Kedatangan kapal laut KRI Bima Suci Indonesia mengejutkan penduduk di kawasan Queensland utara. Para taruna memanjat dan duduk di tiang kapal setinggi 53 meter.

Aksi ini adalah bagian perayaan pelayaran perdana KRI Bima Suci ke Australia, yang juga bagian dari latihan taruna angkatan laut Australia dan Indonesia.

BACA JUGA: Sekolah Mengemudi di Melbourne Minta Maaf Setelah Menyebut Instruktur Perempuan Lemah

"Ketika kita memasuki pelabuhan ... semua taruna naik tiang, dari yang tertinggi hingga yang terendah," kata taruna Carmine Rjocco.

"Kami naik hingga 50 meter ke puncak tiang."

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Laporan PBB soal Warga Muslim Uyghur Akhirnya Keluar

Kedatangan dan kepergian kapal laut besar di pelabuhan Townsville ini memukau warga setempat yang menontonnya.

Tradisi yang dikenal sebagai 'dressing the yards' dilakukan oleh kapal-kapal laut besar di seluruh dunia saat meninggalkan dan memasuki pelabuhan untuk pertama kalinya.

BACA JUGA: Siapa Mau Rp 100 Juta? WNA Australia Adakan Sayembara

"Ada juga drum band yang melantunkan musik untuk membangkitkan semangat para awak kapal dan taruna, menunjukkan kami sangat senang melihat kota yang dikunjungi,” kata Komandan Kapal, Sati Lubis.

Sati juga meluapkan rasa leganya bisa berlabuh di Townsville setelah perjalanan mereka diterpa angin kencang dan ombak tinggi saat berlayar melalui Selat Torres.

"Ketika kami sampai di Townsville, kami benar-benar bahagia, sangat bersemangat ... dan kami berdoa mengucapkan rasa syukur atas kedatangan kami," katanya.

Kedatangan kapal laut mungkin mengejutkan penduduk setempat, tapi ratusan warga yang penasaran sudah berbondong-bondong ke pelabuhan Townsville untuk menyaksikan keberangkatan perahu hari Rabu. Perjalanan dipandu bintang-bintang

KRI Bima Suci menempuh perjalanan sekitar 91 hari yang dimulai di Indonesia, Singapura, dan Malaysia sebelum berhenti di Townsville, Sydney, Cairns, dan Darwin.

Ada 209 awak kapal dalam perlayaran tersebut, lebih dari setengahnya adalah taruna yang diharapkan mempelajari keterampilan bernavigasi secara tradisional saat berlayar, yakni dengan melihat dan mengamati bintang.

Cadet Rjocco mengatakan mereka menentukan posisi kapal setiap pagi dan malam menggunakan sextant, atau instrumen angkatan laut analog yang digunakan untuk menghitung sudut objek astronomi dan cakrawala.

"Navigasi dengan astronomi penting bagi kami saat ada kemungkinan masalah dengan perahu," katanya.

"Mungkin jika kita terdampar di laut dan kita tidak tahu di mana posisi kita, kita bisa menggunakan bintang untuk menavigasi pelayaran." 'Laut bukanlah pemisah'

Mereka juga dilengkapi dengan peralatan navigasi darat begitu mereka tiba di pelabuhan, salah satunya adalah sepeda lipat untuk setiap anggota.

Oka Wirrayundha, Atase Pertahanan Dubes RI untuk Indonesia, mengatakan tersedianya sepeda lipat menjadi salah satu cara awak kapal untuk mengeksplorasi dan berinteraksi dengan penduduk setempat.

"Kalau bisa, setiap hari kami ingin membuka kapal laut ini sehingga mereka bisa mengunjungi kami," kata Komodor Wirrayundha, seraya menambahkan bahwa kapal ini memiliki ruangan yang luas, atau 'ballroom' sebagai fitur utama.

"Kami hanya ingin menunjukkan jika laut bukanlah pemisah, laut adalah penghubung, karena melalui laut kita bisa saling mengenal."

"Jadi ini adalah hubungan antarwarga dan menunjukkan betapa hebatnya hubungan kita, kemitraan strategis kita, antarangkatan laut, antarmanusia, antarnegara."

Artikel ini diproduksi oleh Erwin Renaldi dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nelayan Indonesia di Lepas Pantai Australia Timbulkan Kekhawatiran Soal Keamanan Perbatasan

Berita Terkait