Laut Bercerita

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 21 Mei 2022 – 09:02 WIB
Ilustrasi demo mahasiswa: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - “Matilah engkau mati.. Kau akan lahir berkali-kali…”

Pembunuhan politik untuk membungkam suara kritis dilakukan oleh rezim-rezim otoriter yang takut oleh gerakan rakyat yang mengancam kekuasaannya.

BACA JUGA: 24 Tahun Tragedi Trisakti, Semangat Reformasi Tidak Boleh Mati

Dalam setiap kekuasaan akan selalu ada kisah mengenai jiwa-jiwa pemberani yang tidak takut kehilangan nyawa. Mereka kemudian mati menjadi martir yang membuka jalan bagi jatuhnya sebuah rezim otoriter.

Mereka dikenang sebagai pahlawan seperti yang terjadi kepada Arif Rahman Hakim, mahasiswa Universitas Indonesia yang ditembak mati dalam demonstrasi menentang Orde Lama pada 1966.

BACA JUGA: Pentolan Aktivis 98 Puji Kepedulian Erick Thohir kepada Keluarga Pahlawan Reformasi

Kematian Arif memicu demonstrasi yang lebih besar yang membawa akibat kejatuhan rezim. Arif kemudian digelari sebagai Pahlawan Ampera, amanat penderitaan rakyat.

Benigno Aquino di Filipina ditembak mati atas perintah Presiden Marcos pada 1983 sesaat ketika menuruni pesawat terbang dari pengasingannya di Amerika Serikat.

BACA JUGA: Usulkan 4 Martir Reformasi 98 menjadi Pahlawan Nasional

Aquino menjadi martir yang menyulut people power yang kemudian bisa merobohkan kekuasaan diktatorial Marcos yang sudah bercokol lebih dari 20 tahun.

Nama-nama mereka dikenang dan dikenal. Akan tetapi banyak juga yang tidak dikenal dan tidak dikenang, atau sengaja dilupakan.

Sejumlah mahasiswa dan aktivis Indonesia tepat 24 tahun yang lalu hilang diculik dan kemudian disekap. Sebagian dilepaskan kembali, sebagian lainnya hilang tanpa kabar, dan sampai sekarang tidak diketahui nasibnya.

Mereka meniadi cikal-bakal lahirnya gerakan besar yang disebut sebagai Reformasi yang berhasil menjatuhkan kekuasaan Orde Baru yang sudah menancap selama 32 tahun.

Mereka menjadi korban kekerasan, pembunuhan, dan penghilangan paksa yang tidak terungkap siapa pelakunya.

Bagi kebanyakan orang peristiwa itu sudah berlalu seperempat abad dan sudah dilupakan oleh sejarah. Akan tetapi, ada keluarga yang ditinggalkan, orang-orang tercinta yang merasa kehilangan dan sampai sekarang tidak bisa melupakan kehilangan yang memilukan itu.

Sampai puluhan tahun kemudian kejadian itu seolah baru terjadi kemarin, dan ada di antara mereka yang yakin bahwa anak mereka masih hidup.

Kisah nyata para korban penculikan dan penghilangan paksa itu diceritakan oleh wartawan dan novelis Leila S. Chudori dalam novel ‘’Laut Bercerita’’.

Kisah sekelompok mahasiswa idealis yang tidak kenal takut dalam berjuang melawan rezim otoriter. Mereka hilang dan mati.

Keluarganya terus mencari dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa anak-anaknya sudah mati.

Tokoh utama kisah ini ialah seorang mahasiswa bernama Biru Laut Wibisono yang mulai bercerita bagaimana perjalanan hidup yang telah ia alami.

Laut bersama sahabatnya sepantaran mahasiswa di Yogyakarta, Sunu, Alex, Kinan, Daniel, Gusti, Julius, Bram dan beberapa aktivis lainnya berjuang melawan kekuasaan rezim otoriter.

Kisah ini diambil dari peristiwa nyata yang direkonstruksi ulang dengan tambahan beberapa bumbu drama.

Para mahasiswa itu menjadi buron yang hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke lainnya. Mereka dikejar aparat karena membantu gerakan petani yang menolak penggusuran. Nyawa para mahasiswa itu menjadi taruhan.

Peristiwa Blangguan, nama sebuah daerah rekaan di Jawa Timur, membawa mereka ke tahanan. Demi membela petani-petani jagung yang lahannya akan dirampas pemerintah, menjebloskan Laut ke dalam penjara.

Dia dipukuli habis-habisan, diinjak dengan sepatu bergerigi, dan disetrum. Setelah mereka tak mendapat jawaban, Laut dan kawan-kawannya dibuang begitu saja di Bungurasih, daerah perbatasan Surabaya.

Dari sebuah rumah kontrakan di Seyegan, Yogyakarta mereka secara sembunyi mengadakan pertemuan dan menyusun aksi.

Isu orang hilang dan penculikan bukan hanya isapan jempol pada masa itu. Mereka harus waspada setiaps saat.

Membaca karya sastra yang radikal dianggap dapat memicu kekacauan politik dan perkumpulan massa dapat dicurigai sebagai gerakan subversif yang memusuhi pemerintah.

Sebagai mahasiswa sastra Laut membaca banyak karya literatur asing dan dalam negeri. Novel-novel Pramoedya Ananta Toer ia baca secara diam-diam, karena ketika itu tindakan ini menjadi kejahatan yang bisa berakhir di penjara atau di kuburan.

Laut dan sahabatnya memperjuangkan keadilan meskipun nyawa mereka dibayangi oleh penghilangan secara paksa atau tembak di tempat.

Mereka diculik, dikurung, disiksa, dan diinterograsi, tanpa pernah tahu dimana mereka berada saat menjalani momen tragis itu.

Penyiksaan mereka akan berakhir dengan dibuang tanpa tersisa atau dipulangkan apabila mereka beruntung.

Maret 1998 mereka diculik, disiksa, dan diinterogasi dengan tidak manusiawi. Laut, Sunu, Kinan, Bram, seorang penyair, dan beberapa kawan hilang tanpa jejak setelah disekap.

Ada lima orang yang dikembalikan dalam keadaan hidup. Setelah rezim runtuh pada Mei 1998, mereka pelan-pelan mulai mampu bersuara atas kekejaman yang mereka alami.

“Setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi.

Akan tetapi, apa pun yang kamu alami di Blangguan dan Bungurasih adalah sebuah langkah. Sebuah baris dari puisimu, sebuah kalimat pertama dari cerita pendekmu.’’

Catatan itu ditulis oleh Kinan, mahasiswi perempuan pemimpin gerakan yang tidak kenal takut. Kinan hilang bersama Laut.

Cerita kemudian berlanjut dari sudut pandang Asmara Jati, adik perempuan Biru Laut . Sebagai keluarga yang ditinggalkan sang kakak secara misterius, mereka sangat kehilangan.

Bersama keluarga aktivis-aktivis lainnya, Asmara bergabung gerakan untuk mencoba mencari keadilan dari pemerintah yang dirasa lebih peduli.

Duka kehilangan membuat banyak keluarga hidup dalam penyangkalan. Mereka hidup dalam imajinasi dan merasa bahwa keluarga mereka yang hilang masih tetap ada dalam keseharian.

Ayah Laut masih tetap menyiapkan empat piring dalam ritual makan malam bersama di hari Minggu. Memutar lagu yang menandai kehadiran Laut, membersihkan buku-buku dan kamar milik Laut, seolah-olah Laut akan datang secara tiba-tiba kelak.

Serperempat abad berlalu, mereka dilupakan. Hari-hari ini gerakan demonstrasi mahasiswa dan buruh kembali bermunculan.

Banyak yang menyebut-nyebut akan muncul lagi reformasi jilid 2, tetapi banyak yang tidak percaya karena setting politik dan sejarah sudah berubah.

Pemerintah Soeharto adalah pemerintah otoritarian yang berkuasa selama 3 dasawarsa dengan melakukan manipulasi terhadap hak demokrasi rakyat melalui pemilu prosedural. Setiap lima tahun diadakan pemilu, sekadar memenuhi formalitas demokrasi tanpa esensi.

Soeharto melakukan ‘’manufacturing consent’’ melakukan pabrikasi kesepakatan publik dengan merekayasa pemilu.

Partai-partai politik diberangus dan dibonsai. Kekuatan-kekuatan sosial kemasyarakat dimandulkan dan dipaksa untuk menerima asas tunggal Pancasila.

Oposisi dimatikan dan dituding sebagai subversif. Demokrasi Pancasila ala Orde Baru tidak mengenal oposisi. Keputusan strategis harus diambil melalui proses musyawarah dan mufakat.

Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pengambil keputusan tertinggi hanya menjadi lembaga koor yang menyanyikan lagu-lagu setuju. Lembaga tertinggi hanya menjadi lembaga stempel yang membebek terhadap kehendak rezim.

Kekuasaan yang otoriter itu ditopang oleh mesin birokrasi, tentara, polisi, dan lembaga pengadilan secara total sehingga melahirkan rezim totaliter. Rezim menguasai seluruh kehidupan rakyat secara total dan tidak menyisakan kekuatan apa pun di luar rezim.

Akan tetapi, pada akhirnya rezim totaliter dan otoriter semacam itu jatuh oleh gerakan sekelompok anak-anak muda polos seperti Biru Laut dan kawan-kawan.

Anak-anak itu berjuang dengan berani berbekal idealism dan keyakinan bahwa kezaliman akan bisa diruntuhkan.

Sejarah selalu mengulangi dirinya sendiri. Bedil dan senapan tidak selamanya efektif membungkam perlawanan.

‘’Kamu bisa melakukan apa saja dengan bayonet, kecuali duduk di atasnya,’’ kata Boris Yeltsin, dan Uni Soviet pun runtuh. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler