LESINDO: Hambat Demokrasi Substantif, Peraturan MK Harus Direvisi

Jumat, 05 Februari 2016 – 02:55 WIB
Peneliti Lembaga Studi Indonesia (Lesindo) Frans Sinaga. FOTO: DOK.PRI for JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Peneliti Lembaga Studi Indonesia (Lesindo) Frans Sinaga menilai Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, tak sejalan dengan perintah UU Pilkada.

Menurut Frans, publik perlu mempertanyakan terkait syarat penyelesaian sengketa hasil penghitungan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) 2015. Pasalnya, Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, bertentangan atau tidak berpedoman pada UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, misalnya pembatasan selisih suara yang ditangani MK.

BACA JUGA: Kasum TNI: Pejabat Penerangan Jangan Alergi Terhadap Media Massa

“Peraturan dan tafsir MK ini justru menghambat upaya mewujudkan keadilan dan kebenaran sehingga bisa akan berimplikasi pula sulitnya mewujudkan demokrasi substantif. Yang ada hanya demokrasi prosedural,” tegas Frans Sinaga di Jakarta, Kamis (4/2).

Sebelumnya, Praktisi Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Benteng Harapan, Ardy Susanto dan Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, juga menyoroti terhadap Peraturan MK tersebut.

BACA JUGA: Satuan Penerangan Terbaik Terima Penghargaan

“Pengaturan batasan selisih suara untuk menangani sengketa Pilkada melalui Peraturan MK itu mereduksi UU Pilkada,” tegas Ardy Susanto.

Senada dengan Ardy Susanto, Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mengkhawatirkan upaya para pencari keadilan khususnya bagi para pasangan calon dalam Pillada serentak 9 Desember lalu, yang merasa dirugikan atas hasil perolehan suara yang telah diumumkan. Upaya mencari keadilan, kata Uchok, sepertinya kandas di tengah jalan atau ditangan Mahkamah Konstitusi (MK).

BACA JUGA: Setya Novanto: Saya Tak Pernah Minta Saham

Menurut Uchok, MK menggunakan pembatasan syarat selisih suara bukan berpedoman kepada kewenangan diberikan oleh UU 8/2015, tapi lebih kepada penafsiran yang tertuang dalam Peraturan MK 5/2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

“Kalau MK tetap menerapkan Peraturan MK 5/2015, bukan berpedoman kepada UU 8/2015, maka MK tidak mewujudkan  keadilan subtantif.  Dan Bahwa MK harus mempertanggungjawabkan kepada publik atas tafsir yang membingungkan yang ternyata sama sekali tidak memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan,” tegas Uchok.

Uchok pun menegaskan, bila MK tetap mempergunakan Peraturan MK itu, maka MK merupakan lembaga pemalas Dari perkirakan perkaraan yang masuk ke MK sebanyak 147 perkara, maka perkara yang disidangkan oleh MK hanya sekisar dibawah 10 perkara saja.

Sebelumnya, puluhan orang yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Pilkada (FMPP) 2015, Kamis (14/1) mendatangi Komisi II DPR RI untuk melakukan rapat konsultasi terkait kesimpangsiuran tata cara beracara di Mahkamah Konstitusi.

Kedatangan FMPP 2015 ini diterima oleh Ketua Komisi II DPR Rambe Kamaruzaman dan Wakil Ketua Ahmad Riza Patria serta beberapa anggota Komisi II DPR.

Koordinator FMPP 2015, Frederikus Tulis menilai penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada membingungkan. Bahkan Frederikus menilai penafsiran MK yang tertuang dalam bentuk ayat sisipan di Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2016 terkait batasan selisih perolehan suara sebagai syarat formil mengajukan gugatan ke MK, mengangkangi Pasal 158 UU Pilkada itu sendiri. Hal ini jelas tidak sesuai amanat UU.

“Kita berharap MK dapat menjadi ruang untuk mewujudkan keadilan substantif,” tegas Frederikus Tulis.

Ia menjelaskan, syarat selisih untuk melakukan gugatan itu jelas kalau merujuk pada Pasal 158 UU Pilkada adalah penerapan hasil penghitungan suara oleh KPU, bukan dihitung dari perolehan suara terbanyak seperti yang MK inginkan di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015.

Menanggapi aspirasi FMPP 2015 itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menyatakan sangat menyambut positif terkait masukan tersebut. Bahkan, Riza Patria berpandangan lebih ekstrim lagi terkait persoalan yang sedang diadukan.

“Saya juga menilai MK telah melakukan kesalahan penafsiran, MK bukan Mahkamah Kalkulator,” kata Riza Patria.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 3 Perusahaan Setop Beroperasi, Setkab: Yang Buka Lebih Banyak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler