jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon meminta pemerintah menarik kembali draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Menurut dia, konsep draf itu banyak yang tak masuk akal.
"Mengingat sejumlah cacat yang menyertainya, saya setuju dengan usulan agar pemerintah menarik kembali draf omnibus law untuk diperbaiki, sebelum kemudian diajukan kembali dengan konsep yang lebih bersih dan masuk akal," kata Fadli dalam keterangannya, Kamis (27/2).
BACA JUGA: Omnibus Law dan Demokrasi Deliberatif
Draf omnibus law, kata dia, mengandung banyak sekali cacat serius. Apalagi dengan ditemukannya Pasal 170 yang menyatakan peraturan pemerintah (PP) bisa mengubah isi undang-undang. Pasal itu sangat jelas bertentangan dengan logika hukum dan perundang-undangan. "Secara hirarki, posisi PP adalah di bawah UU, sehingga seharusnya PP tunduk kepada UU, bukan justru mengubah ketentuan yang ada dalam UU," katanya.
Mantan wakil ketua DPR itu mengingatkan kesalahan itu sangat fatal karena merusak kredibilitas draf omnibus law yang telah diajukan pemerintah secara keseluruhan.
BACA JUGA: RUU Omnibus Law Cipta Kerja tak Membatasi Kepentingan Buruh
Menurut dia, ada lima alasan draf omnibus law perlu ditarik pemerintah. Pertama, potensial melanggar prinsip demokrasi mengenai trias politika, karena cenderung memperkuat kewenangan presiden hingga ke tingkat yang luar biasa besar.
Bahkan, kata dia, dengan adanya Pasal 170 tadi, kekuasaan presiden dalam proses penyusunan perundang-undangan jadi bersifat tunggal dan absolut, tidak perlu lagi melibatkan parlemen. Padahal, menurut Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945, pembentukan UU merupakan kewenangan DPR, bukan pemerintah.
BACA JUGA: Pesan Mahfud MD untuk Polisi saat Jaga Demo Buruh Menolak Omnibus Law
"Artinya, menurut konstitusi, DPR adalah pemegang kekuasaan pembentuk perundang-undangan," katanya.
Menurut dia, bila melihat komposisi Prolegnas Prioritas 2020, dari 50 RUU yang akan dibahas, secara kuantitatif porsi yang diusulkan DPR berjumlah 35 RUU atau 70 persen. Yang diusulkan pemerintah 9 RUU atau 18 persen, DPD 1 RUU atau 2 persen, serta usul bersama DPR dan pemerintah 5 RUU atau 10 persen.
Secara kuantitatif, kata dia, RUU inisiatif DPR terlihat seolah bersifat mayoritas. Namun, jika dilihat secara kualitatif, satu Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diusulkan oleh pemerintah akan mengubah sekitar 79 UU yang sudah ada.
"Jumlah undang-undang yang hendak diubah omnibus law ini terlalu banyak, sehingga menurut saya bersifat problematis dari sisi norma pembagian kekuasaan. Apalagi, ini bukan satu-satunya omnibus law yang diusulkan Pemerintah. Bayangkan, ada berapa banyak UU yang dikendalikan langsung oleh presiden nantinya," kata dia.
Kedua, lanjut dia, ada ketidaksinkronan antara persoalan yang didiagnosis oleh omnibus law dengan resep yang disusunnya. RUU ini dirancang sebagai solusi terhadap masalah ekonomi, pengangguran, dan investasi, namun resep-resep yang disusunnya justru bersifat kontraproduktif, bahkan cenderung destruktif bagi perekonomian.
Di satu sisi RUU ini ingin menciptakan lapangan kerja, namun isinya justru melemahkan dan cenderung mengabaikan hak-hak kaum pekerja. Meski bisa menciptakan kepastian hukum bagi investasi, namun isinya justru bisa membuat ketidakpastian stabilitas sosial-politik, mengingat luasnya penolakan atas RUU ini. "Ujungnya, saya melihat hal ini hanya akan kian menjauhkan investasi dari Indonesia, seiring meningkatnya political risk di negeri kita," kata ketua BKSAP itu.
Menurut dia, dari draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang ada, pendapatan kaum buruh nantinya jelas terancam berada di bawah upah minimum, sehingga akan membuat konsumsi rumah tangga di Indonesia semakin tertekan.
Padahal, lanjut Fadli, dalam struktur ekonomi Indonesia, konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi, di mana bobotnya mencapai 56,6 persen.
Bagi investor, hal ini jelas akan menjadi catatan negatif yang signifikan atas beleid omnibus law. Pertama, potensi ketegangan di Indonesia potensial meningkat, akibat luasnya penolakan dan polemik. Kedua, tingkat konsumsi di Indonesia potensial kian tertekan di masa mendatang. "Logikanya, apa guna mereka berinvestasi di Indonesia, jika ketidakpastian sosial politiknya meningkat dan daya beli konsumen menurun?" paparnya.
Fadli menegaskan inilah yang disebutnya sebagai triple kesalahan pemerintah. "Mereka telah salah baca situasi, salah diagnosis, dan salah menyusun resep sekaligus," tegasnya.
