Likuiditas Ketat, RI Tekan Defisit

Sabtu, 27 September 2014 – 18:27 WIB

JAKARTA - Pemerintah mulai pasang kuda-kuda dalam menghadapi potensi makin ketatnya likuiditas pada 2015, terutama akibat faktor tekanan eksternal. Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, dari sisi mikro, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) sudah melakukan mitigasi risiko pengetatan likuiditas. 

Karena itu, pemerintah tidak ingin ketinggalan dengan melakukan mitigasi secara makro. ''Kuncinya adalah menekan defisit,'' ujarnya kemarin (26/9). 

Bambang menyebut, ada dua defisit yang akan ditekan pemerintah. Pertama, defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang ditekan melalui efisiensi. Kedua, defisit neraca berjalan (current account) yang akan ditekan melalui perbaikan nera­ca dagang dan jasa. ''Kalau defisit anggaran dan neraca berjalan bisa ditekan, itu memperkuat ketahanan sistem keuangan kita,'' katanya.

Dalam pembahasan RAPBN 2015, pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR telah sepakat untuk menekan defisit anggaran dari usul awal 2,32 persen menjadi 2,01 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Dengan asumsi pendapatan negara dipatok Rp 1.793 triliun dan pagu belanja negara Rp 2.017 triliun, defisit APBN akan menjadi Rp 224 triliun atau 2,01 persen dari PDB. Angka tersebut lebih rendah daripada usul awal yang dipatok Rp 257 triliun. Besaran defisit itulah yang harus dipenuhi pemerintah melalui penerbitan surat utang atau surat berharga.

Menurut Bambang, risiko pengetatan likuiditas bisa terjadi seiring rencana Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunga dan pengurangan stimulus quantitative easing. Langkah tersebut akan mengakibatkan dana-dana di emerging market pulang kampung ke AS. Dengan begitu, pemerintah bisa mengalami kesulitan saat mencari dana untuk membiayai defisit. ''Kalau defisitnya kecil, kebutuhan mencari pendanaan akan lebih ringan,'' ucapnya.

Namun, upaya pemerintah menekan defisit agar tidak terlalu berebut mencari dana di tengah kondisi likuiditas dinilai belum cukup. Menurut ekonom dan pengamat perbankan Aviliani, ketatnya likuiditas itu juga dipicu perilaku pemerintah.

Dia menyebut, strategi front loading pemerintah yang menerbitkan banyak sekali surat utang pada awal tahun membuat para pemilik dana mengalihkan simpanan dari bank untuk dibelikan surat utang. ''Apalagi pemerintah memberikan bunga tinggi untuk surat utang. Jadi, bank pun harus ikut menawarkan bunga tinggi,'' ujarnya.

Selain itu, rendahnya penyerapan anggaran membuat dana pemerintah hasil penarikan pajak menumpuk di kas pemerintah. Dia menyebut, saat ini ada sekitar Rp 130 triliun dana pemerintah yang menumpuk di BI. Di antara jumlah tersebut, sekitar Rp 100 triliun sudah masuk tahap pencairan, tapi belum terserap. Adapun Rp 30 triliun lain belum masuk tahap pencairan. ''Kalau saja yang Rp 30 triliun bisa masuk ke perbankan, tentu itu sangat membantu likuiditas,'' katanya. (owi/c7/oki) 
 

BACA JUGA: Ikuti Malaysia, Ekspor CPO Bebas Pajak

BACA ARTIKEL LAINNYA... Turunkan PPnBM Mobil Sedan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler