jpnn.com, JAKARTA - Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) periode 2017–2022 Sudhamek AWS menyampaikan gagasan mengenai pentingnya menjaga keseimbangan sisi spiritualitas dalam pengelolaan bisnis atau organisasi.
Menurut dia, berbisnis tidak sekadar mencari profit tetapi bagaimana mensyukuri nikmat Tuhan lewat cara berbagi dengan kalangan termarginalkan.
BACA JUGA: Akuisisi Prochiz, Garudafood Optimistis Kinerja 2021 Meningkat
Lewat berbagi, seorang pebisnis akan merasakan nikmat yang diterima dan selalu ingat seberapa pun profit yang diperoleh tetapi tidak ada artinya bila mengabaikan aspek kemanusiaan.
"Di masa pandemi Covid-19, saya melakukan itu. Saya membagikan sembako kepada tukang pacul yang biasanya duduk di pinggir jalan menunggu orderan. Mereka adalah orang-orang termarginalkan yang kadang kita lalai memerhatikannya," kata Sudhamek saat peluncuran bukunya berjudul Mindfulness-Based Business: Berbisnis dengan Hati, secara virtual, Rabu (2/12).
BACA JUGA: Inilah Produk Terbaru Garudafood di Masa Pandemi COVID-19
Chairman PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk ini menceritakan, ketika menyerahkan sembako tersebut, para tukang pacul yang pakaiannya lusuh dan sobek itu matanya berbinar-binar.
Mereka pun mengucapkan terima kasih sembari mendoakan hal-hal baik.
BACA JUGA: Garudafood Membagikan Produk Mamin kepada Masyarakat Terdampak COVID-19
Interaksi dengan para tukang pacul ini, menurut Sudhamek, salah satu implementasi mindfulness. Tumbuhnya rasa welas asih dengan orang-orang tidak mampu.
Di satu sisi tumbuh rasa syukur bahwa rezeki yang kita peroleh ternyata sudah besar sebab masih banyak yang tidak mampu.
Hal ini, kata Sudhamek, akan berdampak positif pada pengelolaan bisnis. Bahwa hidup itu harus seimbang, tidak sekadar mengejar profit sebanyak-banyaknya.
Sudhamek ingat pesan ayahnya bahwa jadilah seperti sumur. Semakin sumurnya ditimba, airnya makin banyak dan jernih. Sebaliknya, bila sumurnya tidak ditimba, airnya tidak akan meluber karena semua sudah standarnya.
"Apa yang saya alami itu saya tuliskan dalam buku saya. Sebagai aktivis, pengusaha dan pejabat negara. Setahun saya menyusun buku ini untuk membagikan pengalaman hidup dalam menerapkan praktik bisnis maupun nonbisnis dengan berbasis kebersadaran agung (mindfulness)," terangnya.
Dalam bukunya, Sudhamek ingin menyampaikan pesan bahwa berbisnis, atau berorganisasi, juga menjalankan suatu profesi, bukanlah semata-mata demi menggapai profit atau keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya. Namun, lebih dari itu, yakni demi menumbuhkan benih-benih kebaikan bagi kepentingan bersama.
Sejatinya, lanjut Sudhamek, bisnis pun berdimensi vertikal karena apa yang diupayakan, pada saatnya, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Mahakuasa. Itulah alasan Sudhamek memberi imbuhan ‘agung’ dalam istilah mindfulness. Sebab, ada dimensi kesadaran transendental pada Sang Mahaagung.
Gagasan mindfulness-based business dipetakan Sudhamek menjadi delapan bab dalam bukunya. Mulai dari proses tercetusnya pemikiran spiritualitas dalam bisnis, hingga langkah-langkah implementasi yang telah dia terapkan.
Setiap bagian disertai dengan studi kasus yang dapat memperlihatkan mindfulness practices kepada pembaca sehingga lebih mudah untuk dipahami.
"Mindfulness bisa diterapkan di empat dunia yang berbeda yaitu komunitas bisnis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi keagamaan dan lintas iman, serta pejabat tinggi negara," terangnya.
Tren saat ini, semakin banyak perusahaan terutama di lingkup global, yang memperkenalkan praktik mindfulness tetapi masih terbatas teori, praktik dalam program workshop dan sesi online kelas-kelas meditasi. Praktik ini diyakini mampu meningkatkan komunikasi, kolaborasi dan energi kolektif karyawan dalam organisasi.
"Melalui buku ini menyadarkan kita bahwa sesungguhnya bisnis dan spiritualitas sangat bisa berjalan beriringan," pungkasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad