jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menyampaikan diperlukan strategi dan kolaborasi yang tepat dan kuat dari para pemangku kebijakan untuk mengantisipasi dan menyediakan solusi terkait tingginya produksi sampah makanan di Indonesia.
Dia mengungkapkan saat ini masyarakat berhadapan dengan sebuah paradoks terkait pangan.
BACA JUGA: Sampah Makanan Indonesia Senilai Rp 330 Triliun per Tahun, Diolah Jadi Energi?
"Di satu sisi, kita sedang berupaya menjamin ketahanan pangan untuk mengantisipasi kemarau panjang. Di sisi lain kita menjadi bagian produsen sampah makanan di dunia," ungkap Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema 'Tata Kelola Sampah Makanan Indonesia' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (2/8).
Diskusi yang dimoderatori Muchtar Luthfi A. Mutty (Staf Khusus Wakil Ketua MPR) itu menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Nyoto Suwignyo (Deputi II Bidang Kerawanan Pangan Dan Gizi, Badan Pangan Nasional), Vinda Damayanti (Direktur Pengurangan Sampah Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun KLHK).
BACA JUGA: Lestari Moerdijat Beber Pentingnya Nilai Pendidikan yang Ditanamkan Ki Hajar Dewantara
Selain itu, Prof Dwi Andreas Santosa (Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor).
Hadir pula Yessy Melania (Anggota Komisi IV DPR RI) dan Khudori (Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) sebagai penanggap.
Lebih lanjut Lestarijuga mengungkapkan Indonesia per Mei 2023 menduduki peringkat ketiga sebagai negara terbanyak memproduksi sampah makanan, setelah Arab Saudi dan Amerika Serikat.
"Padahal, setiap periode krisis, bahkan setiap tahun, salah satu langkah antisipasi kita adalah memastikan ketersediaan pangan," ujar Rerie yang akrab disapa.
Namun, kata legislator dari Dapil Jawa Tengah II itu, ironinya Indonesia belum menyiapkan kebijakan yang memadai untuk mengurangi produksi sampah makanan.
Dia menyampaikan berdasarkan kajian Bappenas bersama sejumlah lembaga menunjukkan bahwa Indonesia membuang sampah makanan sekitar 23-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019 atau setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun.
Kajian itu menyebutkan sampah makanan menumpuk. karena bahan makanan mentah yang belum diolah kemudian dibuang ketika proses pemilahan.
Rerie sangat berharap tata kelola pangan terutama pengelolaan komoditas lokal dapat menjadi perhatian bersama dan terus ditingkatkan efektivitasnya untuk menekan seminimal mungkin produksi sampah makanan nasional.
Deputi II Bidang Kerawanan Pangan Dan Gizi Badan Pangan Nasional Nyoto Suwignyo menyampaikan pihaknya sudah melakukan sejumlah upaya untuk mencegah terjadinya food loss dan food waste.
Menurut Nyoto, food loss biasanya terjadi pada fase produksi, pascapanen atau penyimpanan hingga pemrosesan pangan, sedangkan food waste biasanya terjadi pada fase distribusi, pemasaran hingga konsumsi pangan.
"Tren food loss di Indonesia cenderung turun bila dilihat dari capaian 61 persen pada 2000 menjadi 45 persen pada 2019. Sebaliknya, tren food waste pada periode yang sama justru meningkat dari 39 persen pada 2000 menjadi 55 persen pada 2019," ungkap Nyoto.
Melihat kondisi itu, kata Nyoto, food waste memerlukan perhatian khusus dalam Gerakan Selamatkan Pangan. Pangan yang berpotensi menjadi food waste dikenal sebagai pangan berlebih.
Untuk mencegah terjadinya food waste, tambah dia, bisa dilakukan dengan enam tingkatan yaitu, dengan mendonasikan pangan berlebih, pemanfaatan untuk pakan hewan, pemanfaatan untuk industri, dijadikan kompos, setelah itu baru dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.
"Badan Pangan Nasional sudah melakukan penandatanganan kerja sama dengan mitra donatur pangan dan mitra penggiat pangan untuk mendistribusikan pangan," kata Nyoto.
Selain itu, juga sudah dilakukan penatalaksanaan kerja sama dengan kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah melalui pedoman petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pengelolaan sampah makanan.
Direktur Pengurangan Sampah Ditjen PSLB3 KLHK Vinda Damayanti mengungkapkan pihaknya fokus terhadap sampah yang dihasilkan dari konsumsi pangan.
Vinda mengungkapkan, pada 2022 di Indonesia tercatat 69,2 juta ton sampah yang 41,27 persennya sampah pangan dan sumber sampahnya 38,28 persen dari rumah tangga.
"Pemanfaatan sampah pangan bisa dilakukan melalui upaya komposting, pembuatan ecoenzyme dan biogas dalam proses pengurangan sampah pangan," kata Vinda.
Diakui Vinda, target pengurangan sampah pada 2025 ditetapkan sebesar 30 persen.
Namun hingga 2022 pengurangan sampah baru tercatat 14 persen, sehingga belum mencapai yang ditargetkan.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Prof Dwi Andreas Santosa menilai upaya pengurangan sampah pangan yang dilakukan pemerintah tidak ada terobosan.
Dia menyayangkan upaya pengurangan sampah pangan yang diterapkan saat ini hanya meniru apa yang dilakukan negara maju.
Dwi Andreas berharap ada upaya terobosan baru karena persoalan sampah ini sangat besar dan sampah pangan merupakan gabungan antara food loss (sebelum pangan sampai konsumen) dan food waste (sampah yang terjadi setelah pangan sampai konsumen).
"Karena sejatinya komposisi penyumbang sampah pangan di Indonesia berbeda dengan sejumlah negara maju," jelasnya.
Sampah pangan di Indonesia 69 persen disumbang oleh agriculture productions, handling and storage, sedangkan proses konsumsi hanya menyumbang 13 persen sampah pangan di tanah air.
Karena itu, Dwi Andreas menyarankan, kebijakan sektor pertanian yang saat ini lebih berpihak ke konsumen harus lebih berpihak kepada petani, sehingga sejumlah tahapan produksi pangan bisa efisien dan minim sampah.
Anggota Komisi IV DPR Yessy Melania berpendapat perlu ada restrukturisasi dalam pengelolaan sampah dan perbaikan kebijakan industri pangan dari hulu ke hilir.
Selain itu, tambah Yessy, semua pihak terkait perlu duduk bersama untuk memperjelas tanggung jawab setiap kementerian/lembaga dalam upaya pengurangan sampah pangan.
Diakui dia, penangangan lingkungan hidup di sejumlah daerah belum menjadi prioritas.
Selain itu, tegas Yessy, diperlukan sinkronisasi data antarkementerian/lembaga terkait agar kebijakan yang dihasilkan tepat sasaran.
Pegiat AEPI Khudori berpendapat hal penting yang harus dilakukan dalam pengelolaan sampah pangan adalah penguatan regulasi yang ada saat ini.
"Karena hingga saat ini tidak ada regulasi yang secara spesifik mengatur food loss dan food waste di tanah air," ungkap Khudori.
Khudori menyarankan penerapan ekonomi sirkular sebagai salah satu cara untuk mengurangi produksi sampah pangan, dengan konsep pemanfaatan sumber daya selama mungkin dan memproduksi dengan lebih sedikit sampah.
"Harus didorong sebuah gerakan melalui sejumlah upaya advokasi dan pelatihan yang masif untuk merealisasikan ekonomi sirkular tersebut," tegasnya.
Pada kesempatan itu, wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat dalam upaya mengurangi sampah pangan, para pemangku kebijakan harus menggarisbawahi pendapat Prof Dwi Andreas yang mengungkapkan bahwa sampah pangan di Indonesia didominasi sampah dari proses produksi, penanganan dan distribusi sektor pertanian dengan besaran 69 persen.
"Sedangkan sampah pangan dari proses konsumsi sejatinya hanya terjadi di perkotaan, karena masyarakat di pedesaan sudah menerapkan ekonomi sirkular, seperti mengolah nasi sisa menjadi panganan rangginang secara turun temurun," terangnya.
Karena itu, tegas Saur, falsafah berhentilah makan sebelum kenyang sudah seharusnya menjadi pandangan hidup dalam upaya pengurangan sampah pangan. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi