Lengser

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 22 April 2022 – 21:54 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Presiden Jokowi hampir tidak pernah mengutip filosofi kekuasaan Jawa dalam komunikasi politiknya. 

Namun, beberapa saat setelah pelantikannya sebagai presiden periode kedua Juli 2019 lalu, Jokowi mengutip tiga butir filosofi kekuasaan Jawa Lamun sira sekti aja mateni, lamun sira banter aja ndisiki, lamun sira pinter aja minteri.

BACA JUGA: Moeldoko Sebut IKN Nusantara Konsep Keadilan Luar Biasa dari Jokowi

Artinya, “Kalau kamu perkasa jangan membunuh, kalau kamu kencang jangan mendahului, kalau kamu pintar jangan memintari.”

Presiden Soeharto dikenal sangat lekat tradisi filsafat Jawa. Semua keputusan strategis Pak Harto didasarkan pada kepercayaannya kepada filosofi Jawa.

BACA JUGA: Didemo Mahasiswa di Jakarta, Jokowi Ternyata Bagi Amplop di Sini, Lihat yang Mendampingi

Dalam biografi ‘’Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’’ (1989), Soeharto mengungkap filosofi hidup dan pandangan politiknya dalam perspektif filsafat Jawa.

Pemikiran Soeharto banyak memengaruhi lanskap politik Indonesia selama tiga dasawarsa. 

BACA JUGA: Bapak Tiga Periode

Banyak terminologi Jawa yang kemudian diserap menjadi terminologi politik Indonesia. 

Ketika Soeharto mengundurkan diri pada 1998, dia memakai idiom filsafat Jawa ‘’lengser keprabon madeg pandito’’, bergerser dari kekuasaan dan menjadi bapak bangsa. Terminologi ‘’lengser’’ kemudian populer sampai sekarang.

Dalam demonstrasi 21 April 2022 di Jakarta, sekelompok mak-mak yang tergabung dalam ‘’Aliansi Rakyat Menggugat’’ meneriakkan tuntutan agar Presiden Jokowi mengundurkan diri. 

Salah seorang juru bicara mak-mak itu memakai istilah ‘’lengser’’ untuk menggambarkan pengunduran diri Jokowi.

Si mak juga membandingkan dengan lengsernya Pak Harto dan meminta Jokowi mengikuti langkah Pak Harto untuk lengser keprabon.

Di antara tujuh presiden Indonesia, hanya Soeharto yang secara rutin mengutip falsafah Jawa sebagai falsafah politik dan pemerintahannya. 

"Presiden Jawa” lainnya nyaris tak pernah mengutip falsafah Jawa. Bung Karno lebih asyik dengan referensi pemikir-pemikir dunia, baik dari Barat, Timur, dan pemikiran-pemikiran klasik Yunani dan lainnya.

Sepeninggal Pak Harto, Presiden Gus Dur lebih identik dengan budaya dan khazanah pemikiran pesantren dalam kutipan-kutipannya. 

Sebagaimana Bung Karno, Gus Dur mempunyai referensi filsafat politik yang sangat kaya, dan karenanya dia tidak secara spesifik merujuk pada filsafat Jawa dalam pidato-pidatonya.

Di era Megawati, kita tidak terlalu sering mendengar ide-idenya mengenai filsafat politik selain kosa-kata Jawa yang diulang-ulang di berbagai kesempatan, yaitu “wong cilik”. Selebihnya kita tidak pernah mendengar apa pun.

Habibie berusaha melakukan emulasi dalam beberapa filosofi Pak Harto yang menjadi mentornya. 

Namun, Habibie adalah mesin made in Germany yang sophisticated dan serbamekanik-positivistik, mangkus dan sangkil, efektif-efisien.

Tak cocok dengan filosofi kekuasaan Jawa, kekuasaan Habibie hanya seumur jagung dan berakhir karena kudeta politik orang-orang sekitarnya di Partai Golkar.

Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya paling Jawa dibanding tiga pendahulunya pasca-Soeharto. Namun, meskipun dalam solah bawa, tingkah laku, SBY adalah seorang kesatria Jawa, tetapi dia adalah jenderal didikan Amerika yang berpikiran demokratis global. Dia berperilaku Jawa tetapi berpikir global.

Joko Widodo hampir mirip dengan SBY dalam hal latar belakang sosiologis sebagai manusia Jawa mataraman. 

Bedanya, SBY adalah tentara kesatria yang priyayi, Jokowi berlatar belakang pedagang, yang dalam strata sosial Jawa masuk dalam kategori kawula.

Dalam esainya “Raja, Priyayi, dan Kawula” Kuntowijoyo membagi strata sosial masyarakat Surakarta di abad ke-20 menjadi tiga kelompok: raja, priyayi, dan kawula.

Para pedagang dan saudagar masuk dalam kategori ketiga sehingga masyarakat agak meremehkan terhadap profesi pedagang maupun saudagar.

Bagi Jokowi, latar belakang sebagai kawula justru menjadi kekuatannya. Dia secara sadar melancarkan jurus komunikasi politik sebagai representasi kawula, wong cilik, dengan memakai idiom-idiom rakyat dan berpenampilan merakyat.

Gaya komunikasi politik Jokowi yang humble, lembah manah, andap asor, dengan cepat menjadikannya idola yang melesat secara meteorik. Pada saat yang sama masyarakat mengalami disilusi dan kejenuhan terhadap kekuasaan yang pongah dan bossy, sok ngebos.

Jokowi menjadi antitesis kekuasaan yang selama ini dipersepsikan sebagai wahyu kedaton yang turun dari langit. Jokowi mendekonstruksi semua stereotip kekuasaan Jawa yang serbajaim, jaga image dan penuh unggah-ungguh yang membosankan.

Dalam khazanah Babad Tanah Jawi, Jokowi mungkin mirip Kiageng Pengging, sama-sama dari Boyolali, yang berhasil memindah episentrum kekuasaan dari Demak yang pesisir ke Pajang yang agraris.

Itulah yang coba dilakukan oleh Jokowi dengan memindah episentrum kekuasaan dari tanah Jawa ke Kalimantan, dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara.

Para presiden terdahulu adalah para penguasa Jawa, raja-raja Jawa yang berparadigma Jawa sentris, Jawa sebagai episentrum kekuasaan. Jokowi mendekonstruksi paradigma itu.

Dalam dokumen Nawacita, sembilan prioritas pembangunan disebutkan “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.”

Dalam berbagai kesempatan Jokowi memakai pakaian tradisional dari berbagai daerah. 

Dia mengadakan acara-acara kenegaraan nasional keluar dari Jakarta ke daerah-daerah. 

Membangun infrastruktur di luar Jawa untuk membangun konektivitas menjadi obsesinya.

Jokowi adalah penguasa pasca-Jawa. Dialah Raja Pasca-Jawa yang mendekonstruksi semua paradigma kekuasaan lama sejak Soekarno. 

Itu pulalah yang membuat Jokowi menjaga jarak dari penggunaan idiom-idiom filsafat Jawa dalam komunikasi politiknya.

Tentu saja Jokowi tetap manusia Jawa dalam kehidupan personal. Dia menjalankan praktik-praktik Jawa seperti puasa untuk tirakat dan memilih hari baik dan buruk. 

Dia bukan intelektual yang beroleh ilmu ta’limiyat dari sekolahan, dia memperoleh pengetahuan dan ngelmu laduniyah lewat tirakat dan laku. Dia menjauhi pantangan-pantangan dan menghindari tabu.

Suatu ketika Mensesneg Pramono Anung meminta Pesiden Jokowi untuk tidak berkunjung ke Kediri karena adanya mitos presiden yang berkunjung ke Kediri akan kehilangan kekuasaannya. 

Soekarno, Gus Dur, Habibie tak percaya mitos itu. Pak Harto memilih tidak mengunjungi Kediri selama kekuasaannya. SBY mengunjungi Kediri sebagai pribadi didampingi Hamengku Buwono X sebagai raja Jawa yang asli.

Ketika ibundanya, Sudjiatmi Notomihardjo, meninggal dunia akhir Maret lalu, Jokowi melakukan brobosan, berjalan melewati bawah keranda jenazah ibunda, sebuah ritual khas Jawa. 

Jokowi disebut kehilangan pepunden yang menjadi inspirasi kekuatan politiknya sebagaimana Pak Harto kehilangan Bu Tien pada 1996, dan SBY kehilangan Ny Ani Yudhoyono, 2019.

Pernyataan lamun sira sekti memunculkan berbagai tafsir politik, karena pernyataan itu “sangat Jawa”. 

Apakah Jokowi masih tetap memersepsikan diri sebagai Raja Pasca-Jawa pada periode kedua kekuasaannya sekarang, ataukah dia sudah berani membuka jati diri sebagai Raja Jawa sebagaimana para pendahulunya?

Tidak ada konsep oposisi dalam filosofi kekuasaan Jawa. Karena itu, meskipun menjadi sakti karena menang perang dia tidak mateni, tidak membunuh. Maka Prabowo pun tidak dipateni, malah dirangkul dan dipangku.

Lamun sira pinter aja minteri, lamun sira banter aja ndisiki. Kepada siapa pernyataan itu paling tepat ditujukan oleh Jokowi? Dalam kondisi krisis sekarang ini pernyataan itu, mungkin, cocok ditujukan kepada para haters dan oposisi yang “banter” dan “pinter”, atau kepada para pengritiknya yang terlalu “banter” dan “pinter”.

John Pamberton dan Ben Anderson yang banyak melakukan riset mengenai konsep kekuasaan Jawa menyatakan raja tidak boleh salah, idu geni, ludah api, sabda pandita ratu, ucapannya adalah sabda yang menjadi hukum, sabda raja adalah sabda Tuhan. 

Pantang malu, pantang mengingkari sabdanya. Karena itu ia harus didengar dan tak boleh dibantah.

Jokowi Raja Pasca-Jawa atau Little Soeharto? Itulah pertanyaan yang coba dikulik beberapa ilmuwan politik untuk memperbandingkan Jokowi dengan Soeharto. Pada masa awal-awal berkuasa Soeharto seorang demokrat, tetapi seiring dengan perjalanan waktu dia mengonsolidasi kekuasaan otoritarian dan membangun dinasti.

Periode pertama Jokowi mirip seperti itu. Masa kekuasaan periode kedua konsolidasi kekuasaan dilakukan secara intensif. Oposisi nyaris tak ada lagi, semua keputusan diambil tanpa perlawanan berarti, mulai dari revisi UU KPK, Omnibus Law, UU Minerba.

Sekarang muncul wacana untuk memperpanjang jabatan kepresidenan menjadi tiga periode. 

Jokowi menghadapi dilema. Dia belum tegas menolak, tetapi penolakan dari sejumlah kalangan sudah bermunculan. Berbagai demonstrasi mendesaknya untuk tegas menolak. 

Sebagian menuntutnya mundur karena dianggap gagal menyelesaikan krisis minyak goreng dan tidak kompeten dalam mengelola ekonomi.

Sang raja sedang menghadapi dilema. Dia sedang dikelilingi oleh para pembisik dengan berbagai kepentingan. Raja telanjang pun oleh pembisik dibilang berbusana bagus, sampai akhirnya sang raja dipermalukan di tengah jalan. (*)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Jokowi   SBY   Soeharto   Presiden   filsafat   lengser   raja Jawa  

Terpopuler