Biasanya, orang tua menghabiskan banyak waktu untuk mengkhawatirkan masa depan anak-anak mereka, tetapi apakah mereka tahu apa yang dikhawatirkan putra-putri mereka?.

Sebanyak 20.000 anak-anak Australia telah disurvei untuk mencari tahu apa yang membuat mereka bahagia dan sedih.

BACA JUGA: Masyarakat Aborijin Kini Lebih Terbuka Terhadap Isu Kesehatan Mental

Yang mengejutkan, ternyata apa yang mereka khawatirkan mirip dengan apa yang dikhawatirkan orang dewasa.

"Sama seperti orang dewasa, anak-anak memiliki kekhawatiran dan ketakutan, dan mereka juga memiliki saat-saat ketika mereka merasa baik-baik saja dan saat-saat mereka merasa senang," ungkap psikolog anak, Kirrilie Smout.

BACA JUGA: Polisi Australia dan Selandia Baru Kampanyekan Perang terhadap KDRT

"Jika kita memahami itu ketimbang memiliki ide bahwa masa kanak-kanak adalah tentang es krim dan kupu-kupu, maka kita berada di tempat yang lebih baik untuk benar-benar membantu anak-anak mengatasi pengalaman negatif dan emosi negative yang mereka miliki," jelasnya.


Dua pertiga dari anak-anak yang disurvei mengatakan, mereka telah mengalami ‘bullying’ atau intimidasi pada beberapa tahap kehidupan mereka - dan 39% di antaranya mengatakan, hal itu berlangsung selama satu tahun atau lebih.

BACA JUGA: Perawat Australia Tak Lelah Dampingi Pasien Gangguan Jiwa selama 28 Tahun

Penelitian menunjukkan, para orang tua meremehkan betapa khawatirnya anak-anak tentang sejumlah isu kehidupan, dengan survei menemukan, 43% anak-anak khawatir tentang masa depan mereka.

"Ini sebagian karena anak-anak tak menunjukkan kekhawatiran dengan cara yang sama dengan orang dewasa. Anak-anak sering berlarian terlihat bahagia dan aktif berkegiatan tapi mereka tak baik dalam menggunakan kata-kata untuk berbicara tentang kekhawatiran mereka," jelas Kirrilie.

Walaupun anak-anak mencari orang tua mereka lebih dari orang lain ketika mereka membutuhkan bantuan, hampir 1 dari 5 anak mengatakan, mereka tak memberitahu siapa pun ketika mereka merasa khawatir.

Ketika anak-anak benar-benar malu tentang sesuatu, mereka agak tak mungkin memberitahu siapa pun, menurut psikolog perkembangan, Dr Richard O'Kearney.

"Itu salah satu hal yang menghambat keterbukaan - takut akan pendapat orang lain terhadap diri mereka jika mereka memberitahu kekhawatiran yang mereka rasakan," katanya.

Ia menerangkan, "Untuk kelompok anak lainnya, mungkin mereka tidak berada dalam konteks di mana mereka berpikir keprihatinan mereka akan ditangani secara serius. Mereka seperti merasa terasing dari orang tua di rumah - terutama anak laki-laki yang cenderung diberitahu untuk menjadi 'jantan' dan bahwa mereka tak seharusnya khawatir tentang hal-hal apapun."

Kids Helpline adalah layanan telepon-konseling gratis untuk anak-anak. Juru bicara layanan ini, John Dalgleish, mengatakan, ‘tak mengherankan bahwa setengah dari kontak kami dengan anak-anak di bawah 18 tahun adalah tentang masalah hubungan keluarga’.

"Entah mereka khawatir tentang hubungan mereka dengan orang tua mereka, mereka khawatir tentang hubungan mereka dengan anggota keluarga yang lain atau mereka khawatir tentang keluarga mereka atau pengalaman yang keluarga mereka lalui," jelas John.

Sekitar 60% anak alami ‘bullying’

Dua pertiga dari anak-anak yang disurvei mengatakan, mereka telah mengalami ‘bullying’ atau intimidasi pada beberapa tahap kehidupan mereka - dan 39% di antaranya mengatakan, hal itu berlangsung selama satu tahun atau lebih.

John mengatakan, intimidasi adalah masalah yang signifikan yang semakin membuat banyak anak membutuhkan dukungan.

"Perilaku bullying di masyarakat Australia sangat tinggi," sebutnya.

"Realitas Online telah menjadi bagian dari identitas [anak] sekarang seperti realitas tatap muka, sehingga intimidasi bisa dilakukan melalui internet. Ini bisa memiliki dampak yang parah pada mereka dalam hal kepercayaan diri dan harga diri," terangnya.

Hasil survei menunjukkan, lebih banyak anak usia 8 sampai 10 tahun mengatakan mereka telah mengalami intimidasi dalam hidup mereka. Hal ini membingungkan pada nilai nominal, karena tak mungkin bocah 16 tahun punya pengalaman ‘bullying’ lebih sedikit ketimbang bocah 8 tahun.

Satu alasan yang jelas untuk ini bisa jadi peningkatan kesadaran 'intimidasi' di kalangan anak-anak, menurut Kirrilie.

"Kami telah bekerja sangat keras berusaha untuk mengurangi bullying dan konflik di sekolah-sekolah, dan sebagian dari itu adalah banyaknya pendidikan tentang ketidakpantasan untuk memperlakukan orang dengan cara yang kejam dan tak baik," jelasnya.

"Tapi efek samping yang negatif terhadap pendidikan ini adalah bahwa kita memiliki banyak anak-anak yang terlalu sadar akan kata ‘bullying’, yang sangat waspada terhadap perlakuan tak senonoh dan menyebut ‘bullying’ secara tak akurat ... Sebenarnya apa yang mereka alami adalah konflik di antara sebaya. Konflik di antara teman sebaya terjadi secara rutin, setiap hari, dan itu benar-benar sesuatu yang harus kita bantu atasi- tapi itu bukan bullying,” kemukanya.

Kabar baiknya adalah bahwa hanya ada sebagian kecil anak-anak yang benar-benar selalu khawatir.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Balikpapan Ikut Ramaikan Pertandingan Final Footy Australia

Berita Terkait