jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR Mulyanto menyatakan penggunaan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) sebagai dasar kucuran subsidi listrik pada 2022 belum tentu lebih baik.
Pasalnya, validitas data dari DTKS masih dipertanyakan, sehingga dianggap belum tentu cocok dijadikan sebagai acuan kebijakan tersebut.
BACA JUGA: DPR: Presiden Jokowi Harus Turun Tangan
"Kalau mau mengoreksi atau verifikasi data, harusnya dengan set data yang lebih baik. Atau lakukan validasi langsung via pemerintah daerah," katanya, di Jakarta, Senin (7/6).
Menurut dia, berbagai hal tersebut esensial untuk dilakukan agar rakyat miskin yang menerima subsidi listrik.
BACA JUGA: Soal Isu Dana Haji untuk Pembangunan Infrastruktur, Begini Respons DPR
"Buka orang yang mampu malah menerima subsidi listrik tersebut," ungkap Mulyanto.
Mulyanto mengatakan sangat mendukung pemberian subsidi yang tepat sasaran.
BACA JUGA: Banggar DPR: Belanja Pemerintah Harus Mampu Mendorong Pemulihan Ekonomi
"Apalagi kondisi pandemi Covid-19 belum berakhir dan ekonomi masyarakat belum pulih," ujarnya.
Kendati demikian, Mulyanto tidak sepakat dengan pandangan bahwa subsidi untuk masyarakat itu hanya pemborosan, sehingga akan dihapus secara bertahap.
Sebaliknya, lanjutnya, saat ini pemerintah perlu memberikan pemihakan kepada mereka yang tidak mampu, yakni mereka yang terpinggirkan akibat proses pembangunan yang belum ideal.
"Sesuai dengan Sila Kelima Pancasila, pembangunan mestinya mampu memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ucapnya.
Oleh karena itu, Mulyanto tidak setuju penggunaan basis data dari DTKS sebagai dasar pemberian subsidi listrik.
Berdasarkan catatan BPK dan KPK ungkap Mulyanto ada beberapa hal yang sangat krusial terkait DTKS.
"BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2019 menyimpulkan bahwa DTKS yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial kurang akurat untuk dijadikan dasar penyaluran bansos," ungkap Mulyanto.
Kemudian, lanjut Mulyanto, KPK menilai DTKS yang berdasar pada NIK (Nomor Induk Kependudukan) tidak akurat sebagai dasar penyaluran bansos karena tidak semua orang miskin memiliki NIK.
Selain itu, berdasarkan penelitian KPK, terdapat 16 juta data dalam DTKS yang tidak sesuai dengan NIK. Terdapat data ganda sekitar satu juta serta ditemukan data orang yang telah meninggal sebanyak 234 ribu.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mengusulkan subsidi listrik dalam RAPBN 2022 mencapai Rp 61,83 triliun atau naik dari APBN 2021 sebesar Rp 59,26 triliun.
"Usulan subsidi listrik itu dengan asumsi nilai tukar Rp 14.450 per USD, ICP (harga minyak mentah Indonesia) USD 60 per barel, dan inflasi tiga persen," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (2/6).
Menteri ESDM mengatakan pada 2022, subsidi listrik diberikan kepada golongan yang berhak, yaitu seluruh pelanggan rumah tangga daya 450 VA dan rumah tangga yang masuk data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) daya 900 VA. Menurut dia, jika data golongan pelanggan 450 VA dari DTKS dipisahkan, subsidi listrik turun menjadi Rp39,5 triliun.
"Mengacu pada rekomendasi BPKP serta KPK, apabila dilakukan evaluasi pemisahan pelanggan 450 VA yang tidak masuk DTKS, subsidi listrik 2022 bisa diturunkan menjadi Rp39,5 triliun," katanya.
Menteri ESDM juga memaparkan dengan alokasi Rp59,26 triliun, hingga April 2021, realisasi subsidi listrik mencapai Rp22,10 triliun, terdiri atas Rp17,36 triliun subsidi untuk 25 golongan pelanggan; sebesar Rp4,67 triliun diskon golongan rumah tangga 450 VA dan 900 VA tidak mampu; dan Rp66,00 miliar diskon golongan bisnis 450 VA dan industri 450 VA. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia