Lelap Meski Tidur Sebentar? Bisa jadi Anda Mengidap SSS

Minggu, 19 Agustus 2018 – 09:22 WIB
Ilustrasi Tidur. FOTO : pixabay

jpnn.com - Umumnya, orang merasa segar setelah tidur cukup selama 7-9 jam. Ada beberapa orang yang hanya butuh tidur kurang dari 6 jam. Kondisi itu dinamakan short sleeper syndrome.

---

BACA JUGA: Bisakah Menebus Waktu Tidur yang Hilang di Akhir Pekan?

ADA untungnya mengalami short sleeper syndrome (SSS). Dengan jam tidur singkat, mereka bisa bangun dengan segar. Juga, tak mengantuk ketika beraktivitas. Sebab, orang dengan SSS mampu terlelap hingga stadium III dalam tahapan tidur.

Dokter Wardah Rahmatul Islamiyah SpS menjelaskan, terdapat empat tahapan tidur. Stadium I, II, III, dan REM (rapid eye movement). Pada stadium I, mata sudah terpejam, tetapi mudah dibangunkan. ''Kalau orang Jawa bilang, melek-melek ayam. Dengar suara dikit, bangun lagi,'' jelas spesialis saraf dari RSUD dr Soetomo Surabaya tersebut.

BACA JUGA: Bayar Utang Tidur Demi Kesehatan, Berpengaruh?

Pada stadium kedua, detak jantung menurun. Tanda bahwa tubuh siap untuk tidur lebih dalam. ''Sudah mulai susah dibangunkan,'' kata Wardah.

Nah, masuk ke stadium ketiga, tidur dalam dan mulai sulit dibangunkan. Jika dibangunkan paksa, biasanya akan terasa linglung sesaat. ''Tidur dikatakan nyenyak kalau mencapai stadium III. Regenerasi tubuh dan pembentukan sel terjadi pada saat itu,'' ungkapnya.

Lalu, yang terakhir adalah fase REM (rapid eye movement). Selama tahap tersebut, seseorang bermimpi intens karena otak lebih aktif. ''Mata bergerak-gerak sambil terpejam,'' ujarnya.

Seorang pengidap SSS dengan mudah mencapai stadium III meski jam tidurnya pendek. Umumnya, setiap orang perlu waktu 50-60 menit untuk mencapai stadium III. ''Dia tidak merasa capek karena ya memang jam tidurnya hanya sebanyak itu,'' tegasnya.

Ada dua penyebab seseorang mengalami SSS. Pertama, genetik. Bisa berkaitan keturunan (herediter) atau mutasi genetik. Misalnya, karena trauma lahir, polusi, terpapar radiasi waktu kecil, dan penyebab lain. Kedua, karena gaya hidup atau rutinitas.

SSS bukan gangguan tidur karena pasien tak merasakan ada dampak negatif. Berbeda dengan orang yang memang tidur pendek dengan kualitas tidurnya rendah. Kondisi begini dipicu hal-hal yang membuat orang tersebut mudah terjaga. Misalnya, pengidap diabetes yang harus sering bangun tidur karena kebelet pipis. ''Nggak bisa masuk ke fase tidur dalam karena sering bangun,'' terangnya.

Wardah mencontohkan kasus yang dialami pasien, sebut saja namanya Adi. Sejak kecil, Adi dibiasakan tidur pada pukul 21.00. Dia kerap terbangun pada pukul 02.00. Awalnya, dia menduga itulah gejala insomnia. Namun, setelah ditanya Wardah, Adi menyatakan bahwa tak ada masalah dan dirinya tetap merasa fresh saat bangun. ''Kuncinya, apakah terasa fresh saat bangun? Kalau iya, dia sangat mungkin SSS,'' paparnya.

SSS bisa mengganggu jika lingkungan sekitar tak mendukung. Misalnya dalam kasus Adi. Dia merasa aneh karena harus bangun saat orang-orang di rumahnya masih terlelap. Mencoba tidur lagi pun tak bisa. Wardah mengatasinya dengan terapi kognitif behavioral. ''Kalau mau bangun jam 5 seperti orang lain, bisa diatasi dengan tidur lebih malam. Misalnya, jam 11 malam (23.00),'' tuturnya.

Wardah sangat tak menyarankan konsumsi obat tidur. Sebab, obat tidur hanya akan membuat mengantuk, tetapi belum tentu membuat seseorang masuk fase tidur dalam. ''Padahal, yang kita butuhkan adalah kualitas tidur,'' ujarnya.

Long Sleeper Syndrome

Ada short sleeper syndrome, ada pula long sleeper syndrome. Bila dibandingkan dengan SSS, menurut Wardah, lebih banyak orang dengan long sleeper syndrome. Pengidapnya butuh waktu tidur 10-12 jam. ''Sama dengan SSS, ini tidak termasuk gangguan karena mereka merasa segar setelah bangun tidur selama itu,'' katanya. (adn/c14/nda)

---

Maksimalkan Kualitas Tidur

- Jadwal bangun dan tidur harus tetap.

- Usahakan kamar hanya berfungsi sebagai tempat tidur, bukan aktivitas lain. Misalnya, makan atau menonton TV.

- Bersihkan tempat tidur agar terasa nyaman.

- Pastikan cahaya kamar tidur redup. Sebab, cahaya redup mampu merangsang produksi hormon melatonin. Hormon yang membuat seseorang cepat mengantuk.

- Makan malam sebaiknya empat jam sebelum tidur. Begitu pula dengan minum kopi. Jika kurang dari itu, tubuh masih akan melakukan aktivitas.

- Olahraga yang cukup berat dilakukan maksimal dua jam sebelum tidur. Sebab, olahraga membuat jantung berdebar dan metabolisme naik. Anda mungkin bisa tidur karena capek, tapi tidak lelap.

- Minum susu atau cokelat hangat sebelum tidur membantu tidur lelap. Sebab, kegiatan itu merangsang endorfin yang bikin rileks dan mengurangi stres.

- Proses istirahat kurang maksimal.

- Tidak dianjurkan minum teh hangat. Sebab, teh mengandung xantina yang memicu peningkatan frekuensi buang air kecil.


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler