Legasi Jokowi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 05 April 2022 – 19:22 WIB
Presiden Jokowi. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - Semua pemimpin di dunia pasti ingin meninggalkan legasi, warisan, yang bakal dikenang jauh setelah dia pergi.

Para pemimpin besar dunia akan tetap dikenang legasinya sampai berpuluh atau beratus tahun setelah dia pergi.

BACA JUGA: APDESI Dukung Jokowi 3 Periode, Guspardi Berkata Begini kepada Mendagri Tito

George Washington meninggalkan legasi sebagai bapak kemerdekaan bangsa Amerika.

Abraham Lincoln meninggalkan kenangan warisan sebagai bapak pembebas perbudakan, kendati untuk melakukannya dia harus berperang melawan bangsanya sendiri.

BACA JUGA: Jokowi Uraa atau Oraa

Winston Churchill di Inggris meninggalkan legasi kebebasan Eropa dari kekuasaan fasisme-nazisme, dengan keberaniannya berperang melawan Jerman dan Italia dalam Perang Dunia II 1940.

Legasi adalah kebijakan dan tindakan yang menghasilkan perubahan besar bagi bangsa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin meninggalkan legasi tidak semata-mata karena apa yang dilakukannya, tetapi juga karena apa yang tidak dilakukannya.

BACA JUGA: Murka

Presiden Amerika John F. Kennedy meninggalkan legasi karena keputusannya untuk tidak berperang melawan Kuba dalam insiden Teluk Babi, 1961.

Keputusan Kennedy untuk tidak berperang ini menyelamatkan Amerika dan dunia dari kemungkinan perang nuklir.

Pemimpin-pemimpin yang meninggalkan legasi besar tidak selalu mengalami happy ending dalam karier politiknya.

Abraham Lincoln tewas pada 14 April 1865, ditembak dari belakang oleh John Wilkes Booth saat menonton teater. Beberapa hari sebelumnya perang saudara Amerika resmi berakhir.

Winston Churchill sang pahlawan perang justru kalah dalam pemilu ketika Partai Konservatif yang dipimpinnya kalah dari Partai Buruh pimpinan Clement Atlee yang kemudian mengambil alih kursi perdana menteri. Churchill tersingkir di puncak kejayaannya.

Para presiden Indonesia juga telah meninggalkan legasi masing-masing.

Bung Karno adalah Bapak Bangsa yang meninggalkan legasi tak tergoyahkan sebagai sebagai Sang Proklamator.

Pak Harto, dengan segala kontroversi, meninggalkan legasi sebagai Bapak Pembangunan.

Masa kepresidenan Habibie yang pendek melahirkan legasi sebagai peletak pondasi demokrasi Indonesia.

Prof. Bill Liddle menyebut Habibie sebagai presiden demokratis pertama di Indonesia yang meletakkan pondasi pemerintahan demokratis berdasarkan pada pembangunan civil society sebagai dasar demokrasi.

Meskipun singkat, tetapi Habibie meninggalkan legasi besar.

Prof. Liddle menyebut Habibie sebagai ‘’sesepuh bangsa’’ yang meninggalkan legasi demokratis penting bagi bangsa Indonesia melalui kepemimpinannya yang singkat.

Masa kepemimpinan Gus Dur juga pendek. 

Namun, dia dikenang karena menghapuskan diskriminasi terhadap minoritas terutama kalangan Tionghoa. Masa pemerintahan Gus Dur singkat dan frantik, tetapi meninggalkan legasi yang tetap akan dikenang sepanjang masa.

Penerus Gus Dur, Megawati Soekarnoputri gigih berjuang melawan otoritarianisme Orde Baru. Ia menjadi satu-satunya presiden yang lahir dari perjuangan oposisi politik menentang rezim Orde Baru.

Susilo Bambang Yudhoyo genap sepuluh tahun memerintah dan menjadi satu-satunya presiden yang menyelesaikan tugasnya secara paripurna dan damai. Belum ada satu pun presiden yang menyelesaikan tugasnya secara genap dan damai. Untuk sikapnya yang demokratis itu legasi SBY diabadikan.

Presiden Joko Widodo?

Jokowi pasti ingin melakukan hal yang sama. Itulah yang sekarang tengah dia persiapkan dalam sisa dua tahun pemerintahannya.

Warisan untuk anak mbarep dan menantu sudah disiapkan. Tinggal sekarang ia berpikir untuk meninggalkan legasi bagi bangsa Indonesia.

Jokowi sudah tercatat dalam sejarah sebagai presiden yang lahir dari kalangan rakyat jelata non-elite. Dia menapaki karier dari bawah, sejak jadi pengusaha mebel, menjadi wali kota Solo dua periode, lalu melesat meteorik menjadi gubernur DKI dan presiden Republik Indonesia.

Dia akan dikenang untuk itu, tetapi Jokowi ingin lebih dari itu. Maka beberapa gagasan besar dia wujudkan.

Jokowi membangun infrastruktur dan ingin mereformasi birokrasi yang super-ruwet, dan Jokowi ingin memindahkan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur.

Latar belakangnya sebagai pengusaha membuatnya fokus pada masalah-masalah pembangunan ekonomi.

Dia merasakan betapa susahnya mengurus perizinan bisnis di Indonesia. Biaya ekonomi siluman uang besar untuk pengurusan perizinan membuat ekonomi Indonesia tidak kompetitif.

Jokowi ingin membangun legasi besar untuk membuktikan bahwa dirinya presiden yang layak dikenang. Banyak terobosan yang sudah dilakukan oleh Jokowi. Namun, dia harus menerima takdir bahwa pemerintahannya di periode kedua terganggu oleh pandemi Covid-19.

Rencana-rencana besar di kepala Jokowi tidak akan bisa semuanya direalisasikan. Salah satu yang membuatnya risau adalah pembangunan ibu kota baru Nusantara.

Jokowi ingin meninggalkan legasi itu untuk bangsa Indonesia. Dia sudah melakukannya, dan suksesor Jokowi berikut akan melanjutkannya.

Dunia sedang bersiap menghadapi kondisi setelah Covid-19. Banyak pelajaran penting yang bisa diambil dari pagebluk global itu.

Semua pemimpin di seluruh dunia beruntung karena masa kepemimpinannya diwarnai oleh krisis pandemi.

Dengan krisis itu para pemimpin di seluruh dunia dinilai kemampuan kepemimpinannya. Semua pemimpin di seluruh dunia akan dikenang sepanjang masa dengan kepemimpinannya menyelamatkan bangsa dari keganasan pandemi.

Pengamat politik Amerika Fareed Zakaria menulis buku ‘’Ten Lessons for Post-Pandemic World’’ (2020). Dia menggambarkan kondisi dunia pascapandemi dan bagaimana merespons situasi tersebut. Guncangan besar ini dapat memiliki efek yang beragam, ketakutan, penolakan, dan kemudian adaptasi.

Zakaria menunjukkan fakta-fakta bagaimana dunia dibuat kalang kabut oleh serangan mendadak pandemi. Negara sekaliber Amerika, yang terkenal dengan teknologi farmasi dan kesehatan terbaik di dunia, justru tunggang langgang menghadapi serangan pandemi.

Zakaria melihat kegagalan Amerika menghadapi pandemi bukan karena tidak mempunyai sistem kesehatan yang baik, tetapi karena kepemimpinan nasional di bawah Donald Trump yang salah mengambil kebijakan. Trump melakukan penyangkalan dan tidak percaya terhadap rumus kesehatan.

Akibatnya Amerika menjadi salah satu negara dengan korban terbanyak. Trump akan dikenang seumur hidup atas kegagalan itu.

Fareed Zakaria mengingatkan bahwa manusia diajarkan untuk selalu berpikir besar. Dengan adanya pandemi ini, sebaiknya kita harus mulai belajar untuk berpikir sebaliknya.

Kita terlatih untuk membayangkan ancaman besar. Setiap negara menghabiskan jutaan dolar membangun kelengkapan persenjataan, menyiapkan diri dari invasi militer pihak lain. Namun, tidak dengan kesiapan kita pada mikroba kecil bernama virus Corona.

Dunia tidak pernah membayangkan bahwa akan terjadi kerusakan ekonomi, politik, dan sosial terbesar bagi umat manusia sejak Perang Dunia II. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa kerusakan besar itu terjadi akibat sebuah virus yang ukurannya tidak lebih 1/10000 dari ukuran titik pada akhir paragraf ini.

Ketidaksiapan negara-negara di dunia berhadapan dengan pandemi Covid-19 telah menorehkan sejarah yang menjadi legasi. Ketidaksiapan yang bahkan terlihat dari negara superkaya sekalipun.

Amerika dan Inggris adalah dua contoh nyata akan kegagalan kepemimpinan menghadapi krisis pandemi.

China memberi gambaran alternatif mengenai kepemimpinan yang efektif menghadapi serangan virus ini. Sistem otoritarian yang diterapkan dengan tangan besi oleh Xi Jinpin terbukti ampuh mengatasi pandemi.

China, tentu dikritik karena tidak jujur dan tidak terbuka mengenai informasi awal penyebaran virus.

Namun, gerak cepat dengan malakukan lockdown total di pusat penularan awal virus, menjadi langkah tepat yang menentukan. China bisa memobilisasi kekuatannya sehingga dalam waktu dua minggu bisa mendirikan rumah sakit besar khusus untuk Covid-19 di Provinsi Hubai yang menjadi pusat penyebaran virus.

Zakaria memaparkan secara perinci bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Begitu pula kunci keberhasilan beberapa negara lain seperti Jerman, Hong Kong, Singapura, dan Taiwan dalam menekan penyebaran virus ini.

Kuncinya adalah kepemimpinan nasional yang efektif dan mampu meyakinkan publik untuk bersama-sama mengatasi tantangan.

Dunia tidak akan sama lagi setelah pandemi selesai. Apa pun Anda menyebutnya, new normal atau normal, dunia tidak akan pernah sama lagi. Menghadapi serangan kejutan itu dunia gelagapan dan kemudian menarik diri menjadi tertutup dan mementingkan diri sendiri.

Negara-negara di dunia merasa perlu untuk mengamankan diri sendiri dengan mengumpulkan stok vaksin sebanyak mungkin, sehingga mengabaikan kepentingan negara lain yang lebih membutuhkan. Dunia menjadi unilateral, mementingkan diri sendiri.

Dunia justru harus menyadari bahwa yang dibutuhkan adalah kerja sama internasional dengan saling menjaga satu sama lain. Multilateralisme dengan semangat kerja sama yang jujur akan menjadi kunci dunia internasional dalam menghadapi guncangan besar apa pun di masa depan.

Indonesia juga mendapatkan pelajaran besar dari krisis pandemi itu. Kepemimpinan Jokowi, dengan semua plus minusnya, berhasil membawa Indonesia melewati krisis itu dengan selamat.

Jokowi sudah berhasil menjadi nakhoda yang baik menghadapi badai besar yang bisa menenggelamkan bahtera bangsa.

Kini bahtera Indonesia sudah mulai menyongsong laut yang lebih tenang. Jokowi akan segera melepaskan kepemimpinan sebagai nakhoda bahtera bangsa pada 2024. Jokowi sudah cukup meninggalkan legasi dengan menyerahkan bahtera kepada nakhoda berikut dalam kondisi utuh.

Jokowi tidak membutuhkan tiga periode untuk menguatkan legasinya. (*)


Redaktur : Mufthia Ridwan
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler