jpnn.com - GUNUNG Agung di Bali pertama meletus pada 113 Saka atau 191 Masehi. Begitu menurut lontar. Dan yang kedua terjadi pada 118 Saka atau bulan Agustus 196 Masehi.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Terlalu! Kok Tega Menebar Hoaks di Tengah Derita Pengungsi
Tak diceritakan dampak letusan Gunung Agung yang pertama. Tapi, disebutkan setelah kejadian itu Hyang Pasupati bersabda kepada anak-anaknya;
“Kamu Mahadewa, Dhanuh, Gnijaya, aku perintahkan kamu segera berangkat ke Bali, agar menjadi tenang keadaan di Pulau Bali, dan di sana kamu menjadi junjungan nanti.”
BACA JUGA: Pengungsi Gunung Agung Meningkat, Kini Capai 34.931 Jiwa
Ketiganya menghatur sembah kepada Hyang Pasupati. “Ya, Hyang Bhatara, kamu putra Hyang Batara masih anak-anak, belum tahu jalan yang harus dilalui.”
“Anakku bertiga,” sahut Hyang Pasupati. “Jangan susah hati. Akan kutunjukkan jalan. Sebab kamu adalah anakku. Berdoalah semoga kamu segera tiba di Bali untuk dipuja di sana.”
BACA JUGA: Aktivitas Kepariwisataan di Bali Selatan Tetap Semarak
Sekadar mengingatkan, Hyang Pasupati-lah yang memotong puncak Gunung Semeru di Jawa Timur dan memindahkannya ke Bali, pada Wraspati Umanis, Wara Merakih, Panglong Ping 15, Sasih Karo, Tenggek 1, Rah 1, Candra Sangkala Eka Tang Bhumi, tahun Icaka 11 (bulan Agustus 89 Masehi).
Sebagian menjadi Gunung Batur di Kintamani, sebagian jadi Gunung Agung di Karangasem.
Begitu tertulis dalam Babad Pasek yang dirawikan Jro Mangku Gde Ketut Soebandi.
Dikisahkan, ketiga anaknya itu, lalu dimasukkan ke dalam buah kelapa gading. Dan diberangkatkan melalui dasar laut.
Sesampai di Bali, Bhatara Hyang Putrajaya alias Hyang Mahadewa berparahyangan di Besakih, Karangasem. Batari Dhanuh di Hulundanu Gunung Batur, dan Gnijaya berstana di puncak Gunung Lempuyang, sebelah Timur Gunung Agung.
Ketiganya dikenal juga sebagai Bhatara Hyang Tri Purusa.
Sejurus kemudian, anak-anak Hyang Pasupati lainnya menyusul ke Bali.
Yakni, Bhatara Hyang Tumuwuh berparahyangan di Gunung Batukaru, Tabanan. Bhatara Hyang Manik Gumawang berparahyangan di Gunung Beratan, Tabanan. Bhatara Hyang Manik Galang berparahyangan di Pejeng. Bhatara Hyang Tugu berparahyangan di Gunung Andakasa.
Nah, tujuh putra-puri Hyang Pasupati tersebut kemudian dikenal sebagai Sapta Bhatara.
Setelah itu, menurut Babad Pasek—kitab yang diramu berdasarkan sejumlah prasasti dan lontar—Gunung Agung kembali meletus untuk kedua kalinya.
“Pada hari Selasa Kliwon, Wara Julungwangi, Sasih Karo, Penanggal Ping 1, Rah 8, Tenggek 1, tahun Icaka 118 (Agustus 196 Masehi), Bhatara Hyang Mahadewa dan Bhatara Hyang Gnijaya mengadakan yoga samadhi. Pada waktu itu Gunung Agung meletus kembali,” tulis babad tersebut.
“Dari yoga samadhi Bhatara Hyang Gnijaya keluar banjir api. Tempat aliran itu disebut Sungai Api. Dari kekuatan batin dan panca bhayu Batara Hyang Gnijaya lahirlah empat putra,” demikian tertulis dalam babad.
Yang sulung bernama Mpu Withadarma alias Sri Mahadewa, yang kedua Sanghyang Sidhimantra Sakti, yang ketiga Sang Kulputih. Inilah antara lain cikal bakal leluhur cerdik pandai di Pulau Bali.
Putra yang bungsu (tak disebut nama) pindah ke Madura dan menjadi raja di sana.
Tentang gunung-gunung di Bali, tersurat dalam lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsul bahwa Sanghyang Parameswara, nama lain Bhatara Sanghyang Pasupati menitah kepada anak-anaknya:
“Semua gunung (di Bali--red) itu anakku boleh dipilih untuk dipergunakan sebagai tempat tinggal dan di sana membangun parahyangan para Dewata sekalian, sebagai junjungan orang-orang Bali sampai akhir zaman.” (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapan Gunung Agung Pertama Kali Meletus?
Redaktur & Reporter : Wenri