jpnn.com, JAKARTA - Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) mengungkap sebuah fakta terkait musibah Sriwijaya Air SJ182 yang terjadi Sabtu (9/1) lalu.
Menurut pengamatan Lapan, tidak ada cuaca ekstrem saat Burung Besi rute Jakarta-Pontianak itu hilang kontak dan jatuh di perairan Kepulauan Seribu.
BACA JUGA: Ada Petunjuk Bencana 9 Januari, Yanda Selamat dari Musibah Sriwijaya Air
"Tampak berawan, tetapi tidak ada indikasi kondisi ekstrem," kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin kepada Antara, Selasa (12/1).
Berdasarkan pantuan Sadewa (Satellite-based Disaster Early Warning System) Lapan, tidak ada kondisi awan atau hujan ekstrem di titik kejadian.
BACA JUGA: Sebelum Terbang, Pramugari Sriwijaya Air Itu Sempat Berdebat soal Nama Anjing
Perkiraan kondisi atmosfer dari aplikasi Sadewa Lapan menggunakan Satelit Himawari-8 9 (awan tumbuh) dan model WRF (angin dan hujan) menunjukkan di sekitar titik kejadian tidak ada kondisi atmosfer ekstrem.
Thomas mengatakan walau ada proses pembentukan sistem konveksi di sekitar titik kejadian, tetapi tidak ada indikasi kondisi ekstrem.
BACA JUGA: Pertama dalam 15 Tahun, Kapten Afwan Pergi dengan Baju Tak Disetrika
"Dinamika atmosfer ini mempengaruhi pesawat yang melintas, tetapi belum tentu menjadi penyebab jatuhnya pesawat," ujarnya.
Analisis dinamika atmosfer menunjukkan sistem konveksi skala meso telah terbentuk di atas Lampung dan Laut Jawa di sekitarnya sejak pukul 11.00 WIB pada 9 Januari 2021.
Sistem itu kemudian pecah dan berpropagasi ke selatan, yang berasosiasi dengan pertumbuhan sistem konveksi skala meso lain di atas Jawa bagian barat selama rentang waktu 13.00-15.00 WIB.
Pada 9 Januari 2021 pukul 14.40 WIB pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak mengalami hilang kontak di sekitar Pulau Lancang, Kepulauan Seribu.
Pesawat itu membawa 50 penumpang dan 12 awak kabin. (antara/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Adek