jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan berbagai strategi untuk mempertahankan bisnisnya di tengah dampak pandemi yang terus meluas.
Contohnya, emiten dengan pinjaman besar banyak yang memperpanjang masa jatuh tempo utang atau menerbitkan utang baru untuk melunasi pinjaman lamanya (refinancing).
BACA JUGA: Jokowi Bicara Saham Gorengan di BEI
Inilah yang membuat penerbitan obligasi selama semester I 2020 tetap tinggi yaitu mencapai Rp36,19 triliun.
"Strategi pengelolaan utang menjadi salah satu tantangan bagi emiten untuk bisa survive saat pandemi ini. Secara bisnis pasti seluruh emiten terkena dampak COVID-19 dan ini memengaruhi risiko surat utang mereka juga," ujar analis dan pendiri Finvesol Consulting Indonesia Fendi Susiyanto, Senin (24/8).
BACA JUGA: Respons Pelonggaran PSBB, Saham Emiten Properti Ini Mulai Menghijau
Mengingat kondisi bisnis yang tak biasa ini, Fendi melihat banyak emiten yang memiliki utang akan mengalami tekanan dari sisi peringkat surat utang karena berbagai permasalahan arus kas (cash flow) mereka.
Hal itu disebabkan oleh kondisi fundamental masing-masing perusahaan yang berbeda. Karena itu peran lembaga pemeringkat utang dalam situasi krisis ini cukup strategis.
BACA JUGA: Sri Mulyani Beber Kendala Penyerapan Anggaran PEN
"Opini yang disampaikan oleh lembaga rating bisa memperburuk situasi. Karena itu lembaga pemeringkat mesti lebih berhati-hati dalam mengeluarkan data peringkat utang saat pandemi ini. Harus obyektif bahwa saat ini situasinya sedang krisis," imbuh Fendi yang juga pengelola Podcast OmFin Channel.
Jatuhnya peringkat utang, lanjut Fendi, bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mengambil keuntungan. Misalnya sahamnya jatuh, sehingga ada kesempatan untuk membeli lebih banyak saham di bursa dengan harga murah.
"Padahal kondisi fundamental emiten belum tentu seburuk yang digambarkan oleh lembaga pemeringkat itu. Inilah yang perlu dicermati oleh investor dan juga regulator terkait opini yang dikembangkan oleh lembaga rating," kata Fendi.
Secara fundamental kondisi Indonesia masih dinilai positif oleh sejumlah lembaga pemeringkat rating dunia. Awal bulan ini Fitch Ratings menegaskan peringkat kredit jangka panjang BBB untuk Indonesia dengan outlook atau prospek stabil.
Fitch memperkirakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan berkontraksi 2 persen pada 2020 akibat COVID-19.
Namun, lembaga ini memperkirakan pada 2021 ekonomi Indonesia akan rebound dengan tumbuh hingga 6,6 persen. Pada kuartal II tahun ini ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 5,2 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan peringkat BBB dari Fitch tersebut diperoleh berkat langkah pemerintah dalam mengelola keuangan negara yang dinilai sudah cukup berhati-hati.
“Kami sangat open dan berhati-hati. Namun kami tidak menutup kalau memang ada kebutuhan stimulus tambahan selama itu bisa tereksekusi. Ini semua terukur dan akuntabel. Ini mungkin yang dinilai (Fitch) kita tetap prudent," tutur Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Sri Mulyani sebelumnya pernah sangat marah kepada lembaga rating karena dianggap seenaknya membuat putusan mengenai peringkat utang Indonesia.
Ini terjadi ketika lembaga sekelas JP Morgan pada 2016 memangkas peringkat surat utang Indonesia dari overweight menjadi underweight atau turun dua peringkat.
Ekonomi Indonesia yang saat itu tumbuh positif dianggap lebih buruk dari Brasil dan Turki. Padahal Brasil sedang resesi ekonomi dan Turki sedang mengalami gejolak sosial politik dan keamanan di dalam negeri. Di Eropa banyak negara yang pertumbuhannya jatuh, APBN-nya dan utangnya naik tajam.
"Tapi mereka dapat grade yang bagus-bagus hanya karena analisnya orang sana," tandas dia.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy