jpnn.com, JAKARTA - Lembaga Pengkajian MPR akan menggelar Simposium bertema ‘Sistem Perekonomian Sosial’ pada 12 Juli 2017 di Gedung MPR RI.
Ini disampaikan Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI Rully Chairul Azwar saat jumpa pers hari ini bersama para Wakil Ketua Lembaga Pengkajian MPR.
BACA JUGA: Ketua MPR Desak Polisi Segara Tangkap Penusuk Hermansyah
Di antarany Ahmad Farhan Hamid, Mohammad Jafar Hafsah, Prof. Syamsul Bachri, dan Dr. Ir. Abdul Malik serta anggota Lembaga Pengkajian Prof. Didik J. Rachbini, di lobby Gedung Nusantara IV, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin (10/7).
Dalam keterangan persnya, Rully menyampaikan bahwa simposium tersebut digelar disebabkan berbagai kegundahan berbagai elemen masyarakat terkait pelaksanaan perekonomian di Indonesia yang dirasakan masih jauh dari semangat dan amanah UUD NRI tahun 1945 pasal 33.
BACA JUGA: Umat Islam Indonesia Ribut Sendiri, Asing Kuasai SDA RI
Berdasarkan hasil kajian sementara Lembaga Pengkajian MPR ditemukan fakta menarik bahwa pada setiap era pemerintahan sejak kemerdekaan, terjadi kesenjangan dan perbedaan nyata antara visi ekonomi konstitusi.
Seperti di dalam UUD 1945 dengan kenyataan penerapan kebijakan yang diambil dibidang perekonomian di lapangan.
BACA JUGA: Di Muktamar PULDAPII, Ketua MPR Kutip Pesan KH Hasyim Muzadi
Prioritas kebijakan ekonomi lebih mengutamakan kepentingan akumulasi modal untuk pertumbuhan ekonomi dari pada pemerataan untuk keadilan sosial bagi seluruh warga negara.
Kenyataan semacam itu tentu patut menjadi perenungan semua.
"Karena secara ideal, rancang bangun sistem perekonomian Indonesia yang digagas para founding fathers seperti Soekarno dan Hatta jelas termuat dalam pasal 33 UUD 1945," ujar Rully
Masalah ketimpangan sosial yang sangat tinggi juga menjadi permasalahan buat bangsa Indonesia.
Menurutnya, ketimpangan sosial haruslah di jadikan fokus perhatian dan dijadikan sebagai masalah urgen bagi semua pihak.
Pasalnya, jika masalah pemerataan dan ketimpangan sosial tidak ditangani secara tepat dan benar, maka hal itu bisa memicu konflik dan kekerasan sosial yang akan merugikan stabilitas pembangunan nasional.
Patut disadari bahwa pemerataan dan penuntasan ketimpangan sosial adalah masalah yang sangat urgen karena bisa menghambat pertumbuhan ekonomi itu sendiri. K
etimpangan juga menjadi akar konflik sosial, kejahatan dan kekerasan. Bahkan, ketimpangan sosial bisa mengancam kohesi sosial dan politik.
Berdasarkan itu, pimpinan MPR menugaskan Lembaga Pengkajian MPR sebagai lembaga dengan fungsi “Laboratorium Konstitusi” untuk melakukan pengkajian topik Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.
Proses kajian dilakukan sejak Februari 2017 melalui serangkaian diskusi terbatas yang menghadirkan beberapa tokoh antara lain Prof. Boediono, Prof Emil Salim, Prof. Ginandjar Kartasasmita, Prof. Edi Swasono, Prof. Jimly Asshiddiqie, Prof. Dawam Rahardjo.
Kemudian serangkaian FGD di empat Provinsi bekerjasama dengan UNPAD, UNUD, UNDIP dan UGM dan akhir mei 20 17 diselenggarakan Round Table Discussion yang menghadirkan 12 pakar ekonomi dan politik.
Bertepatan dengan hari Koperasi ke 70 tanggal 12 Juli 2017 Lembaga Pengkajian MPR akan menyelenggarakan sebuah Simposium bertajuk “Sistem Perekonomian Nasional untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial berdasarkan UUD 1945”.
Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla akan menjadi pengarah kunci sekaligus meresmikan acara ini.
Narasumber lainnya Menko Perekonomian Darwin Nasution, Prof. Emil Salim, Prof. Sri Adinjngsih, Prof. Sri Edi Swasono, Prof. Chairul Tandjung, Prof. M. Dawam Rahardjo, Dr. Tanri Abeng dan Suroto.
Dalam simposium tersebut, akan dibahas makalah kunci yang telah disiapkan oleh Steering Comittee dari Lembaga Pengkajian MPR yang akan disampaikan oleh Prof. Didik J. Rachbini selaku Ketua Steering Comitte.
“Makalah Kunci ini memuat hasil kajian sementara yang telah dihimpun oleh Lembaga Pengkajian dalam sebuah buku yang diberi judul sementara Ekonomi Pancasila. Selanjutnya akan disempurnakan dalam Simposium tersebut,” ungkapnya. (adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua MPR: Jangan Lagi Ribut soal Jenggot atau Tidak Jenggotan
Redaktur & Reporter : Natalia