Ketiga, melalui RUU ini pemerintah di atas kertas telah mengabaikan perlindungan terhadap rakyatnya sendiri. Padahal tujuan didirikan negara ini untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
Dari sisi perburuhan, misalnya, Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan menghilangkan upah minimum, pesangon, menjebak kaum buruh dalam status outsourcing seumur hidup, melegalkan tenaga kerja asing tak terdidik masuk ke Indonesia, menghilangkan jaminan sosial bagi kaum buruh, serta memudahkan terjadinya PHK.
"Hak-hak pekerja, yang saat ini masih dilindungi undang-undang, seperti cuti haid, cuti nikah, cuti melahirkan, atau cuti hari keagamaan, dalam omnibus law juga tidak lagi dicantumkan dan diberi perlindungan," paparnya.
Menurut dia lagi, Omnibus Law Cipta Kerja juga gagal memahami bahwa hakikat dari kerja adalah untuk memanusiakan manusia. Kalau sekadar cipta lapangan kerja, pada zaman cultuurstelsel alias tanam paksa dulu pemerintah kolonial Belanda juga bisa menciptakan lapangan kerja bagi kaum pribumi.
Melalui proyek pembangunan infrastruktur Anyer-Panarukan, Daendels juga bisa menciptakan kerja paksa bagi kaum Bumiputera. Begitu juga dengan pemerintah kolonial Jepang, juga bisa menciptakan Kerja Romusha bagi rakyat.
"Apa cipta lapangan kerja semacam itu yang hendak kita repro di alam kemerdekaan sekarang ini?" tanya Fadli.
Keempat, meski yang sering di-mention adalah soal investasi, pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam omnibus law bukanlah masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.
Pada 2019 lalu, World Economic Forum (WEF) merilis 16 faktor yang menjadi penghambat investasi di Indonesia. Dari 16 faktor tersebut, korupsi adalah masalah utama yang dianggap menggangu dan merugikan investor. Jadi, korupsi termasuk di dalamnya suap, gratifikasi, favoritisme, serta uang pelicin, adalah penghambat utama investasi di Indonesia.
"Menurut kajian WEF, korupsi di Indonesia telah mengakibatkan persaingan tak sehat, distribusi ekonomi yang tak merata, serta ketidakpastian hukum," ungkap Fadli.
Secara berturut-turut, 16 faktor penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi, inefesiensi birokrasi, akses ke pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, kebijakan tidak stabil, instabilitas pemerintah, tarif pajak, etos kerja buruh, regulasi pajak, inflasi, pendidikan tenaga kerja rendah, kejahatan dan pencurian, peraturan tenaga kerja, kebijakan kurs asing, kapasitas investasi minim, dan kesehatan masyarakat buruk.
"Kita sama-sama bisa melihat regulasi ketenagakerjaan yang sudah ada posisinya sebenarnya tidak signifikan sebagai penghambat investasi. Korupsi dan birokrasi pemerintahanlah sesungguhnya menjadi persoalan utama," kata Fadli.
Pertanyaannya, kata Fadli, kenapa yang diacak-acak oleh omnibus law untuk mendatangkan investasi ini justru regulasi ketenagakerjaan?
"Lebih jauh lagi, benarkah omnibus law ini disusun untuk kepentingan mendatangkan investasi, ataukah sekadar memfasilitasi kepentingan pengusaha yang saat ini jadi kroni pemerintah?" tanya Fadli.
Terkahir, lanjut Fadli, pemerintah mematok target yang tidak masuk akal bagi pembahasan RUU ini. Presiden Jokowi, misalnya, melontarkan pernyataan agar RUU ini bisa selesai dibahas dalam seratus hari kerja. "Menurut saya, target itu jelas bermasalah," katanya.
Sebagai gambaran, lanjut Fadli, RUU ini jumlah pasal beserta penjelasannya, tebalnya mencapai 1028 halaman. Naskah akademiknya saja mencapai 2276 halaman.
"Bagaimana bisa selesai dibahas dalam 100 hari kerja, sementara cacat akademis naskah itu begitu banyak?" kata dia. "Lagi pula, kenapa harus selesai dibahas begitu cepat, jika persoalan yang diatur di dalamnya sebenarnya tak akan banyak manfaatnya bagi perbaikan ekonomi dan iklim investasi?" tambah anak buah Prabowo Subianto di Partai Gerindra itu.
Fadli melihat ada hal gelap yang melatar belakangi RUU ini. Ketika pembahasan masih dilakukan di pemerintah, prosesnya penuh dengan kerahasiaan. Orang-orang yang ikut membahas omnibus law ini bahkan sampai diminta komitmen untuk tidak membocorkan isinya, termasuk kepada lembaga negara yang berhak sekalipun.
"Banyaknya rahasia yang ditutupi itu tentu saja menimbulkan pertanyaan, mengingat kita saat ini hidup di tengah iklim demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan," paparnya.
Dia ingin mengingatkan kepada para koleganya sesama anggota parlemen agar berhati-hati betul terhadap naskah omnibus law ini. "Terlalu banyak hal yang kita pertaruhkan kalau meloloskan RUU ini. Klaim manfaatnya bersifat utopis, sementara efek destruktifnya sangat jelas kelihatan di depan mata kita," ungkapnya.
Para founding fathers dulu mendirikan negara ini untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, bukan mengecernya pada para investor atau menjadikannya arena bancakan para oligarki bangsa kita sendiri. "Indonesia is not for sale," kata alumnus London School of Economics (LSE), Inggris, itu. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy