Lima Hal yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Revisi UU Terorisme

Jumat, 22 Januari 2016 – 04:10 WIB
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi. FOTO: DOK.UNPAD

jpnn.com - JAKARTA – Rencana revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme bergulir keras paskateror bom di Kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1).

Meski ada tuntutan dari Badan Intelijen Negara memasukkan pemberian kewenangan menangkap dan menginterogasi terduga terorisme, namun perlu ditegaskan esensi revisi UU itu adalah mengefektifkan pemberantasan dalam perspektif penegakan hukum.

BACA JUGA: Bamsoet Akui Ada Yang Mau Perkeruh Situasi

“Dalam pengertian bahwa revisi yang dilakukan harus tetap berpijak pada kewenangan yang melekat di masing-masing institusi terkait,” kata Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi, Kamis (21/1) kepada JPNN.

Karena itu, perlu juga dipertimbangkan lima hal yang dapat dimasukkan dalam revisi undang-undang terorisme.

BACA JUGA: Kuasa Hukum RJ Lino: Tidak Bisa Hanya Berdasarkan Potensi

Pertama, kewenangan yang lebih besar untuk Polri guna menangkap personal maupun kelompok yang teridentifikasi berhubungan dengan organisasi teror. Penangkapan tersebut diperuntukkan bagi penyidikan dan mengindentifikasi keterlibatan dan atau kemungkinan potensi melakukan aksi teror dan penyebaran paham radikal.

Perluasan kewenangan dalam menangkap dan menyelidiki sejumlah potensi dalam penyebaran paham radikal dan aksi teror tersebut berbatas waktu.

BACA JUGA: Pemerintah Pilih Revisi UU Terorisme

“Yakni,  jika Polri tidak dapat menemukan keterlibatan dengan jejaring teror, maka maksimal enam bulan harus dibebaskan,” tuturnya.

Kedua, revisi UU juga harus mempertimbangkan pembatasan kewenangan dari Badan Nasional Penanggulangan Teroris yang hanya pada dua kewenangan saja. Yakni,  kewenangan untuk mengkoordinasikan institusi terkait dan perencanaan strategi pemberantasan terorisme yang dapat menjadi acuan bagi institusi-institusi terkait.

“Maka otomatis pada kewenangan ketiga, yakni kewenangan BNPT dalam operasional tidak lagi melekat, paparnya.

Ketiga, revisi juga harus menegaskan pendanaan pemberantasan terorisme. Meski sudah diatur dalam UU Terorisme yang ada saat ini, namun perlu juga ditegaskan dalam revisi nanti tentang pemanfaatan dukungan dan bantuan asing dalam pemberantasan terorisme. Hal ini untuk menegaskan bahwa setiap kebijakan dan langkah yang dilakukan oleh pemerintah, harus dilihat sebagai kebijakan yang mandiri tanpa ada intervensi asing karena adanya bantuan pemberantasan terorisme.

Keempat, perlu juga dipertimbangkan untuk melakukan spesialisasi fungsi pada sejumlah unit antiteror yang ada, selain Densus 88 dan unit anti teror di militer. Hal ini agar permasalahan leading sector tidak lagi menjadi isu utama dalam pemberantasan terorisme yang menekankan pada penegakan hukum. Spesialisasi fungsi salah satunya penekanan pada kemampuan yang melekat di masing-masing unit anti teror, dengan tetap menitiktekankan pada penegakan hukum.

“Khusus untuk BIN, penting untuk ditegaskan pada koordinasi intelijen dalam pemberantasan terorisme dalam bentuk fusi intelijen," ungkap Muradi.

Kelima, penekanan bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa yang mana penanganannya membutuhkan kekhususan. Salah satunya ada pada lembaga pemasyarakatan khusus yang mampu mengoptimalkan program deradikalisasi. Kebijakan mencampurkan tahanan teroris dengan tahanan kriminal biasa selama ini justru memperkuat paham radikal.

“Dengan menegaskan di UU maka ada amanat untuk membangun penjara khusus tahanan teror agar mampu mencegah meluasnya paham radikal,” kata Muradi.(boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hmmm...Proyek Kereta Cepat Disebut Langgar Dua Undang-undang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler