jpnn.com, JAKARTA - Direktur LBH Surabaya Abdul Wahid menyoroti sejumlah poin dalam draf revisi UU TNI, salah satunya terkait peradilan militer.
Hal itu disampaikan Wahid dalam diskusi bertajuk"Problematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik dan Hak Asasi Manusia" yang digelar Imparsial kerja sama HRLS Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Kamis (27/7).
BACA JUGA: Centra Initiative: Revisi UU TNI Tidak Usah Dilanjutkan
Wahid menyampaikan bahwa wacana revisi UU TNI sebenarnya sudah ada sejak 2010 dan baru pada tahun 2019 muncul Naskah Akademiknya.
"Revisi UU TNI ini mencampuradukkan tugas pertahanan dan keamanan," ucapnya.
BACA JUGA: Sebegini Harta Kepala Basarnas Marsdya Henri, Ada Pesawat Terbang
Menurut Wahid, seharusnya ada pemisahan yang jelas antara tugas pertahanan dan keamanan, jika tidak maka potensial terjadi konflik.
"Banyak substansi yang bermasalah di dalam dra?f revisi UU TNI ini salah satunya adalah terkait dengan peradilan militer," sebut Wahid.
BACA JUGA: Nilai Suap Diduga Diterima Kepala Basarnas Fantastis! Ada Kode Dako, Hmmm
Dia berpendapat bahwa sistem peradilan militer sangat tertutup. Seperti pengalaman LBH ketika mengadvokasi kasus Indra Azwan yang anaknya tewas ditabrak oleh polisi ketika Polri masih di bawah ABRI.
"Dari tahun 1992 sampai sekarang kasusnya tidak selesai. Dalam peradilan militer, praperadilan tidak ada dan juga tidak akuntabel," lanjutnya.
Selain itu, dia juga menyoroti adanya penambahan tugas militer selain perang, dari sebelumnya 14 menjadi 19 tugas.
Menurut Wahid, tugas ke-19 bahkan menjadi cek kosong bagi TNI untuk terlibat dalam berbagai urusan keamanan.
"TNI akan mudah dikerahkan dan menjadi backing untuk proyek-proyek pembangun?an pemerintah karena dilakukan tanpa terlebih dahulu harus melalui keputusan politik negara," tuturnya.
Kemudian, terdapat pula penambahan jabatan di institusi sipil yang bisa ditempati oleh militer aktif.
Wahid menilai masuknya klausul keamanan menjadi tugas TNI itu bertentangan dengan Konstitusi. Sementara konflik yang melibatkan tentara dengan masyarakat di Jawa Timur sudah makin banyak.
"Ini mau ditambah lagi dengan pengawalan proyek pembangunan, sehingga membuka kewenangan baru yang akhirnya konflik-konflik terjadi semakin banyak dan impunitas juga terus terjadi," ujarnya.
Sementara itu, Dosen FISIP Universitas Airlangga Joko Santoso mengatakan ?secara substansi kritiknya terhadap draf revisi UU TNI adalah terkait diplomasi militer.
"Kalau ini diloloskan maka nanti akan ada diplomat diplomat militer," ujarnya.
Dia juga menilai kecil kemungkinan revisi UU TNI membawa perubahan yang dih?arapkan. Sebaliknya ia justru berpotensi membuka persoalan baru dan arus balik reformasi sektor keamanan yang telah diupayakan sebelumnya.
"Revisi Undang-undang TNI tidak mendesak untuk dibahas dan disegerakan," kata Joko.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam