Murka

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 26 Maret 2022 – 22:47 WIB
Presiden Jokowi. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - Soal kecintaan terhadap produk-produk dalam negeri Alim Markus jagonya. Pengusaha senior asal Surabaya itu menjadi produsen alat-alat rumah tangga paling terkemuka di Jawa Timur, dan menghabiskan hidupnya untuk kampanye mencintai produk dalam negeri.

Alim membuat banyak serial kampanye cinta produk dalam negeri yang disiarkan di sejumlah televisi nasional. Ia tampil bersama mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie dan penyanyi senior Titik Puspa mengenakan pakaian tradisional.

BACA JUGA: Eks Aktivis 98 Ini Menduga Jokowi Marah ke Menteri untuk Menutupi Sesuatu

Setiap akhir iklan Alim mengucapkan tagline yang menjadi kekhasaannya: “Cintailah Ploduk-Ploduk Indonesia”.

Aksennya yang terbata-bata dan lidahnya yang cadel membuat Alim tidak bisa mengucap “produk” dengan fasih, dan yang terdengar adalah “ploduk”.

BACA JUGA: Arief Poyuono Tanggapi Jokowi: Kalau Cuma Marah, Bilang Bodoh, Percuma Kangmas

Namun, ternyata kecadelan itu justru membuat iklan-iklannya viral. Ungkapan “ploduk-ploduk” menjadi ciri khas Alim Markus yang sering dikutip banyak orang sebagai candaan maupun sebagai ungkapan serius.

Alim Markus berusia lebih dari 70 tahun, masih sehat, lincah, dan ramping karena rutin bermain tenis meja di “Dengkul Klub” bersama sesama pengusaha China.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Marah, Ada Hal yang Membuat Fahri Hamzah Heran

Markus mendirikan grup Maspion yang menjadi produsen terkemuka alat-alat rumah tangga, elektronika, dan pipa PVC yang mempekerjakan 30 ribu orang.

Setiap pagi dan sore jalanan di bundaran Waru yang menghubungkan Bandara Juanda dengan pusat kota Surabaya penuh sesak oleh karyawan Maspion yang berangkat dan pulang kerja.

Dalam salah satu iklan Alim mengatakan bahwa dia orang Indonesia yang kebetulan punya darah China, seperti Gus Dur.

Alim menyebut almarhum Presiden Gus Dur karena dia memang dekat dengan Gus Dur dan menjadi anggota Dewan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maju menjadi capres pada 2004 Alim juga direkrut menjadi tim pemenangan.

Alim dihormati sebagai sesepuh di lingkungan pengusaha China dan disegani oleh para gubernur Jawa Timur. Ia diangkat sebagai konsul kehormatan oleh pemerintah Kanada.

Para pengamat politik di Jatim mengatakan bahwa para gubernur Jatim takut pada dua orang alim, pertama Alim Ulama dan kedua Alim Markus.

Sebagai kandang Nahdhatul Ulama (NU) Jatim gudangnya alim ulama yang sangat menentukan dalam perpolitikan regional. Selain itu Jatim juga punya pengusaha-pengusaha China yang “alim” juga seperti Alim Markus dan Alim Satria, dua pengusaha China yang masih sekerabat.

Soal persaingan dagang melawan produk luar negeri Alim Markus sudah sangat kenyang makan asam garamnya. Dalam sepuluh tahun terakhir produk-produk Maspion menghadapi serbuan hebat dari produk-produk China yang membanjir dengan harga murah dan kualitas yang bersaing.

Di tengah dunia global yang serbaterbuka seperti sekarang Alim sadar bahwa tidak mungkin membendung serbuan produk luar negeri itu melalui proteksi semisal tarif tinggi atau subsidi untuk produk dalam negeri.

Alim sadar bahwa dalam persaingan pasar bebas seperti sekarang publik punya kebebasan untuk memilih produk yang paling murah dan paling baik kualitasnya.

Dalam hal ini China memang jagonya. Melarang produk China tidak mungkin. Maka yang dilakukan oleh Alim Markus adalah melalukan kampanye cinta produk dalam negeri.

Alim Markus bertindak sebagai brand ambassador bagi produk-produknya sendiri. Menilik reputasi dan pengaruh sosial, ekonomi, dan politiknya, Alim Markus layak diangkat sebagai brand ambassador nasional untuk mengampanyekan produk-produk dalam negeri.

Presiden Joko Widodo mungkin perlu mendatangkan Alim Markus untuk membriefing menteri-menteri yang masih suka memakai produk-produk impor.

Jokowi berkali-kali mengampanyekan cinta produk dalam negeri dan bahkan secara resmi mencanangkan gerakan Bangga Buatan Indonesia (BBI).

Namun, rupanya gerakan itu tidak banyak mengefek. Para pembantu Jokowi di kabinet ternyata masih banyak yang membeli peralatan impor untuk kementeriannya. Inilah yang membuat Jokowi murka dan tidak bisa mengendalikan emosinya.

Kegeraman Jokowi ini disampaikan saat acara pengarahan Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia, di Bali, Jumat (25/3). Beberapa nama menteri langsung disebutnya secara terbuka. Saking murkanya Jokowi sampai menyebut kata ‘’bodoh’’ dua kali.

Ini bukan kali pertama Jokowi murka soal barang impor. Tahun lalu, pada sebuah kesempatan launching BBI Jokowi mengajak supaya bangsa Indonesia mengampanyekan ‘’benci produk luar negeri’’.

Ajakan Jokowi ini mendapat reaksi luas dan Menteri Perdagangan M. Lutfi sampai harus melakukan klarifikasi untuk menjernihkan berbagai reaksi negatif.

Di tengah persaingan global yang sangat sengit muncul kecenderungan untuk menarik diri dan memproteksi diri sendiri dari serangan luar. Gerakan membenci produk asing akhirnya bisa merambat menjadi xenophobia, ketakutan terhadap orang asing, yang cenderung parno.

Produk asing dibenci dan orang asing dibenci. Maka produk asing dipersulit untuk masuk dan imigrasi orang asing dilarang.

Para pemimpin populis mengampanyekan untuk mengutamakan kepentingan dalam negeri ketimbang kerja sama internasional melalui globalisasi. Alih-alih membawa manfaat globalisasi dimusuhi karena mengancam kepentingan nasional.

Maka Donald Trump mengampanyekan “America First” untuk mengutamakan kepentingan Amerika. Trump juga memakai kampanye MAGA, Make America Great Again, sebagai jargonnya. Konsekuensinya adalah Trump menarik diri dari percaturan internasional dan fokus pada kepentingannya sendiri.

Trump melarang imigran muslim dan ingin membangun tembok pembatas sepanjang perbatasan dengan Meksiko untuk menghalangi masuknya imigran penyusup.

Amerika sebagai negara multikultur dengan berbagai jenis etnis dari seluruh dunia akan dikembalikan menjadi Amerika milik orang kulit putih.

Para pemimpin populis ala Trump ini menjadi fenomena baru yang bermunculan di berbagai negara seperti Rusia, Inggris, Hungaria, Turki, dan beberapa negara lain.

Mereka kecewa terhadap gerak globalisasi yang makin lama dirasakan kian merugikan kepentingan nasional, karena itu mereka memutuskan menarik diri dan fokus untuk mengutamakan kepentingan nasionalnya sendiri.

Kekecewaan terhadap globalisasi dirasakan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pasar yang terbuka lebar tanpa proteksi membuat industri dalam negeri pingsan dan mati. Persaingan tarung bebas ini membuat produk-produk Indonesia kalah bersaing dan akhirnya tutup.

Yang disalahkan kemudian adalah politik dumping, banting harga, yang dilakukan negara lain terhadap Indonesia sehingga produk Indonesia tercekik dan mati. Produk-produk China membanjir dengan harga murah dan kualitas bagus.

Menteri Perdagangan M. Lutfi menuduhnya sebagai banting harga dan “predatory pricing”, penerapan harga rendah untuk melalap pasar.

Serbuan barang asing itu menjadi salah satu faktor yang merusak produk Indonesia.

Namun, harus ditelaah juga mengapa produk Indonesia tidak bisa bersaing dengan produk asing. Kita semua sudah tahu jawabannya sejak dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, tetapi kita tidak bisa berbuat banyak untuk mengubahnya.

Penyebab utama inefisiensi produk Indonesia adalah karena “high cost economy”, ekonomi biaya tinggi, yang masih tetap mencekik Indonesia dari dahulu sampai sekarang.

Penyebab utama ekonomi biaya tinggi itu adalah banyaknya biaya-biaya siluman dalam proses produksi di Indonesia. Mulai dari mengurus perizinan sampai ke urusan distribusi barang semuanya diwarnai biaya siluman.

Dari meja birokrasi sampai ke jalanan selalu saja ada pungutan liar yang dilakukan oleh para siluman.

Inilah yang harus menjadi perhatian Jokowi. Jangan-jangan para menteri itu masih tetap memilih produk asing karena lebih murah dan lebih berkualitas.

Produk dalam negeri tidak bisa bersaing, karena ekosistem ekonomi Indonesia yang semerawut membuat daya saing produk dalam negeri merosot.

Alih-alih murka kepada para menteri, Jokowi seharusnya memperbaiki dahulu ekosistem ekonomi dalam negeri. Setelah itu baru kemudian melakukan kampanye cintailah ‘’ploduk-ploduk’’ Indonesia, seperti yang dilakukan Alim Markus. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler