Legenda Klasik Harimau di Minangkabau

Dari Penjaga Kampung dan Nilai yang Kian Hilang

Senin, 29 September 2014 – 03:27 WIB
Di Minangkabau, pemahaman atau kepercayaan akan harimau menjadi sisi adat tersendiri. Foto: ist.

jpnn.com - DI Kabupaten Solok harimau tidak semata dikenal sebagai binatang buas. Bagi masyarakat perkampungan, memiliki pemaknaan khusus dibanding hewan lain. Untuk penyebutannya saja, orang di Solok ada yang menyebut Inyiak Balang, bahkan dijuluki si-Ampang Limo. Secara tradisi, selain meyakini harimau memiliki perasaan, kepekaan yang baik serta mengerti salah dan benar, sudah turun temurun dan menyimpan arti sebagai hewan yang dihormati. Apalagi, harimau sesungguhnya juga sebagai penjaga kampung.

=====

BACA JUGA: Hari Gunawan, Atlet Bumerang Spesialis Trick Catch dari Surabaya

YULICEF ANTHONY

=====

BACA JUGA: Cerita Para Juru Pelihara Situs Gunung Padang yang Harus Kerja Ekstra

Dalam cerita yang sudah berkembang, hewan yang bagi orang Minang disebut Inyiak Balang ini, ada yang jadi peliharaan orang tertentu. Pada mulanya, si harimau, suka memangsa ternak warga, kemudian juga mengganggu kenyamanan kampung. Oleh pawang harimau, Inyiak Balang ditangkap. Lalu bertuan pada manusia, siap dipanggil dan disuruh sewaktu-waktu sesuai kehendak tuannya. Hubungan antarâ tuan dengan harimau ini memang cenderung mistis. 

Di Kabupaten Solok, Inyiak Balang ada yang berhabitat di areal peladangan, hutan ulayat, dengan sebutan si-Ampang Limo. Juga sebutan lain seperti Inyiak Penjaga Kampung. Meski begitu, Inyiak Balang sangat jarang memperlihatkan wujud aslinya (tubuh belang), melainkan bisa dibaca secara isyarat. Ketika ada seseorang yang tersesat di hutan, Inyiak Balang suka memberikan pertolongan. Sebaliknya, juga bisa marah bila ada warga yang kedapatan berbuat tidak terpuji atau kejahatan.

BACA JUGA: Paling Sulit Cegah Pengunjung Naik di Bebatuan

Dasril, 45, petani asal Nagari Kotosani, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok, memiliki pengalaman terkait Inyiak Balang di kampungnya. Ketika itu ia tersesat sepulang mencari madu di hutan ulayat kampungnya. Saat itu senja, hari mulai gelap. Ia kesulitan mencari jalan pulang. Ia pun minta bantuan kepada Inyiak Balang secara isyarat. Tak lama, muncul suara ranting kayu patah. Ia pun mengikuti isyarat bunyi tersebut. Akhirnya, Dasril sampai di jalan umum dekat hutan menuju kampung. 

Tak lama berselang, muncul bunyi-bunyian seperti suara ranting kayu patah hingga ia memutuskan mengikuti aba-aba tersebut. Sampai akhirnya, Dasril betul-betul menemukan jalan setapak yang merupakan jalan umum dari hutan menuju kampung. 

Serupa, Ani ,60, pencari kayu bakar dari Nagari Jawi-jawi, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok. Dalam perjalanan pulang, ia sempat terjebak dalam rimba lebih lima jam, berputar-putar tak tentu arah.  Hingga dia bersama putranya mencoba berseru agar diberikan petunjuk. Tidak lama berselang, dari kejauhan terdengar suara seperti orang memukul-mukul bambu. Ia pun mengikuti bunyian tersebut.  Sampai akhirnya, ibu tiga anak tersebut menemukan jalan pintas menuju pulang  yang sehari-hari memang sering dilewati warga peladang.

Kehadiran harimau, di hutan ketika tersesat, di kampung dalam kala tertentu, mengisyaratkan harimau sesungguhnya dalam keseharian warga kampung setempat, selalu ada. Harimau tersebut kadang mengisyaratkan keberadaan dirinya, dengan meninggalkan jejak-jejajk telapak kakinya pada tempat-tempat tertentu, selain bagi orang-orang tertentu terlihat langsung. Di saat musim durian misalnya, ada buah durian yang didapati warga dalam kondisi terbelah rapih tanpa terpisah dengan tampuknya. 

Dari Rizal Cardov Dt. Intan Sati, seorang Tuo Silek asal Nagari Cupak, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok yang juga pengasuh Perguruan Silek Harimau Kubung, di Nagari Cupak dan Kotobaru, harimau menurutnya merupakan maqam-nya silek. Maqam adalah semacam roh, yang pada akhirnya bisa menyatu dalam diri seorang pendekar Minangkabau. 

Tentu, kata datuk Intan Sati, tidak semua pendekar memiliki maqam harimau, meski mereka terbilang tangkas, mahir, serta lihai memainkan berbagai aliran silek Minangkabau. "Orang-orang yang memiliki maqam harimau itu, adalah orang-orang pilihan," katanya, seperti dilansir dari Padang Ekspres, Senin (29/9).

Dijelaskan Rizal, dalam ilmu silat raso (rasa), diikuti ketepatan, kecepatan, dan ketangkasan adalah hal yang diutamakan. Sebelum belajar lebih dalam, seorang calon pendekar terlebih dahulu harus mengenal dirinya, tuhannya serta menguasai ilmu agama secara lahir dan batin. Tak kalah penting, calon pendekar juga harus berhati lapang, penyabar, hingga mampu mengendalikan diri dalam situasi apapun. 

Hakikat ilmu silat di Minagkabau bukan untuk melumpuhkan lawan, namun memerangi diri sendiri terhadap hawa nafsu. Di lahir mencari kawan, di batin mencari Tuhan. Setelah diri dapat dikendalikan, dengan sendirinya maqam silek akan masuk ke dalam raga, hingga seseorang itu menjadi pendekar tangguh. Sekalipun seorang pendekar itu sedang tidak sadar ancaman bahaya tengah mengintai, namun secara reflek ia tetap dapat menghindar atau mengelak. 

Seperti idealnya seekor harimau, sangat peka, lincah, cekatan terhadap lingkungan, meski secara kasat mata cenderung terlihat tenang. 
"Lihat saja karakter harimau, di balik bawaannya yang tenang, pendiam, tersimpan karakter tangguh, kuat, serta lincah. Ketika sempat terusik, apalagi tersakiti, niscaya tak satupun hewan lain berani menandinginya. Begitu pula seorang pendekar yang ber-maqam harimau, juga lincah, tangguh," tandas Rizal.

Sempat dikisahkan bapak dua anak yang menguasai lima macam aliran silat (silek kinari, silek langkah ampek, silek langkah tigo, silek induak ayam, silek tuo aliran harimau), sewaktu belajar silat dengan gurunya, Cikmai, (alm) di Kotobaru, Kambang, Kabupaten Pesisir Selatan, pernah mengalami peristiwa tak lazim.

Sedang asyik belajar silat dengan sang guru, sekitar 8 tahun silam, di halaman belakang rumah, tak disadarinya ternyata ia betul-betul telah bergulat beneran dengan harimau.  Hal itu baru diketahui ketika menjelang waktu subuh, tiba-tiba sang guru mendadak keluar dari dalam gubuknya, namun dengan raut wajah seperti orang baru bangun tidur. Padahal baru dalam hitungan menit saja ia bersama sang guru habis latihan bersama, hingga diantara mereka sempat saling bercucuran keringat.

"Saya kaget, kenapa bisa guru datang melenggang dari gubuknya seperti orang bangun tidur, padahal kami berdua sudah semalam suntuk berlatih silat. Jangankan berkeringat, malah sorot matanya tampak layu, bahkan sempat beberapa kali menguap. Lantas, dengan siapa sesungguhnya semalam bergulat, hati saya seketika berdebar-debar," kenang Rizal tentang masa lalunya.

Setelah meneguk segelas air putih, barulah Rizal tersadar, jika saat berlatih semalam memang ada beberapa keganjilan dengan gurunya itu. Dimana tubuh gurunya agak lembut bagaikan kapas, fisiknya relatif kuat, gerakan cenderung rendah dan lincah, setiap kali diserang selalu berhasil mengelak, disertai bau apik menyengat. 

Selanjutnya Rizal diberikan arahan oleh gurunya, Cikmai, semua peristiwa yang dialami tersebut adalah bahagian dari ujian seorang calon pendekar, hingga tidak perlu dirisaukan.

Lain halnya dengan H. Sutan Jauhari Dt.Rajo Bangkeh, 75, seorang paranormal sekaligus tokoh masyarakat di Nagari Gauang, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Menurutnya harimau tidak bisa dipisahkan dengan sejarah panjang peradaban nagari dan manusia sendiri. Kehadiran harimau di Ranah Minang bisa dibilang bersamaan dengan munculnya manusia, hingga satu sama lain punya hubungan emosional, kekerabatan meski alamnya berbeda. Harimau hidup di hutan, sedangkan manusia hidup bermasyarakat mendiami kampung. 

Dijelaskan Sutan Jauhari, berpedoman pada cerita para tetua adat, paranormal terdahulu, tuo silek, sosok harimau begitu peka terhadap lingkungan, serta senantiasa memberikan kabar, sinyal, isyarat pada manusia yang mendiami kampung. Terlebih ketika penduduk kampung sempat terlanjur melakukan perusakan, berbuat kemungkaran, kezaliman, harimau dari pinggir hutan sewaktu-waktu akan mengaum memberikan peringatan, disusul bunyi-bunyian satwa liar lainnya seperti suara simpai, beruk, kera. Akhirnya seketika suasana hutan terdengar heboh.

"Jika Inyiak Balang telah memberikan peringatan, berarti penduduk kampung itu telah banyak berbuat kerusakan, seperti bezina, berjudi, hingga berbagai perbuatan yang bertentangan dengan adat dan agama," tutur Sutan Jauhari.

Ketika Inyiak Balang hendak masuk kampung menuju suatu tempat, ia memiliki jalan perlintasan tersendiri yang tetap. Hal ini oleh penduduk kampung biasa disebut jalan pinti, atau jalan pinteh. Di kala Inyiak Balang sedang lewat, biasanya turut diiringi dengan teriakan suara tupai, burung hantu, dan ramainya suara belalang. Maka, setiap penduduk kampung hendak mendirikan rumah harus terlebih dahulu diperhitungkan letaknya, sebab ada kalanya lokasi yang terlihat strategis merupakan jalan Inyiak Balang.

Tidak hanya di hutan, sebagahian harimau juga ada yang berhabitat dalam areal perkampungan. Namun keberadaannya tidak mengganggu, justru lebih berperan sebagai penjaga kampung, sekaligus menjadi piaraan sejumlah paranormal, tetua adat, kalangan tertentu. Pada sewaktu-waktu harimau bisa berubah wujud menjadi manusia. "Bedanya, ketika berpapasan dengan penduduk, mukanya cenderung menunduk, tidak berani menatap secara langsung," beber Sutan Jauhari.

Menariknya lagi, setiap ada datang menyusup harimau baru dari negeri lain, kelompok Inyiak Balang di hutan ulayat maupun rimba belantara, pasti melakukan perlawanan, selanjutnya  mengusir untuk keluar dari daerah kekuasaan mereka. Karena kehadiran harimau pendatang, cenderung mengganggu kestabilan ekosistem hutan, bahkan berpotensi menjarah hewan ternak milik warga.  

Hal ini biasanya dapat ditandai dengan hebohnya suara binatang liar di pinggir hutan, hingga penduduk kampung harus segera mengemasi, mengikat, dan mengurung hewan ternaknya selama beberapa dalam kandang. "Yang cenderung mengganas, bahkan memakan hewan ternak milik warga, bukan Inyiak Balang, namun itu adalah harimau pendatang, lazim disebut cindaku. Sementara Inyiak Balang tetap hidup beradat, tau dengan salah dan benar. Instingnya tajam, peka, dan bertelinga bumi," imbuh Sutan Jauhari, yang juga tercatat mantan Wartawan Harian Semangat di era 1980-1990-an itu.

Dri pihak Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kabupaten Solok, Syafri Dt.Siri Marajo, membenarkan adanya pemahaman, kepercayaan tersendiri masyarakat Solok soal seputar Inyiak Balang, bahkan fenomena tersebut secara alamiah mengalir dari generasi ke generasi. Percaya atau tidak, setiap nagari punya cerita tersendiri tentang harimau hingga akhirnya menyatu ke dalam sebuah kearifan lokal yang sulit terbantahkan.

"Barangkali tidak hanya di Kabupaten Solok, namun cerita klasik seputar Inyiak Balang juga dibilang melegenda hampir di se jagat raya Minangkabau. Meski kisahnya berbeda, motifnya dan pesan moralnya tetap sama. Walau demikian, kepercayaan mistis soal Inyiak Balang jangan sampai jatuh ke sifat syirik, karena semuanya bisa saja terjadi tak terlepas atas kuasa Allah SWT. Tidak ada yang mustahil," tandas Syafri. (***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Eksistensi Wong Hang 81 Tahun Jadi Spesialis Jas


Redaktur : Mufthia Ridwan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler