasnya akan terus melemah dan kemungkinan harus dirawat di rumah lansia terus menghantuinya.

"Saya rasa saya tidak akan merasa nyaman tinggal di sana, dan saya pikir komunitas di sana juga tidak menerima transgender apa adanya," kata dia.

"Saya belum mengubah tubuh saya sedemikian rupa sampai ahli bedah masih bisa berpikir saya bukan perempuan, saya tidak memiliki hak istimewa itu, jadi setiap kali perawat membantu saya dan melihat tubuh saya, jelas sekali bahwa saya adalah trans sehingga saya harus terus menerus 'come out' [melela]."

Melela berarti menyatakan orientasi atau identitas seksual kepada orang lain. Dukungan bagi lansia selama isolasi COVID-19

Secara rutin, Toni dikunjungi oleh relawan kelompok pendukung LGBTQIA+di Australia bernama 'Switchboard', yang mengadakan program kunjungan bagi anggota lansia di komunitas tersebut.

CEO Switchboard Joe Ball mengatakan program ini diadakan untuk melawan masalah isolasi sosial, yang kian dirasakan oleh anggota komunitas tersebut.

"Bila Anda adalah anggota LGBT dan hidup di panti jompo, kemungkinan untuk terisolasi secara sosialnya lebih tinggi ... jika umur Anda 65 ke atas, kemungkinan punya anaknya semakin kecil dibandingkan generasi berikutnya."

Di Melbourne, isu ini diperparah oleh COVID-19, di mana pengunjung tidak diizinkan untuk masuk ke dalam fasilitas panti jompo selama berbulan-bulan.

Hal ini menyulitkan 'Switchboard' sehingga harus menyediakan iPad agar tetap dapat berhubungan dengan para lansia.

"Selama [pandemi] COVID perspektif kami tentang isolasi sosial dan artinya semakin nampak, dan orang-orang menjadi semakin takut," kata Joe. Masalah yang terus terjadi di fasilitas perawatan lansia menjadi sorotan sejak tahun lalu dan tidak semua pengalaman lansia sebaik Geoffrey.

ABC News: Brendan Esposito

Joe memberikan contoh tentang bagaimana seorang lansia yang mengalami demensia harus diberitahu tentang keadaan isolasi setiap harinya karena terus melupakan informasi itu.

"Ini membuat mereka berpikir bahwa mereka selalu dikunci dalam kamar mereka dan merasakan kekerasan tanpa alasan apapun."

Joe Ball mengatakan panti jompo tidak seharusnya menjadi "tempat yang ditakuti", namun fakta yang ada menunjukkan sebaliknya.

"Tentunya kami ingin jadi diri sendiri di fasilitas panti jompo. Bukankah hal ini yang kita inginkan, tanpa memandang orientasi seksual dan gender?"

Diproduksi oleh Natasya Salim dari artikel dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca di sini

Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sekolah Renan Dulu Punya 300 Siswa, Kini Hanya Tersisa 18 Orang

Berita Terkait