jpnn.com - JAKARTA – Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Muttaqien Pratama menyatakan tidak setuju jika disebut Pasal 7r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, dikategorikan seolah-olah menghilangkan hak politik keluarga petahana maju dalam pilkada.
Pasalnya, aturan dalam pasal tersebut hanya mengatur penundaan keluarga petahana maju sebagai calon kepala daerah untuk satu periode, setelah kepala daerah yang ada tidak lagi menjabat. Sedangkan hakim Mahkamah Konstitusi seolah menganggap pasal itu telah mencabut hak politik seseorang.
BACA JUGA: Saatnya Para Kandidat Calon Kada Berburu Restu di DPP
“Padahal Pasal 7r itu hanya menunda, bukan mencabut hak politik seseorang,” ujar Heroik dalam talkshow yang digelar Sindotrijaya Network, Sabtu (11/7).
Heroik kemudian mencontohkan penundaan tersebut sama dengan pengaturan lain misalnya terkait syarat seseorang maju sebagai calon presiden. Bahwa disebutkan harus berusia 40 tahun dan harus dicalonkan partai politik. Aturan tersebut juga berarti penundaan ketika seseorang yang memiliki kemampuan belum berusia 40 tahun.
BACA JUGA: Agung Laksono Tolak Rekomendasi Komisi II DPR
“Banyak kok di undang-undang tentang pemilu dan rekrutmen pejabat negara membatasi hak politik seseorang. Misalnya kalau Presiden itu kan harus 40 tahun, berarti saya sekarang tidak mempunyai hak,” ujarnya.
Karena itu Heroik sangat menyayangkan putusan MK, yang menilai seolah-olah keberadaan Pasal 7r mencabut hak politik seseorang, sehingga dinilai inkonstitusional. Padahal aturan tersebut sangat penting guna membuka ruang demokratisasi di internal partai politik.
BACA JUGA: KPK, Polri, Kejaksaan Diminta Pelototi Proses Pencalonan Pilkada
“Selama ini kan pencalonan kepala daerah di internal partai politik hanya melibatkan elit partai dan kedekatan, atau hubungan darah. Jadi Pasal 7r ini sebenarnya membuka ruang demokratisasi,” ujarnya.
Selain itu, Pasal 7r menurut Heroik, juga membangun proses persaingan dalam pilkada agar lebih setara. Pasalnya, jika keluarga petahana tidak ditunda haknya satu periode baru dapat maju, maka dikhawatirkan kepala daerah akan menggunakan kewenangan yang ada menguntungkan calon yang merupakan anggota keluarganya.
“Dengan kehadiran bupati masih menjabat dan anaknya mencalonkan, itu sudah terjadi klaim politik, pada akhirnya ketimpangan pesaingan terjadi. Money politic kan juga terjadi lewat pola politik gentong babi, yaitu bagaimana memanfaatkan sumberdaya negara melalui APBD untuk kampanye dengan adanya klaim politik,” ujar Heroik. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Awasi, Jangan Sampai Parpol Usung Keluarga Incumbent
Redaktur : Tim Redaksi