Sejak Lebanon melarang berdirinya bangunan permanen di kamp pengungsi, kini, hanya ada bekas bangunan rumah dan air mata para pengungsi yang tersisa di pengungsian Al Nour. Poin utama:• Lebanon melarang pembangunan rumah permanen di kamp-kamp pengungsi
• Pengungsi khawatir tentang tinggal di tenda plastik selama musim dingin dan musim panas yang sangat panas di Libanon
• Banyak pengungsi ingin kembali ke Suriah tetapi tak bisa

BACA JUGA: Mantan Jurnalis Australia Bantah Ancam Bunuh Jemaat Gereja Via Facebook

"Kami datang ke sini delapan tahun yang lalu," kata Zouhair Amar, salah satu dari sekitar 300 orang yang tinggal di kamp pengungsi di lereng bukit berbatu dan tak berpohon ini.

"Kami pertama kali tinggal di tenda, kemudian mereka memindahkan kami ke sini ke sebuah rumah, dan sekarang mereka ingin menghancurkan rumah ini, seperti yang Anda lihat."

BACA JUGA: Helen Sumardjo Wanita Australia yang Suka Memasak Makanan Indonesia

Saat tim ABC berbicara, seorang pekerja bantuan datang ke rumahnya untuk mengingatkan Zouhair bahwa rumahnya akan dihancurkan pada hari berikutnya.

"Inilah yang diputuskan Tuhan," katanya, seraya menangis pelan.

BACA JUGA: Manusia Telan Satu Sendok Teh Bahan Plastik Setiap Minggu

Di sini, di pinggiran Aarsal, timur laut Lebanon, pihak berwenang menegakkan aturan yang melarang pembangunan tempat tinggal "permanen" di kamp-kamp pengungsi.

Ratusan rumah yang dibangun dari balok beton harus diruntuhkan dan keluarga yang telah tinggal di sana selama bertahun-tahun harus pindah ke akomodasi sementara, yang merupakan tempat tinggal plastik yang diperkuat oleh bingkai kayu yang tipis.

Hidup di sini sangat sulit sepanjang tahun. Suhu beku di musim dingin dan musim panas bisa naik di atas 45 derajat. Hidup di tenda ini tidaklah layak.

"Lebih aman di rumah selama hujan," kata Zouhair. Photo: Zouhair Amar telah tinggal di rumah sementara di Lebanon ini selama 8 tahun. (Tom Hancock)

"Ini lebih aman untuk anak-anak dan jauh lebih aman bagi kami orang tua karena kami tak bisa hidup dalam hujan dan salju."

Lebanon menegakkan aturan itu karena tidak ingin kamp-kamp pengungsi ini berubah menjadi pemukiman permanen.

Negara berpenduduk 6 juta jiwa ini menghadapi tekanan lebih dari 1 juta pengungsi Suriah.

"Alasan sebenarnya di balik semua ini adalah untuk melarang pemukiman," kata Bassel Hojeiry, kepala dewan kota Arsal.

Ia adalah perwakilan pemerintah daerah dengan tugas tanpa pamrih untuk menjaga agar 70.000 pengungsi di daerah itu mendapat informasi tentang keputusan pemerintah.

"[Pemerintah Lebanon] memberi tekanan pada warga Suriah agar mereka tak berpikir untuk menetap di Lebanon," katanya.

"Dan negara ini juga mendorong pemukiman kembali bagi warga Suriah di Suriah, di Eropa dan di tempat lain."

Ia mengatakan hal itu menimbulkan banyak beban pada para pengungsi. Photo: Pemerintah Lebanon melarang bangunan permanen di kamp pengungsi. (Tom Hancock)

Pekan lalu, seluruh kamp yang terdiri dari 700 orang di distrik tetangga digusur setelah ketegangan meningkat menjadi kekerasan.

Hojeiry mengatakan kebijakan secara bertahap meningkatkan tekanan pada para pengungsi "bisa menyebabkan keputusasaan".

"Jika mereka putus asa, mereka bisa bunuh diri dan membunuh orang lain," peringatnya.

Bahkan jika mereka mau, banyak penduduk kamp pengungsi Al Nour tak bisa kembali ke Suriah.

Perang saudara berlanjut di utara negara itu dan badan pengungsi PBB mengatakan masih terlalu berbahaya untuk pemulangan terorganisir.

Siapa pun yang kembali harus mendaftar dan disetujui terlebih dahulu oleh rezim Assad.

"Kami berharap untuk kembali," kata Abdo Kanaan yang berusia 50 tahun, ketika ia beristirahat sejenak dari aktivitas merobohkan rumah yang telah ia dan keluarganya tinggali selama lima tahun terakhir.

"Begitu mereka membuka pendaftaran, kami ingin kembali. Tetapi kami membutuhkan daerah yang aman untuk kembali."

"Jika mereka mengizinkan kami untuk kembali, kami ingin kembali. Jika kami bisa mendaftar, kami akan menjadi yang pertama kembali ke negara kami." Photo: Delapan anak Abdo Kanaan kini tinggal bersama tetangga sementara ia menghancurkan rumah mereka. (Tom Hancock)

Delapan anak Kanaan tinggal di tenda tetangga sementara ia menghancurkan rumah itu.

"Kami tak memiliki tempat berlindung, bahkan tak ada pohon yang bisa disinggahi. Jika tetangga tak membantu kami, ini bisa tragis. Mereka mengakomodasi kami," katanya.

Menatap reruntuhan rumah-rumah yang hancur di jalanan kamp Al Nour, Kanaan mengatakan kamp ini mulai menyerupai tanah air mereka yang hancur.

"Pemukiman dihancurkan di sana dan sekarang di sini kami malah menghancurkannya. Selalu sama, tidak berubah. Ini menjadi normal," katanya.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahkamah Agung Australia Akan Putuskan Kasus Sunat Perempuan

Berita Terkait